Mohon tunggu...
Alfonsus G. Liwun
Alfonsus G. Liwun Mohon Tunggu... Wiraswasta - Memiliki satu anak dan satu isteri; Hobi membaca, menulis, dan merefleksikan.

Dum spiro spero... email: alfonsliwun@yahoo.co.id dan alfonsliwun16@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Berkebun, Kenal Diri Sendiri dan Orang Lain

10 Mei 2020   12:39 Diperbarui: 10 Mei 2020   12:40 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Hampir setahun, saya tidak pernah ke kebun. Rutinitas bekerja di tempat lain membuat saya lupa akan kebun saya. Kebun itu semak belukar. Orang yang pernah menggarap di kebun, pergi tanpa berita. Datang memang tak terduga, pergi pun tak terduga. Pikir saya, ke kebun pasti akan berjumpa dengan keluarga itu. 

Namun, rupanya telah tiada. Mereka sudah tidak olah lagi kebun itu. Kebun menjadi hijau, hijau kerena rerumputan tumbuh subur. Pohon-pohon coklat, mahoni dan sengon yang saya tanam, tumbuh tinggi, menjadi hutan yang sejuk. Hati kecil saya bergeming, untung kebun saya tidak mereka jual atau tidak mereka gadai kepada orang lain. 

Niat baik mereka untuk mengolah kebun itu, ternyata benar. Mereka hanya mengolah tetapi mereka tidak menghiraukan pemiliknya. Mereka tanam pepaya, lalu panen. 

Mereka tanam timun dan panen lagi. Mereka tanam cabe dan sekali lagi panen. Menanam dan panen, jadi kerja mereka untuk mendapatkan rejeki. Semuanya ini, saya ikhlas saja. Tetapi satu hal yang benar-benar membuat saya kaget dan berpikir tiga kali lipat ialah kertas-kertas dan sampah-sampah plastik yang mereka gunakan selama ini, ditinggalkan begitu saja.

Hari ini baru saya tahu ketika rerumputan yang menghijau saya tebas. Saya bersihkan daun-daun kering dari pohon-pohon coklat dan mahoni serta pohon sengon. Awalnya ikhlas namun lama saya menerawang jauh, akhirnya saya putuskan bahwa kebun saya ini tidak akan saya berikan kepada orang lain untuk mengolah, mengambil hasil, dan pergi begitu saja dengan seisi kebun yang berantakkan. 

Situasi ini menambah keheningan saya ketika hujan mulai turun dan petir mulai bergemuruh. Rasanya bahwa ikhlas memang berat. Keikhlasan hati pemilik dibalas dengan kebodohan tanpa batas. 

Memang, manusia itu sulit untuk dimengerti bahkan sulit untuk mengenal lebih jauh. Padahal, sejak awal saya pahami mereka karena kondisi ekonomi hidup mereka. 

Cara santun dan halus untuk meminta kepada saya bahwa kebun itu kami olah dulu, berbuah pahit. Dari pengalaman ini, saya pun merenungkan diri, bahwa rupanya benar, manusia itu misteri serentak problematika.

Kisah kebun tadi mengingatkan saya bahwa kebun itu sendiri tempat mengolah fisik. Keterampilan mengungkapkan kreativitas fisik. Mengungkapkan ketangkasan fisik dalam mengolah alam. Apalagi, mengolah alam, berarti melatih kedekatan fisik saya dengan tanah. 

Bahwa dari tanah inilah asal usul saya dan hidup saya. Bahwa dari tanah inilah, kehidupan seseorang terjadi dan terlaksana. Juga kebun ialah bentangan hati. 

Hati yang tulis ikhlas untuk memberikan mereka mengolah, adalah tindakan saya. Bahkan selama mereka mengolah, mereka pun tidak memberikan apa-apa kepada saya, hanya saya saja yang mungkin terlalu memberi hati. Bentangan hati yang ikhlas, tak seikhlas yang saya harapkan itu. 

Terlepas dari kebun dan keluarga yang mengolah kebun tadi, saya sekurang-kurangnya menemukan tiga hal dasar tentang manusia. Pertama, bahwa manusia itu cepat dipercayai namun berliku-liku dalam membangun kepercayaan itu. 

Disinilah saya menemukan hal dasar dari manusia, yaitu bahwa hanya dengan tindakkan saya mengenal seseorang itu. 

Sementara secara esensial, saya tak sanggup menyelami kedalaman hati mereka itu. Mungkin boleh saya sebut, baik didepan tetapi buruk dibelakang. Sementara saya sendiri mungkin terlalu cepat memahami permintaan mereka. 

Kedua, bahwa manusia itu jika tanpa cinta, amburadul, kacau dan berantakkan. Cinta unsur dasar dalam hati manusia yang menyatukan keterpisahan, tidak dipahami dan dipasar dengan radikal. "The Art of Loving", salah satu buku Erich Fromm.

 Erich mengulas dalam bukunya itu bahwa cinta itu adalah seni. Karena cinta itu sebuah seni maka mau tidak mau, manusia yang memiliki cinta itu harus benar-benar memahaminya. Tanpa itu, cinta yang dimiliki seseorang menjadi tidak waras. 

Saya dengan tulus ikhlas (dibaca: cinta) memberi kebun itu untuk diolah oleh keluarga itu, namun rupanya cinta saya tidak dibalas dengan cinta. Buktinya, sampah-sampah plastik berserakkan, tanah menjadi tidak sehat akibat penumpukkan sampah plastik. 

Pohon-pohon coklat, mahoni dan sengon yang saya tanam, jadi tinggi namun tidak besar batam-barangnya. Karena air hujan yang turun bukan diserap oleh tanah malahan mengalir jauh dari pohon-pohon karena sampah menumpuk dibawah pohon-pohon itu. 

Cinta tidak kepada pemiliknya, tidak  cinta juga kepada tanaman serta juga kepada tanah.

Memang tidak gampang bahwa setiap orang memaknai hakikat cinta, tetapi sekurang-kurangnya tindakan itu harus mencerminkan jati diri, pemilik cinta itu. Ini pun nihil.

Jadi, ketakterdugaan keluarga itu datang ke kebun dan ketakterdugaan keluarga itu pergi dari kebun, adalah sebuah keniscayaan. Datang dan pergi, adalah sebuah ziarah. Ziarah yang tidak memaknai orang lain dan dunia sekitarnya. Hanya dapat memaknai diri sendiri adalah bentuk egoisme diri belaka. 

Ketiga, bahwa manusia memiliki kamuflase yang ditampilkan dengan harapan belaskasih. Ini menjadi pengalaman bagi saya dan mungkin manusia lain. Mungkin bersikap kritis dan hati-hati membuat keputusan menjadi hal pokok yang harus disadari. Karena melalui kesadaran diri itu, mengolah diri untuk membuat keputusan, akan menjadi efektif dan efisien. Manusia sungguh manusiawi jika kesadaran diri dan kesatuan dalam jiwa, adalah utuh, satu, dan bersamaan.

Akhirnya, manusia dalam hubungan dengan manusia lain memberi makna hidup tersendiri, yang juga tak dipisahkan juga dari tanah. **

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun