Dalam konteks keluarga, damai ini berarti mengundang dan menghadirkan Kristus ke dalam setiap pergumulan, dari ketegangan kecil hingga luka yang dalam. Saya terpaku, merasa seperti bukan hanya moderator, tetapi juga murid yang belajar ulang makna damai. Kata-kata Romo seperti angin sejuk, menyapu keraguan dan menanam harapan bahwa damai sejati selalu mungkin, asalkan kita membuka hati.
Sebelum menutup sesi yang menjadi tanggung jawab saya, saya membacakan pantun penutup sebagai berikut:
Pagi di Jatiningsih penuh berkah,
Paskah 2025 kita rayakan.
Kami bertiga pamit undur diri,
Damai Kristus terus kita junjung. Â
Terima kasih atas kehadiran saudara,
Firman Tuhan terangi langkah kita.
Sampai jumpa di acara mendatang,
Sejahtera Kristus selamanya nyata.
Acara yang diawali dan diakhir dengan doa, berakhir lebih cepat dari perkiraan. Sehingga saya bisa leluasa ikut membaur bersama para peserta menikmati hidangan yang disediakan panitia. Kemudian dengan pesan tentang damai terus bergema di hati saya selangkah keluar dari areal Gua Maria, di bawah langit yang kini semakin terang menuju sekolah SMK Karya Rini di perbatasan Kodya Yogyakarta dan Sleman.
Saya merasa membawa benih damai yang siap ditanam dalam setiap aspek hidup. Damai, seperti yang saya pelajari pagi ini, adalah perjalanan batin: pilihan untuk memeluk kasih, iman, dan pengampunan di tengah kenyataan yang tak selalu sempurna.
Sore di SMK Karya: Menyemai Damai dalam Koreksi Bersama
Langit Yogyakarta mulai terik, memancarkan cahaya menyengat yang menyapa ketika saya tiba di SMK Karya. Gedung sekolah itu berdiri sederhana, namun penuh kehidupan, dengan suara siswa yang sesekali terdengar dari kejauhan, seperti nyanyian masa depan yang sedang dirangkai. Saya datang untuk mengikuti sesi koreksi bersama hasil ujian kelas 12, sebuah tugas yang bagi sebagian orang mungkin terasa berat, tetapi bagiku adalah pelayanan, kesempatan untuk menyemai damai melalui pendidikan dengan cara yang adil, penuh empati, dan penuh makna.
Ruang koreksi menyambut dengan aura positif yang menular. Para guru dari berbagai mata pelajaran di SMK Karya Rini berkumpul mengelilingi meja panjang, tumpukan kertas ujian tersusun rapi, dan aroma teh serta kopi menguar di udara, menciptakan suasana hangat. Ada canda yang mengalir di antara kami, seorang guru matematika menggodakan rekannya yang salah membaca jawaban siswa, dan tawa pun meledak, menghilangkan ketegangan.
Namun, di balik keceriaan itu, ada semangat kebersamaan yang kuat. Kami, para korektor, bukan hanya menilai angka, tetapi menghargai usaha dan mimpi siswa yang terpatri di setiap lembar ujian. Saya duduk di antara mereka, pena di tangan, merasakan energi positif yang menular, seolah kami sedang menjalin harmoni dalam tugas ini.
Pesan tentang damai sejati dari Gua Maria pagi tadi kembali bergema di benakku. Pendeta Andi berbicara tentang damai sebagai pilihan sadar, sebuah keputusan untuk memahami dan memaafkan, sementara Romo Suratmo menegaskan bahwa damai lahir dari kehadiran Kristus yang mengubah hati. Dalam konteks koreksi ini, damai bagi saya berarti menilai dengan hati yang jernih, bebas dari prasangka, dan penuh empati.Â