Mohon tunggu...
Alfred Benediktus
Alfred Benediktus Mohon Tunggu... Menjangkau Sesama dengan Buku

Seorang perangkai kata yang berusaha terus memberi dan menjangkau sesama. I Seorang guru di SMP PIRI, SMA dan SMK Perhotelan dan SMK Kesehatan. I Ia juga seorang Editor, Penulis dan Pengelola Penerbit Bajawa Press. I Melayani konsultasi penulisan buku. I Pemenang III Blog Competition kerjasama Kompasiana dengan Badan Bank Tanah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

RA Kartini dan Feminisme Digital: Menyala dalam Literasi Digital Perempuan

21 April 2025   08:21 Diperbarui: 21 April 2025   08:21 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RA Kartini dan Feminisme Digital: Menyala dalam Literasi Digital Perempuan

 

Dengan gaya pena yang penuh semangat dan visi jauh ke depan, RA Kartini, putri Jepara kelahiran 21 April 1879, telah menorehkan tinta emas dalam sejarah emansipasi perempuan Indonesia. Surat-suratnya, yang kini abadi dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, adalah nyala api yang membakar kungkungan patriarki dan kolonialisme, menyerukan pendidikan sebagai jalan menuju kebebasan perempuan.

Di zaman yang kini dirajut oleh jaringan digital, semangat Kartini tak padam; ia menyala kembali melalui feminisme digital, sebuah gerakan yang menjadikan teknologi sebagai senjata untuk kesetaraan. Di jantung gerakan ini, literasi digital perempuan bertahta sebagai fondasi, menjembatani perempuan menuju kemandirian dan kuasa di ranah daring.

Sekarang dengan nada penuh gairah, tulisan pagi ini hendak menyatukan perjuangan Kartini, denyut feminisme digital, dan urgensi literasi digital perempuan, menggelorakan visi kesetaraan di era teknologi, dengan data dan referensi yang kokoh.

Kartini: Sang Penyulut Api Emansipasi

Bayangkan seorang perempuan muda, terkungkung oleh tradisi pingitan, pernikahan paksa, dan bayang-bayang poligami, namun jiwanya membara. Itulah Kartini. Hanya bersekolah hingga usia 12 tahun, ia tak menyerah pada kegelapan. Dengan buku-buku dan surat menyurat bersama sahabat-sahabatnya di Belanda, seperti Stella Zeehandelaar, Kartini menyerap ilmu dan menggugat ketidakadilan.

Ia mendirikan sekolah untuk anak perempuan di Jepara, sebuah langkah berani yang menabuh genderang revolusi pendidikan. "Pendidikan adalah cahaya," tulisnya, "yang akan membebaskan perempuan dari belenggu." Meski hidupnya terhenti di usia 25 tahun pada 1904, nyala Kartini terus berkobar, menginspirasi generasi demi generasi.

Hari ini, bayang-bayang tantangan yang dihadapi Kartini masih terasa. Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) mencatat angka putus sekolah perempuan di pedesaan tetap tinggi, sering karena pernikahan dini. UNICEF Indonesia (2023) mengungkap satu dari sembilan perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, merampas hak mereka atas pendidikan dan otonomi. Di panggung politik, hanya 20,9% kursi DPR RI diisi perempuan (DPR RI, 2024). Ini adalah panggilan: visi Kartini tentang perempuan mandiri masih menanti untuk diwujudkan.

(olahan GemAIBot, dokpri)
(olahan GemAIBot, dokpri)

Feminisme Digital: Nyala Kartini di Dunia Maya

Bagaikan surat-surat Kartini yang melintasi lautan, feminisme digital adalah suara perempuan yang kini menggema di jagat maya. Dengan 78,19% rakyat Indonesia terhubung ke internet (APJII, 2023), platform seperti X menjadi medan tempur baru. Kampanye seperti #MeToo atau #PerempuanDigital mengguncang kesadaran, menyerukan akhir kekerasan gender dan pemberdayaan perempuan. Feminisme digital adalah simfoni empat nada:

  • Advokasi yang Menggugah: Aktivis dari Jaringan Perempuan Indonesia memanfaatkan media sosial untuk membongkar isu pernikahan dini dan kekerasan domestik, membangunkan nurani massa.
  • Pelukan Daring: Komunitas seperti Magdalene menjadi pelabuhan aman, tempat perempuan berbagi cerita dan menjalin solidaritas.
  • Perisai Melawan Kekerasan: Safenet (2023) mengungkap 60% korban kekerasan daring adalah perempuan, menegaskan urgensi keamanan digital.
  • Merombak Cerita Lama: Keren, para kreator feminis menantang stereotip perempuan di media, menyuguhkan narasi yang merayakan keberagaman peran.

Seperti Kartini yang menjadikan surat sebagai pedang, feminisme digital mengayunkan teknologi untuk mematahkan rantai diskriminasi. Namun, musuh tak kecil: cyberbullying, algoritma yang bias, dan kesenjangan akses menghadang, terutama bagi perempuan di pelosok negeri.

Literasi Digital Perempuan: Lentera Baru Emansipasi

Jika pendidikan adalah cahaya bagi Kartini, literasi digital adalah lentera perempuan modern. Ini bukan sekadar kemampuan mengklik atau mengetik, melainkan kuasa untuk menavigasi dunia daring dengan percaya diri, aman, dan penuh makna. Literasi digital memberi perempuan sayap:

  • Kekuatan Ekonomi: World Bank (2023) menyebut perempuan terampil digital punya peluang 25% lebih besar meraih pekerjaan teknologi. Lihatlah UMKM perempuan di Shopee dan Tokopedia, yang melesat berkat pelatihan digital!
  • Suara di Panggung Publik: Literasi digital memungkinkan perempuan menggugat kekerasan gender di dunia maya, meneruskan semangat advokasi Kartini.
  • Perisai Keamanan: Pengetahuan privasi daring melindungi perempuan dari doxing atau pelecehan seksual.
  • Pintu Ilmu: Platform seperti Coursera atau Ruangguru membuka akses belajar bagi perempuan di ujung negeri.

Namun, jalan tak selalu mulus. APJII (2023) mencatat hanya 75% perempuan Indonesia online, tertinggal dari 81% laki-laki. Stereotip gender mengintai, dengan hanya 18% perempuan Asia Tenggara memilih karier STEM (UNESCO, 2021). Beban domestik - 3-4 jam lebih lama bagi perempuan (BPS, 2023)- dan ancaman kekerasan daring semakin memperberat langkah.

Menyalakan Visi Kartini di Era Digital

Untuk mengobarkan api Kartini, kita harus bergerak, berani, dan bersatu. Berikut langkah-langkah yang menggugah:

  • Pelatihan yang Membara: Program seperti "Perempuan Inovasi" atau "Sisters in Tech" menyalakan keterampilan digital, dari e-commerce hingga keamanan daring. Dunia punya "Girls Who Code" sebagai teladan!
  • Kebijakan yang Merangkul: "Gerakan Nasional Literasi Digital" (Kemenkominfo, 2023) dan proyek Palapa Ring memperluas akses internet. Subsidi perangkat untuk perempuan rentan adalah keharusan.
  • Kampanye yang Menggetarkan: #PerempuanDigital, didukung Safenet, harus menggema, mengajarkan keamanan dan urgensi literasi digital.
  • Komunitas yang Menyatu: Women in Tech Indonesia dan mentor perempuan di teknologi adalah nyala yang menginspirasi keberanian.
  • Pendekatan yang Memahami: Program literasi harus lentur, menghormati beban domestik perempuan, dan relevan, bayangkan kursus manajemen keuangan daring yang praktis!

Penutup: Dari Tinta ke Piksel, Kartini Tetap Menyala

Dari surat-surat yang ditulis di bawah lampu minyak, Kartini menerangi jalan emansipasi. Kini, feminisme digital dan literasi digital perempuan adalah piksel-piksel yang meneruskan cahayanya. Hadapi kesenjangan akses, stereotip gender, dan kekerasan daring dengan keberanian, dan kita akan melihat perempuan tak hanya sebagai pengguna teknologi, tetapi sebagai pencipta, pemimpin, dan pengubah dunia. 

Kartini mengajarkan bahwa pendidikan -kini berwujud literasi digital- adalah nyala yang membebaskan. Mari kita sulingkan visi itu, menuju Indonesia yang setara, adil, dan penuh kuasa perempuan!

Referensi

  • Kartini, R.A. (2014). Habis Gelap Terbitlah Terang. Jakarta: Balai Pustaka.
  • Badan Pusat Statistik. (2023). Statistik Pendidikan 2023 & Statistik Gender dan Pemberdayaan Perempuan. Diakses dari: https://www.bps.go.id.
  • UNICEF Indonesia. (2023). Child Marriage in Indonesia & Digital Safety for Women and Girls. Diakses dari: https://www.unicef.org/indonesia.
  • DPR RI. (2024). Komposisi Anggota DPR RI Periode 2019-2024. Diakses dari: https://www.dpr.go.id.
  • APJII. (2023). Survei Penetrasi dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia. Diakses dari: https://www.apjii.or.id.
  • Safenet. (2023). Laporan Kekerasan Berbasis Gender Online. Diakses dari: https://id.safenet.or.id.
  • UNESCO. (2021). Women in STEM: A Gender Gap to Innovation. Diakses dari: https://www.unesco.org.
  • World Bank. (2023). Digital Skills for Women: Closing the Gender Gap. Diakses dari: https://www.worldbank.org.
  • Kemenkominfo. (2023). Gerakan Nasional Literasi Digital. Diakses dari: https://literasidigital.id.
  • Cot, J. (2008). Realizing the Dream of R.A. Kartini: Her Sisters' Letters from Colonial Java. Ohio University Press.
  • Baer, H. (2016). Digital Feminisms: Transnational Activism in the Internet Age. Feminist Media Studies, 16(1), 1-17.
  • Magdalene. (2023). Platform Digital untuk Narasi Perempuan. Diakses dari: https://magdalene.co.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun