Mohon tunggu...
Alfin Febrian Basundoro
Alfin Febrian Basundoro Mohon Tunggu... Freelancer - Menuliskan isi pikiran, bukan isi hati

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM 2018, tertarik pada isu-isu politik dan keamanan internasional, kedirgantaraan, militer, dan eksplorasi luar angkasa.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"F-22 Raptor" dan Mahalnya Proyek Pertahanan AS

3 Januari 2019   23:41 Diperbarui: 4 Januari 2019   01:29 1646
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Namun kenyataannya, harga F-22 melonjak hingga 361 juta dolar AS pada 2006. Akibatnya, AU AS yang pada 1994 menyatakan akan membeli 700-750 F-22 harus menguranginya menjadi 660 unit pada 1995, kemudian menyusut menjadi 339 unit. Hal ini disebabkan penyunatan anggaran militer AS oleh Menteri Pertahanan Dick Cheney. Ia menyatakan bahwa pasca Perang Dingin, sektor pertahanan tak lagi menjadi prioritas. Kenyataannya, hanya 181 pesawat yang dikirim kepada AU AS hingga 2007.

Foto: f22fighter.com
Foto: f22fighter.com
Memang, meskipun biayanya cukup mencekik, berbagai fitur berteknologi tinggi membuat pesawat ini dinilai layak disebut sebagai "pesawat tempur generasi kelima", dengan ciri utamanya yaitu sulit dideteksi oleh radar (siluman), mampu mendeteksi target dengan radar digital hingga ratusan kilometer, dan kemampuan untuk tersinkronisasi dengan elemen tempur lain, baik di udara, laut, maupun darat. F-22 juga dapat memikul berbagai jenis rudal dan bom terbaru AU AS serta dapat melakukan berbagai misi, seperti superioritas udara, penyergapan, serbuan udara, dan serangan udara ke darat.

Performa F-22 juga cukup memuaskan. Mesin turbofan Pratt & Whitney F119 memiliki fitur supercruise, membuat pesawat dapat melaju pada kecepatan supersonik tanpa menggunakan afterburner. Hal ini menyebabkan F-22 sulit dilacak oleh rudal pencari panas karena rudal jenis ini biasanya mengincar pesawat target dari semburan api mesin jet (afterburner). Tentu menjadi keuntungan tersendiri bagi F-22, mengingat pesawat ini memang merupakan pesawat 'siluman' yang memiliki kemampuan tempur senyap.

Keunggulan-keunggulan di atas membuat F-22 Raptor tak dapat serta-merta disebut sebagai produk gagal, meskipun jumlah pesanannya terus menurun. Kecanggihan teknologinya juga membuat pesawat tempur tersebut tidak diekspor ke negara manapun karena F-22 dianggap sebagai "aset negara" yang harus dijaga dengan baik agar tak jatuh ke tangan negara lain, yang dapat berpotensi menjadi musuh AS di kemudian hari. 

Nyatanya, saat ini sudah ada sejumlah negara yang turut merancang pesawat tempur generasi kelima lainnya dengan kemampuan dan kecanggihan teknologi setara dengan F-22, sebut saja Sukhoi Su-57/PAK FA (Rusia), Chengdu J-20, dan Shenyang J-31 (keduanya Republik Rakyat Tiongkok). Selain itu, negara-negara lainnya seperti Turki, India, Korea Selatan, dan Jepang juga memiliki ketertarikan untuk mengembangkan pesawat serupa.

Foto: f22fighter.com
Foto: f22fighter.com
Meskipun begitu, tak banyak Raptor yang benar-benar masuk dinas pertempuran. Sejak masuk dinas AU AS pada 2005, F-22 baru terjun dalam misi di Suriah pada 2015-18, terkait dengan usaha AS dalam membantu pasukan oposisi Suriah sekaligus melawan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). 


Selain itu, kebanyakan F-22 hanya terlibat dalam misi latihan atau pertahanan nasional. F-22 terlihat beberapa kali mencegat dan memergoki pengebom Tu-95 dan Tu-160 milik Rusia yang mencoba memasuki wilayah Alaska. F-22 juga terlibat dalam latihan akbar yang digelar militer Korea Selatan yang belakangan dianggap Korea Utara sebagai tindakan provokatif.

Foto: f22fighter.com
Foto: f22fighter.com
Selain alasan biaya, alasan politis ditengarai menyebabkan lambatnya pengembangan pesawat ini. Memasuki tahun 2007, menhan AS, Robert Gates menyatakan ketidaksetujuannya dalam program F-22. Menurutnya, AS mesti fokus dalam pengembangan Joint Strike Fighter (JSF), suatu program perancangan pesawat multiperan baru sebagai pengganti F-16 yang sudah dicanangkan sejak 2001. 

JSF memiliki teknologi yang sama dengan F-22 dengan biaya yang jauh lebih rendah. Diyakini, ada perseteruan di Departemen Pertahanan AS yang juga turut berkontribusi dalam penghentian pengembangan F-22. Akhirnya, pada 2011 F-22 resmi berhenti diproduksi.

Program F-22 raptor yang berteknologi tinggi namun terkesan mubazir menjadi bukti bahwa berbagai proyek pertahanan AS membutuhkan biaya yang teramat besar, namun tak semua proyek tersebut berhasil dan menguntungkan negara. 

Keinginan militer AS dalam mengejar kemampuan tempur dan penggunaan teknologi canggih kadang menjadi bumerang. Anggaran negara terkuras, sementara program yang dikembangkan tak benar-benar menguntungkan bahkan membuat negara tekor. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun