Malam yang Berjaga pada Bencana yang Mengintip
Sore tadi mulai pukul 16.00 sampai malam ini, hujan turun dengan intensitas tinggi, mengguyur bumi dengan ritme yang tak kenal lelah. Langit kelabu menyelimuti kota, dan rintik-rintik air berubah menjadi aliran deras yang menggenangi jalanan. Ketika malam tiba, hujan belum juga reda, meninggalkan suasana yang basah, dingin, dan penuh ketidakpastian. Di bawah payung kegelapan, malam ini bukan sekadar waktu untuk beristirahat - ia adalah malam yang berjaga, malam yang menuntut kewaspadaan terhadap bencana yang mengintip di balik tirai hujan.
Hujan lebat seperti sore ini bukan lagi peristiwa biasa. Di tengah perubahan iklim yang kian nyata, intensitas curah hujan yang ekstrem menjadi pengingat bahwa alam sedang berbicara, dan pesannya tidak selalu ramah. Malam ini, ketika air mengalir deras di selokan-selokan yang penuh sampah, ketika pohon-pohon tua bergoyang dihempas angin, dan ketika suara petir menggema di kejauhan, kita dihadapkan pada kenyataan bahwa bencana bisa datang tanpa aba-aba. Banjir, longsor, atau bahkan pohon tumbang adalah ancaman yang mengintai, siap menyeruak di tengah kelalaian kita.
Malam ini menuntut kita untuk berjaga, bukan hanya dengan mata terbuka tetapi juga dengan hati dan pikiran yang siap. Banjir yang kerap melanda akibat drainase yang buruk atau pembangunan yang tidak ramah lingkungan adalah peringatan bahwa kita belum sepenuhnya belajar dari masa lalu.Â
Sungai-sungai yang dipenuhi sampah, hutan-hutan yang gundul, dan lahan-lahan yang dialihfungsikan tanpa perhitungan matang menjadi pemicu bencana yang kini mengintip di setiap musim hujan. Malam ini, ketika air menggenang di halaman rumah dan jalanan, kita diingatkan bahwa kecerobohan kita terhadap lingkungan adalah undangan bagi bencana.
Dampak dari hujan yang tak kunjung reda ini juga menyeruak ke ranah yang lebih personal: kesehatan. Kelembapan yang tinggi menciptakan sarang bagi nyamuk pembawa penyakit, sementara genangan air yang kotor menjadi sumber infeksi. Malam ini, di tengah udara yang dingin dan lembap, kita harus waspada terhadap demam berdarah, leptospirosis, atau infeksi saluran pernapasan yang mengintai.Â
Anak-anak yang bermain di genangan air, orang tua yang terpapar udara dingin, atau keluarga yang terjebak dalam rumah yang bocor, semuanya rentan. Malam ini bukan hanya tentang menjaga diri dari air yang mengalir, tetapi juga dari ancaman tak kasat mata yang mengintip di baliknya.
Bagi petani, malam seperti ini adalah malam yang penuh kecemasan. Hujan yang terlalu deras dapat menghanyutkan benih yang baru ditanam, merusak tanaman yang sedang tumbuh, atau bahkan menenggelamkan lahan yang menjadi sumber kehidupan. Ketika malam menyelimuti sawah dan ladang, petani berjaga dengan rasa was-was, berharap air tidak menghapus kerja keras mereka. Ancaman terhadap ketahanan pangan mengintip di setiap tetes hujan yang jatuh, mengingatkan kita bahwa pertanian, tulang punggung bangsa, begitu rapuh di hadapan cuaca ekstrem.
Namun, di tengah kegelapan dan ancaman, malam ini juga membawa pelajaran tentang kewaspadaan dan solidaritas. Malam yang berjaga adalah malam ketika tetangga saling mengingatkan untuk memeriksa selokan, ketika relawan bersiaga di posko bencana, dan ketika keluarga berkumpul untuk memastikan semua aman.Â
Ini adalah malam untuk memeriksa apakah pintu dan jendela cukup kuat, apakah stok makanan dan air bersih cukup, dan apakah kita sudah cukup peduli terhadap lingkungan di sekitar kita. Malam ini mengajarkan bahwa kewaspadaan bukan hanya soal menyelamatkan diri sendiri, tetapi juga tentang menjaga satu sama lain.