Mohon tunggu...
Alfin Febrian Basundoro
Alfin Febrian Basundoro Mohon Tunggu... Freelancer - Menuliskan isi pikiran, bukan isi hati

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM 2018, tertarik pada isu-isu politik dan keamanan internasional, kedirgantaraan, militer, dan eksplorasi luar angkasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jair Bolsonaro dan Kebangkitan Kembali Konservatisme Brasil

30 Juni 2019   21:38 Diperbarui: 1 Juli 2019   14:42 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: RICARDO MORAES / REUTERS

Jair Bolsonaro resmi menjabat sebagai Presiden Brasil pada 2018 menggantikan Michel Temer yang hanya dua tahun menjabat. Ia terpilih menjadi presiden setelah dua putaran pemilihan umum dengan mengalahkan calon dari Partai Pekerja Brasil, Fernando Haddad yang sejatinya bukan peserta pemilu. Haddad ditunjuk partainya setelah calon semula, Luiz Ignacio "Lula" da Silva didiskualifikasi akibat kasus korupsi Petrobras.

Berideologi konservatif dan berhaluan sayap kanan, dilantiknya Bolsonaro sebagai pemimpin Brasil sekaligus menjadi momen tamatnya pink tide (gelombang merah muda, kebangkitan ideologi sosialisme di Amerika Latin) di Brasil. Selama periode pink tide tersebut, Brasil dipimpin oleh dua tokoh sosialis, Lula da Silva dan Dilma Rousseff yang keduanya berasal dari Partai Pekerja. Sempat dominan pada awal dasawarsa 2000an, kedua tokoh ini berhasil membangun sekaligus memeratakan perekonomian negaranya. Namun, di akhir periodenya, Rousseff gagal memastikan pertumbuhan ekonomi. Brasil justru mengalami resesi ekonomi dan berbagai isu strategis lainnya.

Terpilihnya Jair Bolsonaro dalam pemilu 2018 sebenarnya relatif tak terprediksi. Meskipun cukup berpengalaman dalam politik praktis, Bolsonaro bukanlah tokoh politik teras Brasil yang berpengaruh. Masyarakat Brasil relatif mengenalnya karena ia aktif di Angkatan Darat Brasil sebagai perwira sebelum terjun ke dunia politik.Selain itu, partainya, Partido Social Liberal (Partai Sosial Liberal---PSL) bukanlah partai besar yang mendominasi dinamika politik Brasil, bahkan lebih kecil dibanding Partai Pekerja yang menjadi pengusung utama lawannya. Sebagian pengamat politik Brasil bahkan yakin bahwa meskipun diterpa badai skandal korupsi, Partai Pekerja tetap akan meraih suara signifikan dalam Pemilu 2018 dan Fernando Haddad akan berpeluang mengalahkan Bolsonaro.

Argumen tersebut didasari banyaknya lumbung suara bagi Partai Pekerja, didukung oleh paham sosialisme yang relatif populer di Brasil (terutama di wilayah rural) dan masyarakat yang trauma akibat sejarah kelam Brasil kala dipimpin oleh junta militer pada 1970-1980an. Namun, hal sebaliknya terjadi. Alih-alih meraup suara signifikan, Partai Pekerja justru hanya mendapat 56 kursi dari total 513 kursi di DPR. Haddad, meskipun berhasil menantang Bolsonaro hingga memaksakan pemilu presiden dua putaran, akhirnya keok dengan selisih suara yang cukup signifikan.

Sebelumnya, lebih dari sepuluh tahun ideologi sosialisme digandrungi masyarakat dan calon presiden sosialis selalu terpilih. Hal tersebut berubah ketika Partai Pekerja sebagai "ketua" koalisi partai-partai sayap kiri Brasil terseret ke dalam pusaran skandal korupsi Petrobras. Banyak pihak yang menyatakan skandal korupsi tersebut merupakan kasus korupsi terbesar yang pernah terjadi di Brasil, merugikan negara hingga miliaran dolar. Skandal tersebut bermula sejak 2014, periode kedua kepemimpinan Rousseff. Karena dianggap terlibat dan harus mempertanggungjawabkan perbuatannya, Rousseff akhirnya dimakzulkan dalam sidang istimewa DPR Brasil. Bagai api dalam sekam, kasus tersebut menjalar dan berkobar dengan cepat hingga diketahui seluruh warga Brasil.

Masyarakat Brasil semakin sering turun ke jalan dan menuntut restrukturisasi pemerintahan besar-besaran hingga pemberantasan korupsi secara menyeluruh. Michel Temer, yang menggantikan Rousseff sebagai presiden tidak benar-benar mampu memuaskan tuntutan rakyat. Bahkan, dirinya dikabarkan turut terlibat dalam skandal yang menyeret puluhan politisi Partai Pekerja tersebut. Akibatnya, Partai Pekerja yang dulunya didukung masyarakat Brasil mengalami penurunan kredibilitas secara drastis. Partai yang awalnya bercirikan progresivitas, pemerataan, dan liberalisme tersebut tercoreng namanya dan banyak warga yang mengidentikkannya dengan korupsi.

Keraguan akan ideologi sosialisme mulai tampak dalam kehidupan politik masyarakat Brasil dan berpengaruh pada suara mereka pada Pemilu 2018. PSL, meskipun tidak mendominasi, mendapat suara yang lumayan dan Bolsonaro terpilih menjadi presiden. Bolsonaro mengusung kebijakan-kebijakan populis yang kontroversial dan relatif nyeleneh dibanding dengan presiden-presiden Brasil sebelumnya, baik ketika masa kampanye, maupun setelah terpilih. Ia benar-benar ingin menerapkan ideologi konservatisme dalam segala hal.

Sebagai konservatif tulen, Bolsonaro ingin kepemilikan senjata api dilegalkan untuk seluruh masyarakat Brasil. Ia menilai bahwa isu keamanan dalam masyarakat tidak dapat diselesaikan oleh pemerintahan sebelumnya, terbukti dari peningkatan angka kriminalitas, peredaran narkoba, dan pembunuhan di berbagai kota besar.

Isu tersebut membuat ia berpikir bahwa apabila masyarakat diizinkan memiliki bedil, mereka dapat membela diri manakala terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Rencana kebijakan ini nampaknya cukup menarik perhatian masyarakat. Memang, karena fokus pada pemerataan ekonomi dan membangun citra progresif, baik pemerintahan Lula maupun Rousseff tidak mampu menjamin keamanan warganya. Selain itu, Bolsonaro ingin agar masyarakat kembali kepada konservatisme sosial, seperti menolak LGBT, sekulerisme, dan aborsi. Dalam bidang ekonomi, Bolsonaro berjanji untuk mengembalikan pertumbuhan ekonomi Brasil yang mengalami resesi pada masa pemerintahan Rousseff. Ia juga akan menurunkan pajak bagi masyarakat kelas menengah ke atas, terutama untuk para pebisnis. Perdagangan luar negeri dan investasi asing akan dibuka sehingga masyarakat Brasil akan bebas berbisnis tanpa perlu khawatir akan kenaikan pajak. Ia menilai keterlibatan pemerintah secara luas akan memboroskan anggaran negara.

Nampaknya program-program yang diusungnya membuat masyarakat Brasil rindu akan ideologi konservatisme yang terakhir diterapkan di Brasil pada era pemerintahan militer. Hal ini pula terlihat dari popularitas Bolsonaro yang terus meroket sejak masa kampanye dimulai. Masyarakat Brasil seolah menyatakan dan menilai ideologi sosialisme yang diusung Partai Pekerja selama belasan tahun dominasinya sudah irelevan dan terlalu lunak untuk mengatasi berbagai masalah yang terjadi di negara mereka. Apalagi, Fernando Haddad yang menjadi capres partai tersebut hanya merupakan calon pengganti, belum berpengalaman, dan tak terdengar namanya di telinga publik. Isu keamanan dan ekonomi menjadi perhatian masyarakat Brasil untuk mempertimbangkan Bolsonaro sebagai presiden dan konservatisme sebagai "arah ideologi" negara mereka.

Brasil mengalami era baru. Di bawah kepemimpinan Bolsonaro, konservatisme bangkit dan mulai menarik hati masyarakat Brasil. Ia menawarkan segudang janji untuk menyelesaikan masalah-masalah nasional secara menyeluruh. Namun, waktu masih panjang. Masih ada tiga tahun bagi Bolsonaro untuk membuktikan janji-janji tersebut. Apakah konservatisme benar-benar akan menyelesaikan berbagai permasalahan? Masyarakat Brasil-lah yang menjadi asesornya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun