Ketika hujan akhirnya reda dan malam berangsur sunyi, kita tidak boleh lengah. Bencana yang mengintip tidak selalu datang dengan suara gemuruh atau air yang meluap; kadang ia datang dalam bentuk kelalaian kita sendiri: ketidaksiapan, ketidakpedulian, atau keengganan untuk berubah.Â
Malam ini, sambil mendengar sisa rintik hujan yang menetes dari atap, mari kita renungkan: apakah kita sudah cukup berjaga? Apakah kita sudah belajar dari hujan sore ini, dari malam yang penuh ancaman ini, untuk menjadi lebih bijaksana dalam menjaga bumi dan kehidupan di dalamnya?
Mengakhiri goresan malam ini, saya menuliskan puisi tiga bait sebagai refleksi untuk waspada dan instropeksi diri.Â
Di malam yang basah, hujan berbisik pelan,
Menyanyikan lagu tentang luka bumi yang kelam.
Introspeksi lahir dari genang air yang diam,
Sudahkah kita jaga, atau hanya menanti harapan?
Refleksi menjelma di bayang gelap malam,
Tiap tetes hujan ceritakan dosa yang kelam.
Waspada, kata hati, jangan terlena mimpi,
Bencana mengintip, menunggu lengahnya hati.
Dari kelalaian kita, alam menuntut balas,
Malam ini ajarkan, kewaspadaan tak pernah usai.
Bangunlah, jiwa, jaga bumi dengan ikhlas,
Agar hujan tak lagi jadi nyanyian duka yang keras.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI