Namun kenyataannya, harga F-22 melonjak hingga 361 juta dolar AS pada 2006. Akibatnya, AU AS yang pada 1994 menyatakan akan membeli 700-750 F-22 harus menguranginya menjadi 660 unit pada 1995, kemudian menyusut menjadi 339 unit. Hal ini disebabkan penyunatan anggaran militer AS oleh Menteri Pertahanan Dick Cheney. Ia menyatakan bahwa pasca Perang Dingin, sektor pertahanan tak lagi menjadi prioritas. Kenyataannya, hanya 181 pesawat yang dikirim kepada AU AS hingga 2007.
Performa F-22 juga cukup memuaskan. Mesin turbofan Pratt & Whitney F119 memiliki fitur supercruise, membuat pesawat dapat melaju pada kecepatan supersonik tanpa menggunakan afterburner. Hal ini menyebabkan F-22 sulit dilacak oleh rudal pencari panas karena rudal jenis ini biasanya mengincar pesawat target dari semburan api mesin jet (afterburner). Tentu menjadi keuntungan tersendiri bagi F-22, mengingat pesawat ini memang merupakan pesawat 'siluman' yang memiliki kemampuan tempur senyap.
Keunggulan-keunggulan di atas membuat F-22 Raptor tak dapat serta-merta disebut sebagai produk gagal, meskipun jumlah pesanannya terus menurun. Kecanggihan teknologinya juga membuat pesawat tempur tersebut tidak diekspor ke negara manapun karena F-22 dianggap sebagai "aset negara" yang harus dijaga dengan baik agar tak jatuh ke tangan negara lain, yang dapat berpotensi menjadi musuh AS di kemudian hari.Â
Nyatanya, saat ini sudah ada sejumlah negara yang turut merancang pesawat tempur generasi kelima lainnya dengan kemampuan dan kecanggihan teknologi setara dengan F-22, sebut saja Sukhoi Su-57/PAK FA (Rusia), Chengdu J-20, dan Shenyang J-31 (keduanya Republik Rakyat Tiongkok). Selain itu, negara-negara lainnya seperti Turki, India, Korea Selatan, dan Jepang juga memiliki ketertarikan untuk mengembangkan pesawat serupa.
Selain itu, kebanyakan F-22 hanya terlibat dalam misi latihan atau pertahanan nasional. F-22 terlihat beberapa kali mencegat dan memergoki pengebom Tu-95 dan Tu-160 milik Rusia yang mencoba memasuki wilayah Alaska. F-22 juga terlibat dalam latihan akbar yang digelar militer Korea Selatan yang belakangan dianggap Korea Utara sebagai tindakan provokatif.
JSF memiliki teknologi yang sama dengan F-22 dengan biaya yang jauh lebih rendah. Diyakini, ada perseteruan di Departemen Pertahanan AS yang juga turut berkontribusi dalam penghentian pengembangan F-22. Akhirnya, pada 2011 F-22 resmi berhenti diproduksi.
Program F-22 raptor yang berteknologi tinggi namun terkesan mubazir menjadi bukti bahwa berbagai proyek pertahanan AS membutuhkan biaya yang teramat besar, namun tak semua proyek tersebut berhasil dan menguntungkan negara.Â
Keinginan militer AS dalam mengejar kemampuan tempur dan penggunaan teknologi canggih kadang menjadi bumerang. Anggaran negara terkuras, sementara program yang dikembangkan tak benar-benar menguntungkan bahkan membuat negara tekor.Â