Mohon tunggu...
Alfonsius Febryan
Alfonsius Febryan Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi 'Fajar Timur'-Abepura, Papua

Iesus Khristos Theou Soter

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Rahmat dalam Pemikiran Skolastik

22 Februari 2020   11:48 Diperbarui: 22 Februari 2020   12:11 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Di usia 13 atau 14 tahun, Thomas Aquinas dipindahkan dari biara Benediktin di Monte Casino untuk melanjutkan studinya di Universitas Napoli yang baru saja didirikan pada waktu itu. Adanya transisi menandakan hal simbolis, bahwa bila dahulu pendidikan Filsafat Ketuhanan hanya berkutat pada biara-biara kini mulai 'turun gunung' ke arah sekolah-sekolah perkotaan, dengan begitu lambat laun sekolah-sekolah tersebut menjadi universitas.

Tahun 1239 menjadi sebuah titik awal Thomas Aquinas menampilkan pengintegrasian paling penuh dan sempurna dari fislafat Aristoteles ke dalam teologi. Dengan begtu kehidupan intelektual abad ke tiga belas di dominasi oleh satu fakta sejarah pokok: pengenalan ke barat sejumlah besar literatur filosofis dan ilmiah secara berturut-turut baik itu secara asli dalam pemikiran Yunani, Yahudi, dan Arab. 

Bersamaan dengan karya Aristoteles, Avicennac Averroes, Maimonides dan lain-lain diterjemahkan dalam kesatuan bahasa internasional pada waktu itu, yakni bahasa latin di pusat-pusat studi seperti Toledo dan Napoli. Dalam karya mereka dunia tampil dengan konsistensi internalnya sendiri, di mana kosmos merupakan hierarkhi makhluk yang mempunyai kodrat atau prinsip-prinsip intrinsiknya sendiri, yakni inteligibilitas dan aktivitasnya sendiri. 

Pada satu sisi, keingintahuan dan penelitian yang diperlihatkan oleh kesadaran yang baru ini dan keyakinan dalam akal manusia dapat dipahami dunia ini, hingga proses-prosesnya berhubungan secara langsung dalam penalaran dan kecermatan konseptual yang disediakan Aristoteles melalui logikanya sebagai materi pokok pembelajaran filsafat pada saat itu. 

Walau demikian pandangan itu tidak serta merta menjadi kemajuan bagi salah satu keyakinan, yakni Kristen pada waktu itu. Sebab bagi diajarkan dalam risalah singkat beberapa bapa-bapa Patristik sepeerti Agustinus, bahwa kebijaksanaan datang dari Allah dan didasarkan pada otoritas-Nya sebagaimana tersaji dalam Kitab Suci dan Tradisi. 

Hingga dari keguncangan tersebut lahirlah sosok Aquinas yang dengan sungguh-sungguh memberi penyatuan akan konsep Kekristenan dengan konseptualisasi sistematik Aristoteles, di mana melahirkan Summa Theologia sebagai bahan atau sumber pemikiran kekristenan yang cukup universal dan diterima oleh banyak kalangan.  

Maka dari itu mari kita paparkan hal tersebut di dalam sejarah pemikiran abad pertengahan terlebih khusus tema tentang rahmat, baik dari Patristik hingga Skolastik di mana keemasaannya terdapat dalam dua tokoh yakni Agustinus dan Thomas Aquinas. 

Agustinus dan Pengertian Rahmat

Pemahaman tentang rahmat bagi Agustinus umumnya ditempatkan berhadapan dengan manusia beserta kebebasannya. Seluk beluk idenya adalah bahwa kodrat bersifat konkret dan merupakan jati diri dari manusia itu sendiri. Kodrat mengacu pada kondisi asli umat manusia yang murni sebagaimana ia keluar dari tangan Sang Pencipta, dan dengan demikian kepada eksistensi manusia yang layak, pantas, tanpa dosa, serta dalam rahmat. 

Akan tetapi kodrat juga menujuk kepada kondisi umat manusia sesudah kejatuhan Adam. Dalam penggalan ini, kodrat kehilangan suatu rahmat, sehingga pribadi dalam keadannya yang penuh dengan kecenderungan-kecenderungan kepada dosa.

Jadi Kodrat pada Agustinus tidaklah selalu identik, kodrat bukanlah substansi esensial yang tetap, maka dari itu kodrat bersifat historis berubah bersamaan dengan kejatuhan historis yang membuatnya berbeda dari keadaan yang lalu. 

Walau demikian rahmat bagi Agustinus merupakan hal yang diberikan cuma-cuma (gratuitas) di mana akan termaktub dan terjawab asas baiknya melalui tanggung jawab manusia terhadap kebebasannya. 

Problem kodrat menurut Agustinus menyangkut apa yang dikehendaki dan dilakukan, yang berkenan di hadapan Allah, atau secara lebih tepat problem manusia adalah keberdosaannya dan kehendaknya dia sendiri, dimaksudkan bahwa kita melakukan perbuatan yang berguna serta memberi manfbermanfaat bagi orang lain, hanya hal tersebut tidak didukung oleh rahmat. 

Apa alasannya rahmat diperlukan dalam seluruh aktivitas tersebut? Pertama, karena keberdosaan kita sekarang yang inheren sifatnya, untuk itu manusia memerlukan rahmat. Kedua tidak terdapat perbedaan yang jelas dan tajam antara yang kodrati dan adikodrati dalam ajaran Agustinus dan tentu tidak ada dikotomi di dalamnya. 

Namun walau demikian Agustinus merumuskan dengan menyatakan kodrat aktual yakni cara kita berada sekarang ini meliputi baik keinginan apa yang kemudian dinamakan adikodrati maupun penolakannya terhadap dosa. Ketiga, karena problematika kebebasan dan dosa maka rahmat tampak dalam Agustinus pada hakikatnya sebagai kekuatan Ilahi, baik berupa pribadi dan wahyu demi menata kembali kodrat manusia yang memampukan mereka memilih kebaikan. 

Oleh karena itu rahmat mewujudkan kembali kodrat manusia mereka di dalam pribadi-pribadi. Maka rahmat adalah motivasi dan perilaku manuia dalam bahasa keinginan, niat dan pilihan, kehendak dan tindakan. 

Tradisi pemahaman rahmat sebagai Allah yang bertindak dalam subjek-subek manusia berlangsung hingga abad ketiga belas, Agustinus telah megajarkan bahwa melalui iman, seseorang menerima Roh Kudus dan keutamaan cinta kasih yang menyanggupkannya bertindak dengan kehendak yang tertib, di mana menghendaki kebaikan diatas segala kebaikan. 

Bergesernya Pengertian Rahmat

Pada dasarnya rahmat bagi Agustinus bersifat cuma-cuma, demi menghantar umat manusia terlepas dari keberdosaanya. Naun menjadi pertanyaan metafisis mengapa bila rahmat bersifat cuma-cuma (gratuitas) dalam kasus Adam atau eksistensi manusia yang murni yang bagaimanpun, tidak dicitakan sebagai seorang berdosa? 

Jawaban mengenai pertanyaan ini ditemukan melalui odrat dalam pengertian Aristoteles sebagai prinsip metafisis dari keberadaan riil. Pertama-tama kodrat adalah prinsip permanen manusia atau keberadaan manusia. Dan pribadi-pribadi adalah pribadi-pribadi manusia yang oleh karena kodrat keberadaannya adalah manusia ini tidak daapat berubah secara substansial. Pendek kata, kodrat adalah prinsip yang menjadikan sesuatu apa adanya.

Oleh karena kodrat merupakan dasar permane yang memanusiakan manusia, maka setiap insan bertindak menurut kodratnya dan menuju suatu tujuan yang sesuai dengan kodrat itu. Lalu kemana arah kodrat itu agar sesuai dengan tujuan kodratinya? yakni kepada persekutuan dengan Allah dalam pengetahuan dan cinta yang diketahui hanya melalui wahyu saja, bersifat supernatural dibanding manusia beserta kodratnya. 

Maka dari itu manusia membutuhkan kodrat yang baru dan lebih tinggi yang sebanding dengan kenyataan demi tujuan adikodratinya. Tentunya Adam ini pula membutuhkan rahmat, sebab ia makhluk terbatas dan seorang manusia. Maka kodrat baru itu diberikan secara cuma-cuma. 

Alhasil, rahmat mulai dipahami dengan cara yang baru, yakni rahmat bersiat cuma-cuma bukan karena dosa umat manusia, melainkan karena keberadaan manusa, kemanusiaan, dan karena manusia terarah kepada satu tujuan kodrat yang transenden (bersatu kembali dengan Sang Pencipta). Rahmat dibutuhkan sebagai peninggian kodrat manusia yang tindakannya membuat manusia dapat sebanding dengan tujuan adikodrati.

Dengan demikian rahmat diberi pandangan baru yang sama sekali bersifat ontologis dan kosmologis, pergumulan itu pulalah yang menjadi hubungan tertata antara kpdrati yang koheren dan khas (yang terdiri atas makhluk-makhluk yang dalam pengertian tertentu mempunya tujuan tertentu dalam hierarkhi keberadaan) dan tata yang lebih tinggi atau adikodrati. 

Transisi juga yang terjadi pada abad ketiga belas bertepatan dengan diperkenalkannya konsep habitus (kebiasaan) Aristoteles. Dalam Aristoteles dan Aquinas virtus (keutamaan adalah kebiasaan. Oleh karena kebiasaan merupakan kualitas interior dan disposisi permanen jiwa. Kebiasaan bukanlah tindakan atau gerakan, melainkan prinsip imanen bagi gerakan dan tindakan. 

Untuk itulah yang paling penting ialah bahwa menurut metafisika Aristoteles dan Thomas, setiap tindakan manusia mesti lahir dari forma atau kebiasaan sebagai prinsip imanen dari tindakan khusus itu. Kalau tidak tindakan tersebut bukanlah dari orang tersebut. Itu berarti jika Allah bertindak semata-mata dalam diri saya melalui atau untuk saya, maka tindakan itu bukanlah tindakan saya. 

Sebab semua upaya tindakan merupakan tindakan saya, ia mesti lahir dari dalam saya sebagai prinsip tindakan dan inilah sebuah rinsip metafisis absolut. 

Dalam tradisi Agustinus, rahmat adalah Allah yang bertindak di dalam pribadi maupun kekuatan pengaruh-Nya dalam jiwa dan tindakan kita. Lalu adakah sesuatu yang dapat disebut tetap berada dalam status rahmat? apa yang terjadi misalnya dalam bayi yang dibabtuis tidak sanggup bertindak secara aktif di bawah pengaruh rahmat? 

Menjawab pertanyaan ini dan berdasarkan prinsip metafisis yang baru saja dipaparkan tadi Aquinas melawan argumen Lombardus dengan mengajukan sebuah dilema: jika perbuatan-perbuatan kasih manusa tidak lahir dari dan melalui sesuatu keutamaan yang imanen di mana dicurahkan di dalam satu pribadi, yakni keutamaan kasih maka perbuatan-perbuatan itu meruapakan hasil suatu keutamaan (kebajikan) kodrati dan tidak akan melampaui kodrat. 

Akan tetapi bila dalam area paradigma Agustinus ini merupakan bidaah dan melawan doktrin Agustinus. Maka oleh karena itu prinsip habitus pun dijadikan solusi, bahwa rahmat sebagai forma yang dicurahkan ke dalam jiwa untuk itulah rahmat dipahami sebagai kodrat baru. Sehingga bila rahmat adalah kualitas dan disposisi yang permanen, maka ia harus tetap melekat secara terus menerus. 

Dengan kata lain habitus merupakan prinsip spesifik dari tindakan, dan maka rahmat dipahami sebagai kodrat baru, dalam pendekatan kepada aktivitas lebih tinggi yang terarah kepada suatu tujuan adikodrati. 

Aquinas dan Pandangan tentang Rahmat

Oleh Aquinas barulah pandangan rahmat memiliki nilai fungsionalnya, yakni sebagai pengangkatan manusia ke arah tujuan adikodrati. ini merupakan kebutuhan pook dalam kodrat manusia dan peranan  utama yang dilakukan oleh rahmat menurut logika pemahaman eksisteni manusia sebagai kodrat yang tertuju kepada suatu tujuan yang mengatasi kekuatan serta kapasitas yang teripta. 

Maka hendak dicatat bahwa rahmat mengangkat bukan semata-mata hanya berdasarkan pengalaman, melainkan karena rahmat dimasukkan ke dalam sebuah sistem, di mana tujuan eksistensi manusia dilihat sebagai sama sekali mengatasi kodrat manusia beserta kekuatan aktivitasnya yang sebanding sehingga diperlukan suatu kodrat baru yang mengangkat, yang sebanding ke arah tujuan adikodrati itu (Summa Teologi I-II, 109, 2; 1-II, 112, 1). 

Kedua, rahmat dalam Aquinas secara ontologis merupakan kebiasaan (habitus). Kata ''rahmat'' dalam tulisan-tulisannya hanya dipakai untuk ''rahmat habitual''. Itu berarti rahmat merupakan disposisi permanen yang berakar di dalam roha manusia, sehingga rahmat dibatasi pada kualitas jenis pertama (kebiasaan atau disposisi). 

Perbuatan Allah mencurahkan rahmat ke dalam jiwa merupakan suatu gerakan dan kekuatan, di mana sekalipun rahmat di satu segi merupakan kebiasaan yang mengangkat secara permanen, namun dilihat dari segi pencurahan ke dalam pribadi manusia, rahmat dipandang sebga suatu gerakan di dalam kepribadian itu. 

Ketiga rahmat diidentikkan dengan keberadaan di dalam roh suatu pribadi. Rahmat bukanlah substansi, sebab rahmat merupakan aksidens yang adanya adalah ada-di dalam-yang-lain. Secara teknis rahmat adalah kualitas yang memodifikasi roh manusa sebagai forma atau kebiasaan atau disposisi. 

Di sini kita mesti berhat-hati sekali agar jangan sampai rahmat diwujudkan sama seperti suatu wujud (being). Oleh karena rhamat itulah yang menjadikan manusia ada atau berada secara lain.

Keempat, rahmat bersifat adikodrati. Allah baru dimengerti sebagai adikodrati ketika Ia berhubungan dengan manusia. Maksudnya oleh karena persekutuan rohani dengan Allah mengatasi kodrat mansuia dan segala dinamismenya secara absolut. Lantas arti pertama adikodrati adalah sama sekali mengatasi yang manusiawi dan semua yang terbatas. 

Akan tetapi tujuan eksistensi manusiawi yang dikenal melalui wahyu adalah persekutiuan pribadi dengan Allah, yakni persekutuan rohani dalam pengetahuan dan cinta. Dan juga lantaran adanya jarak yang tidak terbatas antara tujuan dan kekuatan atau kodrat manusia, maka kodrat manusia perlu dilengkapi dengan kekuatan dan kemampuan untuk mendekatkan diri kepada tujuan yang sama sekali mengatasinya dan untuk itulah rahmat diberi sebagai jembatan menuju realitas transenden tersebut. 

Kelima rahmat sama sekali gratis, alasannya? bahwa tujuan kepadanya eksistensi manusia dipanggil sama sekali mengatasi kodratnya sendiri. Untuk itu perlu diperhatikan metafisika Aristotelian-Thomistik ini sebagai kesesuaian antara kodrat dan tujuan yang memiliki kualitas determinasi intrinsik dan dicirikan oleh keniscayaan.

Lebih dari itu seorang Aquinas yang sangat bercorak Yunani dalam mengandaikan Allah Pencipta yang tidak berubah serta terus menerus konsisten atas penyelenggaraan-Nya, maka pemikiran ini hendak mengakui bahwa eksistensi manusia diarahkan oleh kodratnya kepada persekutuan pribadi dan rohani dengan Allah sebagai tujuannya yang pants, kiranya menyiratkan atas keselamatan universal. 

Sehinnga dengan demikian panggilan kepada persekutuan dengan Allah dimengerti sama sekali adikodrati dan karenanya diberikan kepada orang-orang melalui kebebasan penuh oleh Allah sendiri. 

Dengan begitu rahmat adalah gratis bukan lagi dipahami berdasarkan pemahaman Agustinus, melainkan kareakter eksistensial dan kodrat manusia dipertahankan dalam Aquinas dalam konsep kodrat yang utuh dan yang rusak di mana dari itu semua kita membutuhkan rahmat untuk memenuhi seluruh kebaikan yang alamiah bagi kita. 

Sumber: 

1. Haight, Roger 1999. Teologi rahmat darimasa ke masa. Nusa Indah: Ende

Efek terlambat makan siang di Biara Fransiskan Sang Surya....

Abepura, 22 Februari 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun