Ziarah dan Pelajaran: Menyemai Damai di HATI dan Pelayanan
Hari ini, saya, menjalani dua petualangan yang tak hanya mengisi jiwa, tetapi juga memperdalam pemahaman saya tentang damai sejati. Dari ziarah rohani di Gua Maria Sendang Jatiningsih hingga koreksi bersama hasil ujian di SMK Karya, setiap momen adalah mozaik pelayanan, empati, dan kedamaian yang hidup. Bukan sekadar menjalani hari, tapi menyelami makna damai yang renyah dan menggugah hati.
Pagi di Gua Maria: Menemukan Damai Sejati di Sendang Jatiningsih
Pagi tadi, Sleman menyapa dengan udara sejuk yang membelai wajah. Langit biru cerah, dan aroma tanah basah dari embun semalam seolah mengundang saya untuk melangkah ke Gua Maria Sendang Jatiningsih.
Saya datang untuk mengikuti paskah bersama sekaligus menjadi moderator pembinaan rohani Paskah 2025. Acara yang mempertemukan ASN, TNI, Polri, karyawan BUMN, hingga pamong kelurahan beragama Kristiani. Tema hari ini, "Damai Sejahtera Kristus di Dalam Keluarga" (Yohanes 20:26), bukan sekadar rangkaian kata, tetapi panggilan mendalam untuk merenungkan esensi damai dalam kehidupan.
Di bawah naungan pohon-pohon rindang, acara dimulai dengan sambutan Bupati Sleman, yang diwakili seorang pejabat. Dengan suara yang penuh wibawa, ia menegaskan bahwa keluarga adalah pilar utama masyarakat. "Damai di rumah adalah fondasi untuk melayani dengan empati dan pengorbanan," katanya sebagaimana dibacakan oleh asistennya. Damai, menurutnya, bukan sekadar ketiadaan konflik, tetapi kehadiran harmoni yang memungkinkan setiap anggota keluarga saling menguatkan.
Sembari duduk di samping podium tempat asisten bupati membacakan sambutan, saya mencoba membuat sebuah pantun pembuka acara "siraman" rohani oleh pendeta dan romo. Sementara sebelumnya saya mencatat bahwa kata-kata Bapak Bupati Harda Kiswaya seperti cermin, mengajak saya memandang keluarga saya sendiri.
Sebagai moderator, tugas saya adalah memastikan pesan ini tak hanya didengar, tetapi dirasakan oleh setiap hati yang hadir. Sebelum mengundang kedua narasumber, saya membacakan pantun yang sudah saya catatkan di HP:
Di Jatiningsih pagi cerah,
Paskah tiba penuh sukacita.
Pemda Sleman menggelar acara,
Damai Kristus menyatu di keluarga. Â
Yohanes dua puluh ayat dua enam,
Firman Tuhan jadi pedoman.
Bersama pendeta dan romo kita renung,
Sejahtera Kristus jadi harapan.
Pendeta Samuel Andi Prasetyo dari GKJ Demakijo membawa semangat yang menular. Dengan gaya yang santai namun penuh makna, ia menjelaskan bahwa damai sejati dalam keluarga adalah energi positif yang melahirkan produktivitas dalam pelayanan. "Damai bukan sesuatu yang datang begitu saja," ujarnya, suaranya menggema di antara rindangnya pepohonan dan atap pendopo. "Damai itu lahir dari paradigma baru, seperti yang diajarkan para rasul Kristus, yang memilih untuk hidup dalam kasih meski di tengah tantangan." Ia menekankan bahwa damai adalah pilihan sadar: keputusan untuk memaafkan, mendengarkan, dan memahami, bahkan ketika ego ingin menang. Tanpa damai, ia memperingatkan, keluarga bisa menjadi ladang konflik yang melemahkan, bukan sumber kekuatan. Saya mencatat kata-katanya, membayangkan betapa damai ini adalah fondasi yang rapuh jika tak dirawat, namun begitu kuat jika dipupuk dengan kasih.
Sementara Romo Adolfus Suratmo,Pr Pastor Paroki Klepu melanjutkan dengan kelembutan yang menyentuh jiwa. Ia mengajak kami menyelami kisah dua rasul di jalan ke Emaus, yang berjalan dalam ketakutan dan kekecewaan hingga Kristus hadir dan mengubah segalanya. "Kristus adalah damai itu sendiri," tegasnya, matanya berbinar penuh keyakinan. "Damai sejati bukan hanya ketenangan lahiriah, tetapi kehadiran batiniah yang lahir dari iman kepada Kristus yang bangkit." Romo yang juga Ketua Komisi Karya Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KKPKC) Kevikepan Yogyakarta Barat ini menjelaskan bahwa damai adalah kekuatan transformatif, berdaya ubah -mampu mengubah keputusasaan menjadi sukacita, konflik menjadi rekonsiliasi.
Dalam konteks keluarga, damai ini berarti mengundang dan menghadirkan Kristus ke dalam setiap pergumulan, dari ketegangan kecil hingga luka yang dalam. Saya terpaku, merasa seperti bukan hanya moderator, tetapi juga murid yang belajar ulang makna damai. Kata-kata Romo seperti angin sejuk, menyapu keraguan dan menanam harapan bahwa damai sejati selalu mungkin, asalkan kita membuka hati.
Sebelum menutup sesi yang menjadi tanggung jawab saya, saya membacakan pantun penutup sebagai berikut:
Pagi di Jatiningsih penuh berkah,
Paskah 2025 kita rayakan.
Kami bertiga pamit undur diri,
Damai Kristus terus kita junjung. Â
Terima kasih atas kehadiran saudara,
Firman Tuhan terangi langkah kita.
Sampai jumpa di acara mendatang,
Sejahtera Kristus selamanya nyata.
Acara yang diawali dan diakhir dengan doa, berakhir lebih cepat dari perkiraan. Sehingga saya bisa leluasa ikut membaur bersama para peserta menikmati hidangan yang disediakan panitia. Kemudian dengan pesan tentang damai terus bergema di hati saya selangkah keluar dari areal Gua Maria, di bawah langit yang kini semakin terang menuju sekolah SMK Karya Rini di perbatasan Kodya Yogyakarta dan Sleman.
Saya merasa membawa benih damai yang siap ditanam dalam setiap aspek hidup. Damai, seperti yang saya pelajari pagi ini, adalah perjalanan batin: pilihan untuk memeluk kasih, iman, dan pengampunan di tengah kenyataan yang tak selalu sempurna.
Sore di SMK Karya: Menyemai Damai dalam Koreksi Bersama
Langit Yogyakarta mulai terik, memancarkan cahaya menyengat yang menyapa ketika saya tiba di SMK Karya. Gedung sekolah itu berdiri sederhana, namun penuh kehidupan, dengan suara siswa yang sesekali terdengar dari kejauhan, seperti nyanyian masa depan yang sedang dirangkai. Saya datang untuk mengikuti sesi koreksi bersama hasil ujian kelas 12, sebuah tugas yang bagi sebagian orang mungkin terasa berat, tetapi bagiku adalah pelayanan, kesempatan untuk menyemai damai melalui pendidikan dengan cara yang adil, penuh empati, dan penuh makna.
Ruang koreksi menyambut dengan aura positif yang menular. Para guru dari berbagai mata pelajaran di SMK Karya Rini berkumpul mengelilingi meja panjang, tumpukan kertas ujian tersusun rapi, dan aroma teh serta kopi menguar di udara, menciptakan suasana hangat. Ada canda yang mengalir di antara kami, seorang guru matematika menggodakan rekannya yang salah membaca jawaban siswa, dan tawa pun meledak, menghilangkan ketegangan.
Namun, di balik keceriaan itu, ada semangat kebersamaan yang kuat. Kami, para korektor, bukan hanya menilai angka, tetapi menghargai usaha dan mimpi siswa yang terpatri di setiap lembar ujian. Saya duduk di antara mereka, pena di tangan, merasakan energi positif yang menular, seolah kami sedang menjalin harmoni dalam tugas ini.
Pesan tentang damai sejati dari Gua Maria pagi tadi kembali bergema di benakku. Pendeta Andi berbicara tentang damai sebagai pilihan sadar, sebuah keputusan untuk memahami dan memaafkan, sementara Romo Suratmo menegaskan bahwa damai lahir dari kehadiran Kristus yang mengubah hati. Dalam konteks koreksi ini, damai bagi saya berarti menilai dengan hati yang jernih, bebas dari prasangka, dan penuh empati.Â
Saya teringat seorang siswa kelas 12, yang meski berjuang dengan keterbatasan ekonomi, selalu menuliskan jawaban dengan penuh ketekunan. Nilai yang saya berikan untuknya bukan sekadar angka, tetapi pengakuan atas perjuangannya: sebuah bentuk damai yang memberi harapan, bukan menghakimi. Aura positif di ruangan ini memperkuat keyakinan saya bahwa kebersamaan kami sebagai guru adalah cerminan damai, saling menguatkan untuk memberikan yang terbaik bagi siswa.
Proses koreksi berlangsung dengan penuh semangat. Kami saling bertukar pandangan, mendiskusikan jawaban siswa yang unik atau membingungkan. Ada momen ketika seorang guru bahasa Inggris berbagi cerita tentang siswa yang menulis esai penuh makna meski dengan tata bahasa sederhana, dan kami semua tersenyum, tersentuh oleh usaha itu.
Kebersamaan ini bukan hanya membuat tugas terasa ringan, tetapi juga menularkan semangat untuk melihat setiap siswa sebagai individu dengan cerita mereka masing-masing. Saya belajar bahwa koreksi bersama bukan sekadar soal menyelesaikan tumpukan kertas, tetapi tentang membangun damai dalam pendidikan, damai yang lahir dari kolaborasi, saling menghargai, dan komitmen untuk keadilan.
Ketika sesi koreksi selesai, kami menutupnya dengan obrolan ringan dan rencana untuk kopi darat di lain waktu. Saya melangkah keluar dari SMK Karya Rini dengan senyum, merasakan kepuasan yang sulit diucapkan. Matahari sudah semakin terik, tetapi hati saya terasa penuh cahaya, seperti pagi tadi di Gua Maria. Aura positif dari kebersamaan tadi, semangat yang menular di antara para guru, dan damai yang saya temukan dalam tugas ini mengingatkan saya bahwa pendidikan adalah ladang untuk menyemai harapan bagi siswa, bagi kami sebagai pendidik, dan bagi dunia yang lebih baik.
Refleksi di Ujung Hari
Hari ini, saya menjalani dua kegiatan yang mengajarkan saya tentang damai sejati: damai yang bukan sekadar ketenangan lahiriah, tetapi pilihan sadar untuk hidup dalam kasih, iman, dan empati. Di Gua Maria, saya belajar bahwa damai dalam keluarga adalah fondasi pelayanan, lahir dari kehadiran Kristus yang mengubah keputusasaan menjadi sukacita dan harmoni.
Di SMK Karya Rini, saya memahami bahwa damai dalam pendidikan berarti menilai dengan hati jernih (meski harus tetap objektif), menghargai setiap perjuangan siswa, dan membangun kebersamaan yang menularkan semangat positif di antara para guru.
Kedua momen ini, meski berbeda, mengajarkan bahwa damai adalah perjalanan batin yang terus-menerus, sebuah komitmen untuk memilih kasih dan keadilan di tengah tantangan kehidupan.
Pulang dengan tubuh lelah tetapi jiwa penuh, saya merasa membawa benih damai yang kini bertumbuh di hati.
Damai sejati, seperti yang saya temukan hari ini, adalah anugerah yang hidup, hadir dalam doa di Gua Maria, dalam tawa dan kolaborasi saat koreksi bersama di SMK Karya, dan dalam setiap langkah kecil yang saya ambil dengan cinta.
Untukmu yang membaca, semoga kisah ini menginspirasimu untuk menemukan dan menyemai damai dalam tugas sehari-hari, seperti yang saya rasakan dalam ziarah dan pelayanan hari ini. Sampai jumpa di petualangan berikutnya!
Alfred B. Jogo Ena, Yogyakarta, 25 April 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI