Evolusi Norma Sosial di Era Pasca-Pandemi: Fenomena "Slow Living" di Kalangan Gen ZÂ
Di sebuah kedai kopi sederhana di pinggiran Bandung, di bawah sinar matahari pagi yang lembut, Aji, seorang Gen Z berusia 23 tahun, duduk menyeruput kopi hitam dari cangkir tanah liat. Di meja kecilnya, tak ada ponsel yang menyala, hanya buku catatan tempat ia menulis rencana menanam sayur di halaman rumahnya. "Pandemi mengajarkan saya bahwa hidup tak perlu buru-buru," katanya, senyumnya penuh kedamaian.
Di tengah tekanan ekonomi dan hiruk-pikuk media sosial, (melalui cerita fiktif ini) Aji dan ribuan Gen Z Indonesia memeluk slow living, gaya hidup sederhana yang menolak konsumerisme dan mengejar makna. Fenomena ini mengguncang norma sosial, tapi apakah ini hanya tren sesaat atau perubahan abadi?
Latar Belakang Masalah: Mengapa Slow Living Muncul?
Pasca-pandemi, Indonesia menghadapi guncangan sosial dan ekonomi yang mendalam. Badan Pusat Statistik (2023) mencatat tingkat pengangguran pemuda mencapai 14,6%, sementara inflasi dan biaya hidup melonjak.
Generasi Z, yang besar dengan ekspektasi tinggi media sosial, merasakan tekanan ganda: mengejar kesuksesan materi sambil bergulat dengan kecemasan digital. Pandemi, dengan karantina dan kehilangan, memaksa mereka berhenti, merefleksikan hidup, dan mencari kedamaian dalam kesederhanaan.
Slow living -yang menekankan hidup perlahan, berfokus pada hubungan, alam, dan keberlanjutan- menjadi jawaban. Cultural Anthropology (2021) mencatat bahwa krisis global sering memicu pergeseran nilai, namun apakah slow living akan bertahan di tengah budaya konsumerisme yang kuat di Indonesia?
Analisis Penyebab: Faktor Sosial dan Ekonomi
Fenomena slow living di kalangan Gen Z berakar pada beberapa faktor. Pertama, trauma pandemi mendorong kesadaran akan ketidakpastian hidup, membuat Gen Z seperti Aji memprioritaskan kesejahteraan mental daripada gaya hidup mewah.
Kedua, tekanan ekonomi -dengan harga properti dan biaya hidup yang tak terjangkau- membuat konsumerisme terasa tidak realistis, mendorong gaya hidup minimalis.
Ketiga, paparan media sosial tentang slow living, seperti akun Instagram yang memamerkan kehidupan pedesaan atau kerajinan tangan, menginspirasi Gen Z untuk meniru (Journal of Social Media Studies, 2023).
Keempat, meningkatnya kesadaran lingkungan mendorong mereka menolak fast fashion dan memilih produk lokal, selaras dengan nilai keberlanjutan. Namun, budaya "FOMO" dan iklan agresif tetap menggoda, menimbulkan pertanyaan: akankah slow living bertahan?