Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Evolusi Norma Sosial di Era Pasca-Pandemi: Fenomena "Slow Living" di Kalangan Gen Z

10 Mei 2025   10:04 Diperbarui: 10 Mei 2025   10:04 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(olahan GemAIBot, dokpri)

Evolusi Norma Sosial di Era Pasca-Pandemi: Fenomena "Slow Living" di Kalangan Gen Z 


Di sebuah kedai kopi sederhana di pinggiran Bandung, di bawah sinar matahari pagi yang lembut, Aji, seorang Gen Z berusia 23 tahun, duduk menyeruput kopi hitam dari cangkir tanah liat. Di meja kecilnya, tak ada ponsel yang menyala, hanya buku catatan tempat ia menulis rencana menanam sayur di halaman rumahnya. "Pandemi mengajarkan saya bahwa hidup tak perlu buru-buru," katanya, senyumnya penuh kedamaian.

Di tengah tekanan ekonomi dan hiruk-pikuk media sosial, (melalui cerita fiktif ini) Aji dan ribuan Gen Z Indonesia memeluk slow living, gaya hidup sederhana yang menolak konsumerisme dan mengejar makna. Fenomena ini mengguncang norma sosial, tapi apakah ini hanya tren sesaat atau perubahan abadi?

Latar Belakang Masalah: Mengapa Slow Living Muncul?

Pasca-pandemi, Indonesia menghadapi guncangan sosial dan ekonomi yang mendalam. Badan Pusat Statistik (2023) mencatat tingkat pengangguran pemuda mencapai 14,6%, sementara inflasi dan biaya hidup melonjak.

Generasi Z, yang besar dengan ekspektasi tinggi media sosial, merasakan tekanan ganda: mengejar kesuksesan materi sambil bergulat dengan kecemasan digital. Pandemi, dengan karantina dan kehilangan, memaksa mereka berhenti, merefleksikan hidup, dan mencari kedamaian dalam kesederhanaan.

Slow living -yang menekankan hidup perlahan, berfokus pada hubungan, alam, dan keberlanjutan- menjadi jawaban. Cultural Anthropology (2021) mencatat bahwa krisis global sering memicu pergeseran nilai, namun apakah slow living akan bertahan di tengah budaya konsumerisme yang kuat di Indonesia?

Analisis Penyebab: Faktor Sosial dan Ekonomi

Fenomena slow living di kalangan Gen Z berakar pada beberapa faktor. Pertama, trauma pandemi mendorong kesadaran akan ketidakpastian hidup, membuat Gen Z seperti Aji memprioritaskan kesejahteraan mental daripada gaya hidup mewah.

Kedua, tekanan ekonomi -dengan harga properti dan biaya hidup yang tak terjangkau- membuat konsumerisme terasa tidak realistis, mendorong gaya hidup minimalis.

Ketiga, paparan media sosial tentang slow living, seperti akun Instagram yang memamerkan kehidupan pedesaan atau kerajinan tangan, menginspirasi Gen Z untuk meniru (Journal of Social Media Studies, 2023).

Keempat, meningkatnya kesadaran lingkungan mendorong mereka menolak fast fashion dan memilih produk lokal, selaras dengan nilai keberlanjutan. Namun, budaya "FOMO" dan iklan agresif tetap menggoda, menimbulkan pertanyaan: akankah slow living bertahan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun