Bulan Sabit yang Menyatukan
Langit senja memerah ketika azan magrib berkumandang. Aroma kolak pisang dan gorengan menggantung di udara, tapi meja makan di rumah keluarga Malik terasa hampa. Di sebelah kiri, duduk Fahri (12 tahun) bersama ayahnya, Ardi. Di seberang kota, di rumah neneknya, Laila (9 tahun) duduk di samping ibunya, Rania. Kedua anak itu menatap ponsel mereka, saling mengirim pesan rahasia.
"Aku kangen suara Ayah waktu adzan," tulis Laila, jarinya gemetar.
"Aku juga kangen masakan Ibu," balas Fahri, menelan air mata.
Sejak pertengkaran hebat setahun lalu, Rania memutuskan mengajak Laila pulang ke rumah orang tuanya. "Hanya sementara," katanya kala itu. Tapi waktu berlalu, dan kebisuan mengeras seperti tembok. Ardi, yang keras kepala, menolak mengalah. Rania, yang terluka, bersembunyi di balik harga diri.
Di tengah malam ke-20 Ramadan, Fahri dan Laila berkomplot. Mereka membuat panggilan video diam-diam, berdoa bersama di penghujung sahur.
"Tolong, Allah, satukan kami lagi," bisik Laila, air matanya jatuh ke bantal.
Fahri mengangguk, matanya merah. "Aku janji, kalau Ibu dan Ayah rujuk, aku bakal puasa sunah sebulan penuh."
**
Suatu sore, Rania tak sengaja melihat pesan Laila kepada Fahri: