RA Kartini dan Feminisme Digital: Menyala dalam Literasi Digital Perempuan
Â
Dengan gaya pena yang penuh semangat dan visi jauh ke depan, RA Kartini, putri Jepara kelahiran 21 April 1879, telah menorehkan tinta emas dalam sejarah emansipasi perempuan Indonesia. Surat-suratnya, yang kini abadi dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang, adalah nyala api yang membakar kungkungan patriarki dan kolonialisme, menyerukan pendidikan sebagai jalan menuju kebebasan perempuan.
Di zaman yang kini dirajut oleh jaringan digital, semangat Kartini tak padam; ia menyala kembali melalui feminisme digital, sebuah gerakan yang menjadikan teknologi sebagai senjata untuk kesetaraan. Di jantung gerakan ini, literasi digital perempuan bertahta sebagai fondasi, menjembatani perempuan menuju kemandirian dan kuasa di ranah daring.
Sekarang dengan nada penuh gairah, tulisan pagi ini hendak menyatukan perjuangan Kartini, denyut feminisme digital, dan urgensi literasi digital perempuan, menggelorakan visi kesetaraan di era teknologi, dengan data dan referensi yang kokoh.
Kartini: Sang Penyulut Api Emansipasi
Bayangkan seorang perempuan muda, terkungkung oleh tradisi pingitan, pernikahan paksa, dan bayang-bayang poligami, namun jiwanya membara. Itulah Kartini. Hanya bersekolah hingga usia 12 tahun, ia tak menyerah pada kegelapan. Dengan buku-buku dan surat menyurat bersama sahabat-sahabatnya di Belanda, seperti Stella Zeehandelaar, Kartini menyerap ilmu dan menggugat ketidakadilan.
Ia mendirikan sekolah untuk anak perempuan di Jepara, sebuah langkah berani yang menabuh genderang revolusi pendidikan. "Pendidikan adalah cahaya," tulisnya, "yang akan membebaskan perempuan dari belenggu." Meski hidupnya terhenti di usia 25 tahun pada 1904, nyala Kartini terus berkobar, menginspirasi generasi demi generasi.
Hari ini, bayang-bayang tantangan yang dihadapi Kartini masih terasa. Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) mencatat angka putus sekolah perempuan di pedesaan tetap tinggi, sering karena pernikahan dini. UNICEF Indonesia (2023) mengungkap satu dari sembilan perempuan menikah sebelum usia 18 tahun, merampas hak mereka atas pendidikan dan otonomi. Di panggung politik, hanya 20,9% kursi DPR RI diisi perempuan (DPR RI, 2024). Ini adalah panggilan: visi Kartini tentang perempuan mandiri masih menanti untuk diwujudkan.
Feminisme Digital: Nyala Kartini di Dunia Maya
Bagaikan surat-surat Kartini yang melintasi lautan, feminisme digital adalah suara perempuan yang kini menggema di jagat maya. Dengan 78,19% rakyat Indonesia terhubung ke internet (APJII, 2023), platform seperti X menjadi medan tempur baru. Kampanye seperti #MeToo atau #PerempuanDigital mengguncang kesadaran, menyerukan akhir kekerasan gender dan pemberdayaan perempuan. Feminisme digital adalah simfoni empat nada:
- Advokasi yang Menggugah: Aktivis dari Jaringan Perempuan Indonesia memanfaatkan media sosial untuk membongkar isu pernikahan dini dan kekerasan domestik, membangunkan nurani massa.
- Pelukan Daring: Komunitas seperti Magdalene menjadi pelabuhan aman, tempat perempuan berbagi cerita dan menjalin solidaritas.
- Perisai Melawan Kekerasan: Safenet (2023) mengungkap 60% korban kekerasan daring adalah perempuan, menegaskan urgensi keamanan digital.
- Merombak Cerita Lama: Keren, para kreator feminis menantang stereotip perempuan di media, menyuguhkan narasi yang merayakan keberagaman peran.
Seperti Kartini yang menjadikan surat sebagai pedang, feminisme digital mengayunkan teknologi untuk mematahkan rantai diskriminasi. Namun, musuh tak kecil: cyberbullying, algoritma yang bias, dan kesenjangan akses menghadang, terutama bagi perempuan di pelosok negeri.