Ketika Nelayan Jadi Aktivis Jalanan Plus
Â
Desa Airbesar yang berada di pinggir pantai itu, terkenal dengan angin lautnya yang bisa bikin rambut kriting dalam sekejap. Di sana ada sekelompok nelayan unik. Mereka bukan cuma nelayan biasa, tapi juga ahli filsafat dadakan yang sering menggelar rapat di tepi laut sambil menggoreng ikan. Ya, betul, mereka nggak cuma mikirin tangkapan ikan, tapi juga mikirin kenapa harga minyak goreng lebih mahal daripada ikan.
Suatu hari, tiba-tiba muncul pagar tinggi bak tembok China di depan laut mereka. Para nelayan pun langsung bengong. "Ini apa-apaan? Kami mau melaut, bukan jadi penjaga kebun binatang!" protes Pak Noto, yang biasanya optimis saat menjala ikan, tapi kali ini wajahnya seperti ikan asin yang lupa digarami.
Dalam kepanikan, para nelayan mengadakan demo kecil-kecilan ala "Nelayan vs Pagar." Mereka berteriak, "Bongkar pagar, bongkar pagar!" sambil mencoba membuat poster dari daun kelapa. Sayangnya, karena kebanyakan pakai daun kelapa, tulisan di posternya malah sulit dibaca. Ada yang tertulis, "TOLONG GASNYA DITAMBAH, IKAN KAMI LAPAR!" dan ada juga yang isinya cuma coretan kayak anak TK lagi belajar menulis.
Namun, ketika berita ini muncul di televisi, potret mereka beralih dari "nelayan yang berjuang" menjadi "nelayan yang bingung" karena semua media justru fokus pada kelangkaan gas! Lah, nelayan mau berebut air laut, eh, tiba-tiba dihadapkan pada antrean gas! Bahkan ada satu nelayan yang sampai bilang, "Kalau gas habis, kita bakar aja pohon kelapa pakai semangat patriotisme!"
Sementara itu, seorang warga bernama Bang Jack -yang biasanya cuma duduk di warung kopi sambil ngomel-ngomel- tiba-tiba ketangkep emosi melihat menterinya di layar TV. "Menteri! Logika itu penting! Kalau gas habis, buat apa beli pemanggang ikan?! Apa kita harus masak ikan pakai matahari aja, biar hemat energi?!" Pekikannya membuat semua nelayan tersenyum, bahkan ada yang sampai tersedak ikan goreng karena ketawa.
Bu Niri, yang biasanya pendiam dan cuma sibuk merajut jaring ikan, tiba-tiba berubah jadi orator dadakan. "Ayo kita blokir jalan, supaya para investor tidak bisa lewat! Mereka kan sekongkol sama pejabat!"Â serunya dengan nada dramatis, mirip film action Hollywood. Semua nelayan langsung bersorak, "Setujuuuu!" Bahkan ada yang spontan nyanyi lagu dangdut sambil joget di tengah jalan.
Akhirnya, dengan semangat menggebu-gebu, mereka berbaris di jalan dengan tambang dan jaring ikan sebagai atribut demo. Jalur jalanan pun terhalang oleh harapan akan kebijakan yang bijaksana. Di tengah kekacauan ini, Pak Noto tiba-tiba berteriak, "Laut, kami datang!" Dan entah bagaimana caranya, ikan-ikan di laut ikut melompat-lompat seolah ingin ikut dalam aksi. Ada ikan tongkol yang loncat tinggi sambil bilang, "Pak Noto, aku ikut ya, soalnya di laut udah nggak ada ruang gerak gara-gara pagar ini!"
Dengan tawa dan keributan yang semakin memuncak, para nelayan akhirnya menyadari satu hal: pagar atau tidak, tetap saja mereka akan berjuang untuk bisa melaut sepuasnya. Dan siapa tahu, bisa bikin festival olahan ikan buat menggantikan gas yang langka! Mereka bahkan mulai merancang menu-menu baru seperti "Ikan Bakar Tanpa Api" atau "Ikan Asam Manis Pakai Air Mata."
Kalau hidup memberimu pagar, jadilah ikan yang melompat tinggi melewatinya. Atau setidaknya, jangan lupa bawa jaring cadangan, siapa tahu ada investor yang mau diajak barter ikan dengan gas!