Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Problematik Jiwa dan Badan

29 Maret 2021   21:42 Diperbarui: 29 Maret 2021   21:55 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Acapkali kita pernah atau sering mendengar pertentangan antara dimensi spiritual dan kejasmanian dalam diri manusia, tepat ketika manusia menghayati hidupnya secara keseluruhan di tengah alam semesta ini. Dualisme itu sering dijumpai dalam hidup sehari-hari dan bahkan secara tak sadar sering menjadi pedoman hidup di mana menggerakkan manusia pada arah tertentu yang hendak dituju. Dan hal itu mungkin kita temukan di saat manusia memilah dirinya dalam pemaknaan, hingga apa yang disebut dengan discernment. Pada wilayah spiritual manusia mengetengahkan kepuasan jiwa dengan digerakkan melalui interior manusia, seperti keberimanan, tuntutan religiositas, serta peranan suara hati dan seterusnya sebagaimana, ditujukan demi suatu kedamaian jiwa demi suatu keabadian yang hendak dihayati di dunia 'seberang'. Tak luput pula kejasmanian, yang dengan mengetengahakan puncak sukacita ragawi, baik itu kenikmatan, kepuasan, serta pelbagai macam hasrat naluriah yang digerakkan, agar tubuh kita mendapat suatu bentuk kepenuhan di dalam menghayati implementasi citra sebagai manusia itu sendiri. Dua hal tersebut menjadi bentuk yang berbeda dan sungguh menjadi sebuah catatan tersendiri pada pemaknaan hidup manusia, maka kini hendak tulisan ini kubagikan sebagai sebuah referensi untuk mengenal kedalaman akan kedua hal itu.  

Perkara Fenomena Berbudaya

Secara lebih mendalam menurut Anton Bakker[1] dan juga Driyarkara,[2] kiranya ada dua buah pikiran yang hendak disampaikan terkait filosofi terhadap kebudayaan itu sendiri, yakni Pertama tekanan pada apa yang diletakkan pada segi rohani manusia, pada budinya, pada etosnya, pada idea-idea pada nilai yang menjiwai fenomena kebudayaan. Kedua ialah tekanan pada anta-aksi manusia dengan lingkungan atau alamnya, yang dalam catatan Driyarkara mengatasi segala resistensi alam terhadap usahanya. Sehingga dapat disederhanakan bahwa perjuangan antara roh dan bukan roh, pada lingkup lebih luas sebagai perjuangan manusia dengan dunia disekitarnya. 

Pada balutan fenomena budaya, sesungguhnya yang sering terpatri atau dihayati adalah keterarahan pada citra pertama, yakni tentang ide rohani beserta kedalamannya, di mana kiranya mampu membalut hal-hal naluriah sehingga dapat lebih terarah. Seperti bila kita meminjam pengertian Budaya dalam Kuntowijoyo, misalnya sebagai sebuah sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk-bentuk simbolis seperti kata, benda, laku, mite, sastra,lukisan,nyanyian, kepercayaan yang memiliki keterkaitan eratdengan konsep-konsep epistemologis masyarakatnya. Sistem simbol dan epistemology juga tak terpisahkan juga dari sistem sosial melalui strata, gaya hidup, sosialisasi, agama, mobilitas sosial, organisasi kenegaraan dan seluruh perilaku sosial.[3] Seperti apa yang terumuskan demikian mungkinkah ada sebuah daya untuk manusia dapat merumuskan pemaknaan simbolis itu aspek naluriahnya semata, atau mungkin hanya dapat diterapkan berdasarkan kajian epistemologi itu sendiri?

Pada satu pihak dalam badan terdapat satu hambatan, yakni ketidaksempurnaan. Di mana pada intinya badan begitu lemah untuk masuk pada wilayah simbolis tersebut, artinya ia akan gampang atau mudah terhancurkan oleh akibat naluriahnya sendiri, maka dibutuhkan upaya jiwa untuk menengahi yang di mana umumnya dimiliki oleh pendekatan suara hati. Adakalanya hal tersebut bila dalam kebudayaan ada pada bias gender, terutama tentang seksualitas, sebagaimana merupakan hal tabu dan sangat mengundang sebuah ketakutan tersendiri untuk siapapun terjebak di dalamnya.

 

Konsepsi filosofis badan dan Jiwa

Dua posisi ekstrem ini sesungguhnya telah termuat pada tradisi Yunani, yang dapat diasumisi sejak dari Plato (427-347) dengan prinsip yang menyatakan material sebagai sebuah kekosongan (khoora). Walau memang dari Plotinos (204-270) berasumsi material sebagai emanasi mutlak dari To Hen, ia tetap menganggapnya sebagai sebuah bentuk ketaksempurnaan, sehingga bersifat semu juga sementara.[4] Pada Hegel (1770-1831) materialitas dan kebadanan justru dipisahkan, di mana badan tak lain adalah tubuh yang tak dapat diberi bagian definitive pada kesempurnaan rohani, sebab bagi semua spiritualitas budaya penekanan bukan berlandaskan badan tetapi roh dan perkara bentuk tak begitu penting. Hal ini justru menambah dilema tertentu pada narture or nurture.[5] Itulah perkara soal ide dihadapan materi.

Tak luput pula pada materi dengan penekanan konkret pada unsur badani, menjadi bagian inti sebagaimana bersifat mutlak pada dirinya. Seperti sang atomis Demokritos (493-404) dan dalam teori Hobbes (1588-1679) mengambil peran bahwa manusia menurut kejasmaniannya terlalu diremehkan, akibat persoalannya selalu mengunggulkan hal-hal rohani dari manusia itu sendiri sebagaimana jembatan menuju kepada Tuhan, di mana dengan lekasnya menimbilkan sebuah keterasingan pada materialitas terutama badan itu sendiri, sebagaimana perlu dilihat bahwa badan merupakan unsur yang tidak berkedudukan pada suatu realitas manusiawi, melainkan punya kedalaman sendiri, dan tak pernah tercampur baur pada dimensi rohani itu sendiri.

Adapun usaha untuk menyatukan dua dimensi terdalam manusia itu sendiri sudah dimulai Aristoteles dan Thomas Aquinas, berpegang pada asumsi klasik dasariah bahwa yang mengada adalah to oonto on sebagai rohani, di mana lain pihak sangat lebih realistis dari Plato. Dengan kata lain prinsip material disatukan ke dalam substansi, walau keduanya harus tetap berdistingsi real. Thomas Aquinas meneruskan catatan Aristoteles dengan memberi suatu kompromis pada sensus indrawi itu sendiri yang pada paham tentang pulchurum sebagai aspek materia yang terlibat dalam pemurnian jiwa sebagaimana hal tersebut merupakan unsur, di mana akan mengantar kepada arah kekudusan. Demikian pendekatan dari sudut spiritual itu sendiri

Pendekatan materialis pun mendedikasikan pendekatan yang sama melalui jalur humanisme, di mulai dengan Epikuros (341-270) memperluas atomisme Demokritos, sebagaimana Epikuros menerima jiwa rohani dengan mengakui adanya dewa-dewa tetapi akhirnya semua keberimanan adalah keunikan dari tiap-tiap atom yang halus. Kenikmatan 'rohani'dan ketenangan hati memang merupakan hakikat tertinggi, tetapi pada atom yang merupakan nukilan terkecil pada tubuh atau badan menjiwai kenyataan itu sendiri. Seturut Marleu-Ponty (1906-1961) badan manusia bukanlah benda, dan bukan saja tubuh melainkan manusia sendiri menurut pengalamannya dengan dunia (perception) dan pergaulan dengan dunianya (comportment).[6]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun