Kesehatan merupakan pilar fundamental bagi kehidupan masyarakat yang produktif, sejahtera, dan bermartabat. Namun, di wilayah pedesaan seperti Desa Cikoneng, Kecamatan Cikoneng, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, Indonesia, akses terhadap layanan kesehatan yang memadai sering kali terhambat oleh berbagai kendala, seperti jarak geografis yang jauh dari fasilitas kesehatan, keterbatasan infrastruktur, dan biaya yang tidak terjangkau bagi sebagian besar warga. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Pelayanan Kesehatan Desa Berbasis Komunitas (PHDKB) hadir sebagai pendekatan inovatif yang menempatkan keterlibatan masyarakat sebagai inti keberhasilannya. Dengan melibatkan warga secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan program kesehatan, PHDKB tidak hanya meningkatkan aksesibilitas layanan kesehatan, tetapi juga memupuk kemandirian masyarakat dalam menjaga kesejahteraan kolektif mereka.Â
Keterlibatan Komunitas: Fondasi Keberhasilan PHDKB Â
Keterlibatan masyarakat merupakan inti dari pendekatan PHDKB, yang membedakannya dari model pelayanan kesehatan konvensional yang sering bersifat top-down. Di Desa Cikoneng, warga tidak hanya bertindak sebagai penerima layanan, tetapi juga sebagai pelaku aktif yang terlibat dalam setiap tahap pengelolaan program kesehatan. Melalui mekanisme musyawarah desa, kelompok kader kesehatan, dan forum diskusi komunitas, warga diajak untuk mengidentifikasi kebutuhan kesehatan spesifik, seperti penanganan gizi buruk, kesehatan ibu dan anak, atau pencegahan penyakit menular. Pendekatan ini memastikan bahwa solusi yang dirancang sesuai dengan nilai budaya, norma sosial, dan realitas lokal, sehingga meningkatkan penerimaan dan efektivitas program.
Sebagai contoh, di Desa Cikoneng, kader kesehatan yang terdiri atas warga setempat menyelenggarakan kegiatan rutin, seperti senam sehat, penyuluhan gizi seimbang, kampanye kebersihan lingkungan, dan pemeriksaan kesehatan berkala melalui pos pelayanan terpadu (posyandu). Menurut Yayasan Sayangi Tunas Cilik, keterlibatan komunitas dalam program kesehatan berbasis masyarakat seperti ini meningkatkan partisipasi warga dalam kegiatan posyandu hingga 70 persen. Kegiatan tersebut tidak hanya mempromosikan pola hidup sehat, tetapi juga memperkuat kohesi sosial antarwarga, yang menjadi modal utama untuk keberlanjutan program. Dengan melibatkan berbagai lapisan masyarakat---termasuk ibu rumah tangga, tokoh agama, dan pemuda---PHDKB menciptakan rasa memiliki kolektif yang mendorong komitmen berkelanjutan terhadap kesehatan komunitas. Selain itu, pendekatan ini memungkinkan adaptasi terhadap kebutuhan spesifik, misalnya penyediaan informasi kesehatan dalam bahasa Sunda yang mudah dipahami oleh warga, sehingga memperkuat dampak program.
Manfaat PHDKB melalui Keterlibatan Komunitas Â
Implementasi PHDKB di Desa Cikoneng telah menghasilkan dampak transformatif bagi kesehatan masyarakat. Pertama, program ini secara signifikan meningkatkan aksesibilitas layanan kesehatan dasar, terutama bagi warga di wilayah terpencil yang sebelumnya kesulitan menjangkau pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) atau rumah sakit. Posyandu yang dikelola oleh kader kesehatan desa menyediakan layanan seperti pemeriksaan kesehatan rutin, imunisasi, dan edukasi gizi langsung di lingkungan desa, sehingga mengurangi hambatan geografis dan ekonomi. Melansir Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, implementasi PHDKB di wilayah pedesaan seperti Cikoneng telah meningkatkan cakupan imunisasi anak hingga 85 persen, sebuah indikator penting keberhasilan akses layanan kesehatan.
Kedua, PHDKB berperan besar dalam mengurangi kesenjangan kesehatan antara komunitas pedesaan dan perkotaan. Dengan melibatkan warga dalam pengelolaan layanan kesehatan, program ini memungkinkan penyesuaian layanan dengan kebutuhan lokal, seperti penyediaan pangan bergizi untuk anak-anak, edukasi kesehatan reproduksi untuk ibu hamil, dan kampanye pencegahan penyakit menular, seperti demam berdarah. Mengutip Wahana Visi Indonesia, daerah dengan PHDKB aktif, termasuk di Jawa Barat, mengalami penurunan angka stunting hingga 15 persen dalam tiga tahun terakhir, berkat edukasi gizi dan akses terhadap pangan bergizi yang difasilitasi oleh komunitas. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat memungkinkan pendekatan yang lebih kontekstual dan inklusif, yang mampu mengatasi hambatan budaya dan sosial.
Ketiga, PHDKB telah terbukti efektif dalam menurunkan angka kematian ibu dan anak, yang merupakan salah satu tantangan utama dalam sistem kesehatan Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik, daerah yang menerapkan pendekatan berbasis komunitas seperti PHDKB mengalami penurunan angka kematian ibu hingga 50 persen melalui peningkatan akses terhadap perawatan prenatal dan persalinan yang aman. Di Desa Cikoneng, kader kesehatan dan bidan desa bekerja sama untuk memantau kehamilan, memastikan persalinan dibantu oleh tenaga kesehatan terlatih, dan memberikan edukasi tentang pentingnya air susu ibu (ASI) eksklusif. Selain itu, program ini mendukung imunisasi anak dan pemantauan kesehatan rutin, yang berkontribusi pada penurunan angka kematian bayi dan peningkatan kesehatan anak secara keseluruhan. Dampak ini menegaskan bahwa keterlibatan komunitas tidak hanya meningkatkan akses layanan, tetapi juga mendorong perubahan perilaku menuju pola hidup yang lebih sehat.
Tantangan dalam Implementasi PHDKB Â
Meskipun mencatatkan keberhasilan yang signifikan, implementasi PHDKB di Desa Cikoneng menghadapi sejumlah tantangan yang kompleks. Pertama, keterbatasan sumber daya menjadi hambatan utama. Anggaran yang terbatas, kurangnya tenaga kesehatan terlatih, dan infrastruktur yang belum memadai sering kali menghambat kelancaran program. Mengutip Yayasan Plan International Indonesia, lebih dari 60 persen desa di Indonesia, termasuk di Kabupaten Ciamis, masih menghadapi kekurangan alat kesehatan dasar di posyandu, seperti timbangan bayi, tensimeter, atau alat pengukur tinggi badan.
Kedua, keberlanjutan program menjadi isu krusial. Banyak inisiatif PHDKB, termasuk di Desa Cikoneng, bergantung pada alokasi Dana Desa atau bantuan dari pemerintah daerah. Apabila pendanaan ini terhenti atau tidak memadai, program kesehatan berisiko terhambat, meninggalkan masyarakat tanpa akses layanan yang konsisten. Menurut Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, hanya 40 persen desa di Indonesia memiliki strategi pendanaan mandiri untuk program kesehatan berbasis komunitas, menandakan perlunya inovasi dalam pengelolaan sumber daya jangka panjang.
Ketiga, rendahnya kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesehatan dan keterlibatan dalam PHDKB tetap menjadi tantangan. Dalam beberapa kasus, kepercayaan tradisional atau mitos kesehatan, seperti anggapan bahwa vaksinasi tidak sesuai dengan nilai budaya tertentu, dapat menghambat penerimaan program. Selain itu, tingkat literasi kesehatan yang rendah di kalangan warga pedesaan sering kali membuat mereka kurang memahami manfaat pemeriksaan kesehatan rutin atau intervensi medis modern. Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan strategi komunikasi yang sensitif terhadap budaya lokal serta edukasi kesehatan yang intensif, terstruktur, dan berkelanjutan.
Peran Lembaga Pemerintahan Indonesia dalam Mendukung PHDKB Â
Keberhasilan PHDKB di Desa Cikoneng sangat bergantung pada dukungan sistemik dari lembaga pemerintahan Indonesia, khususnya Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis. Kementerian Kesehatan memainkan peran sentral dalam menyusun panduan teknis untuk PHDKB melalui Program Indonesia Sehat, yang mencakup pelatihan kader kesehatan, penyediaan alat kesehatan, dan alokasi anggaran untuk program kesehatan pedesaan. Melansir Kementerian Kesehatan, lebih dari 10.000 kader kesehatan di Jawa Barat telah dilatih untuk mendukung program seperti PHDKB, termasuk di Desa Cikoneng, sehingga memastikan bahwa layanan kesehatan dasar dapat diakses secara lokal.
Pemerintah Daerah Kabupaten Ciamis, melalui Dinas Kesehatan, mendukung PHDKB dengan menyediakan tenaga kesehatan profesional, seperti bidan desa, dan memfasilitasi sistem rujukan ke puskesmas atau rumah sakit. Dinas Kesehatan juga bekerja sama dengan puskesmas setempat untuk memastikan pasokan obat-obatan dan alat kesehatan dasar tersedia di posyandu. Selain itu, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Cikoneng memainkan peran strategis dalam menyelaraskan program kesehatan dengan kebutuhan masyarakat melalui musyawarah desa, yang memungkinkan warga untuk menyuarakan aspirasi mereka secara demokratis.
Kepala Desa Cikoneng, Ibu Elin Herlina, menjadi motor penggerak dalam mengoordinasikan implementasi PHDKB. Beliau memastikan bahwa Dana Desa dialokasikan secara strategis untuk mendukung infrastruktur kesehatan, seperti renovasi posyandu, pembelian alat kesehatan sederhana, dan penyelenggaraan kegiatan penyuluhan. Mengutip Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, desa-desa yang mengalokasikan minimal 10 persen Dana Desa untuk kesehatan, seperti yang dilakukan di Cikoneng, memiliki tingkat keberhasilan program kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan desa lain. Kolaborasi ini menciptakan ekosistem yang mendukung keberlanjutan PHDKB dengan memastikan bahwa sumber daya manusia, finansial, dan infrastruktur tersedia untuk mendukung kesejahteraan masyarakat.
Langkah Strategis untuk Keberlanjutan PHDKB Â
Untuk memastikan keberhasilan dan keberlanjutan PHDKB di Desa Cikoneng, sejumlah langkah strategis perlu diimplementasikan secara sistematis. Pertama, Kementerian Kesehatan dan Dinas Kesehatan Kabupaten Ciamis harus memprioritaskan pelatihan berkala bagi kader kesehatan desa. Pelatihan ini harus mencakup keterampilan teknis, seperti penanganan kegawatdaruratan, edukasi gizi, dan manajemen posyandu, serta keterampilan komunikasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Menurut Yayasan Sayangi Tunas Cilik, kader kesehatan yang terlatih secara rutin dapat meningkatkan efektivitas layanan posyandu hingga 30 persen, sebuah indikator yang menunjukkan pentingnya investasi dalam kapasitas sumber daya manusia.
Kedua, sistem rujukan harus diperkuat melalui koordinasi yang lebih terintegrasi antara posyandu, puskesmas, dan rumah sakit. Sistem ini harus memastikan bahwa pasien dengan kondisi kompleks dapat dirujuk dengan cepat dan efisien, dengan jalur komunikasi yang jelas antara tenaga kesehatan desa dan penyedia layanan tingkat lanjut. Ketiga, pemerintah desa perlu terus mengalokasikan Dana Desa untuk mendukung infrastruktur kesehatan, seperti pembangunan posyandu yang layak, penyediaan alat kesehatan modern, dan pemeliharaan fasilitas sanitasi.
Keempat, edukasi kesehatan yang intensif dan berkelanjutan harus menjadi prioritas utama. Kerja sama dengan kader posyandu, tokoh masyarakat, dan organisasi nirlaba seperti Wahana Visi Indonesia dapat memperkuat upaya ini dengan merancang kampanye yang sensitif terhadap budaya lokal dan mudah dipahami oleh warga. Edukasi ini harus mencakup topik seperti pentingnya imunisasi, gizi seimbang, dan pencegahan penyakit menular, serta mengatasi mitos kesehatan yang masih berlaku di masyarakat.
Kelima, pengembangan model pendanaan mandiri menjadi langkah krusial untuk memastikan keberlanjutan program. Strategi seperti iuran komunitas, kemitraan dengan sektor swasta, atau pengembangan usaha mikro berbasis kesehatan dapat menjadi solusi untuk mengatasi keterbatasan anggaran pemerintah. Mengutip Yayasan Plan International Indonesia, model pendanaan berbasis komunitas telah berhasil meningkatkan keberlanjutan program kesehatan di 20 persen desa di Indonesia, memberikan contoh nyata yang dapat direplikasi di Desa Cikoneng.
KesimpulanÂ
Pelayanan Kesehatan Desa Berbasis Komunitas (PHDKB) di Desa Cikoneng menegaskan bahwa keterlibatan komunitas merupakan kunci keberhasilan dalam mewujudkan kemandirian kesehatan masyarakat pedesaan. Dengan melibatkan warga secara aktif dalam setiap aspek program kesehatan, PHDKB tidak hanya meningkatkan akses dan kualitas layanan, tetapi juga menumbuhkan rasa tanggung jawab kolektif terhadap kesejahteraan masyarakat. Meskipun menghadapi tantangan seperti keterbatasan sumber daya, rendahnya kesadaran masyarakat, dan keberlanjutan pendanaan, PHDKB memiliki potensi besar untuk merevolusi sistem kesehatan pedesaan melalui kolaborasi yang erat antara masyarakat, pemerintah, dan organisasi nirlaba. Dengan komitmen bersama dan langkah strategis yang terarah, Desa Cikoneng dapat menjadi model keberhasilan yang menginspirasi desa-desa lain di Indonesia untuk menciptakan masyarakat yang lebih sehat, mandiri, dan sejahtera.
Daftar Referensi
1. Badan Pusat Statistik. Laporan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia. Tersedia di: https://www.bps.go.id Â
Mengutip Badan Pusat Statistik, esai menyebutkan penurunan angka kematian ibu hingga 50 persen di daerah yang menerapkan pendekatan berbasis komunitas seperti PHDKB.
2. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Indeks Desa Membangun (IDM). Tersedia di: https://idm.kemendesa.go.id Â
Mengutip Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, esai menyebutkan bahwa desa-desa yang mengalokasikan minimal 10 persen Dana Desa untuk kesehatan memiliki tingkat keberhasilan program kesehatan yang lebih tinggi.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situs Resmi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Tersedia di: https://www.kemkes.go.id Â
Melansir Kementerian Kesehatan, esai mencatat bahwa implementasi PHDKB di wilayah pedesaan seperti Cikoneng meningkatkan cakupan imunisasi anak hingga 85 persen.
4. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2269/Menkes/Per/XI/2011 tentang Pedoman Pembinaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat. Tersedia di: https://ayosehat.kemkes.go.id Â
Sumber ini mendukung informasi tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) sebagai bagian dari Program Indonesia Sehat, yang relevan dengan PHDKB.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1529/Menkes/SK/X/2010 tentang Pedoman Umum Pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif. Tersedia di: https://ayosehat.kemkes.go.id Â
Sumber ini digunakan untuk mendukung pernyataan tentang pentingnya PHBS dalam kegiatan desa siaga aktif, yang mendukung PHDKB.
6. Plan International Indonesia. Laporan Program Kesehatan Berbasis Komunitas. Tersedia di: https://plan-international.org/indonesia Â
Mengutip Yayasan Plan International Indonesia, esai menyebutkan bahwa lebih dari 60 persen desa di Indonesia masih kekurangan alat kesehatan dasar di posyandu, serta keberhasilan model pendanaan berbasis komunitas di 20 persen desa.
7. Wahana Visi Indonesia. Laporan Program Kesehatan dan Gizi di Jawa Barat. Tersedia di: https://wahanavisi.org Â
Mengutip Wahana Visi Indonesia, artikel mencatat penurunan angka stunting hingga 15 persen di daerah dengan PHDKB aktif di Jawa Barat.
8. Yayasan Sayangi Tunas Cilik. Laporan Keterlibatan Komunitas dalam Program Kesehatan. Tersedia di: https://www.savethechildren.or.id Â
Menurut Yayasan Sayangi Tunas Cilik, keterlibatan komunitas dalam PHDKB meningkatkan partisipasi warga dalam kegiatan posyandu hingga 70 persen dan efektivitas layanan posyandu hingga 30 persen.
9. Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Pembangunan Kesehatan Berbasis Perdesaan. Tersedia di: https://setkab.go.id Â
Sumber ini mendukung konteks tentang kebijakan pembangunan kesehatan berbasis perdesaan, yang relevan dengan PHDKB di Desa Cikoneng.
10. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 2 Tahun 2016 tentang Indeks Desa Membangun. Tersedia di: https://idm.kemendesa.go.id Â
Sumber ini memberikan landasan hukum untuk Indeks Desa Membangun, yang mencakup dimensi kesehatan sebagai salah satu indikator, relevan dengan PHDKB.[](https://idm.kemendesa.go.id/view/detil/3/publikasi)[](https://pemberdayaan.gunungkidulkab.go.id/berita-759/apakah-indeks-desa-membangun-itu.html)[](https://www.trivusi.web.id/2021/12/pengertian-dan-tujuan-indeks-desa-membangun-idm.html)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI