Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fragmen Politik Menurut Hannah Arendt

1 Juni 2020   10:45 Diperbarui: 1 Juni 2020   10:46 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik dan kekuasaan menurut Arendt

Oleh karena politik berlangsung di antara manusia-manusia, maka politik berada di luar manusia. Demikianlah yang dipikirkan Arendt terkait politik itu sendiri, fokus dari kalimat tersebut adalah distansi (ruang-antara). 

Pola distansi sedemikian rupa memberi sebuah aham menyeluruh bahwa diantara satu sama lain manusia di satu pihak mampu mengenali dan mengakui yang lain dalam kelainannya, sehingga ruang-diantara tadi memungkinkan kedekatan di dalam komunikasi di mana mambuat orang dapat berkata tentang kita. 

Dengan demikian politik ruang-antara memungkinkan sebuah pluralitas dala integritas, identitas individual dan identitas sosial sekaligus. Gamblangnya dapat dilihat pada lingkup sosiologis terlebih khusus pada lembaga-lembaga intermediasi yang melindungi individu dari paksaan kelompok terutama dimaksud intervensi negara terhadap rakyatnya, tetapi pula membentengi politik dari anarki massa. 

Kenyataan itu dapat dicontohkan dengan adanya prs yang otonom, lembaga swadaya masyarakat, gereja,serikat buruh koperasi, perkumpulan warga setempat, dan seterusnya. Organisasi para warga negara inilah politik. 

Jadi dengan kata lain kebijakan-kebijakan paternalistis pemerintah atau pemaksaan kehendak eliter di papan atas tidak memiliki peranan disini. Dengan begitu tanpa adanya organisasi diri, secara langsung penguasa akan berhadap-hadapan dengan rakyatnya.  

 Lalu jika politik dilokalisir pada ruang di antara warga negara saling berkomunikasi, maka kekuasaan juga mendapat pengertiannya. Arendt selaras dengan oikos pada hubungannya tuan dan budak, sebagai dasar atau skema tentang kekuasaan. Namun secara menyeluruh Arendt membacanya dengan pikiran berbeda bahwa kekuasaan tak lain dariapa solidaritas politis para warga negaranya. 

Ucapnya bahwa kita senantiasa mengalami kekuasaan, jika kata-kata dan perbuatan-perbuatan saling terkait, jadi dimana-mana kata tidak kosong dan perbuatan-perbuatan tidak bungkam  dan perubahan menjadi kekerasan di mana kata-kata tidak disalahgunakan untuk menyelubungi maksud-maksud, melainkan dikatakan untuk menyingkapkan kenyataan dan di mana perbuatan tidak disalahgunakan.[4]  

Jadi dengan kata lain kekuasaan ada di tangan para wakil rakyat itu sendiri di mana mampu mendengar dan memilih pilihan untuk menjawab aspirasi warga negara atau tidak. Lalu jika demikian apakah warga negara memiliki kekuasaan? 

Pada hemat saya tentu punya dan itu terdapat dalam solidaritas warga negara itu sendiri mengayomi perbedaan. Untuk itulah menurut hemat saya terkait pemahaman Hannah Arendt bahwa mungkin kementrian agama seharusnya tidak perlu dicantumkan sebagai ranah kepemerintahan karena memang hal tersebut ada di dalam ruang privat di mana struktur penghormatan dan solidaritas terhadap perbedaan telah diajarkan oleh agama dan biarlah menjadi kebebasan dari warga negara itu sendiri mengatur solidaritasnya di dalam implementasi keagamaan itu sendiri. 

Daftar Pustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun