Mohon tunggu...
Alfina Asha
Alfina Asha Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Tulisan random.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Soe Hok Gie, Berbahagialah dalam Ketiadaanmu

18 Desember 2019   20:20 Diperbarui: 18 Desember 2019   20:28 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://www.edunews.id/ 

Bahkan, Gie pernah terlibat dalam perdebatan dengan gurunya sendiri ketika membahas karya Andre Gide, Pulanglah Dia Si Anak Hilang. Gie bersikeras bahwa karya tersebut bukan karangan Chairil Anwar, karena beliau hanya menerjemahkan. 

Sedang gurunya berkata sebaliknya, bahwa Chairil-lah pengarang Pulanglah Dia Si Anak Hilang (dalam bahasa Indonesia). Perdebatan mereka cukup alot, hingga akhirnya Gie memilih diam. Bahkan dalam catatanya, Gie mengatakan bahwa guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.

Setelah lulus di bangku sekolah, Gie melanjutkan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pada masa-masa itulah Gie mempertajam pengetahuannya dengan banyak berdiskusi maupun membaca buku dan sangat gencar melakukan kritik terhadap pemerintahan Presiden Soekarno. Berbagai tulisannya pernah dimuat dalam surat kabar. Bahkan dia pernah mendapat surat kaleng yang berisi ancaman karena kritik-kritiknya tersebut. Dalam buku hariannya, dia menceritakan dengan detil mengenai demonstrasi yang terjadi kala itu. Gie adalah salah satu mahasiswa yang turut serta dalam menggulingkan pemerintahan orde lama. Kisahnya sangat menggugah. Saya sangat merekomendasikan buku tersebut kepada kalian yang membaca tulisan ini.

Sebenarnya tulisan ini dibuat untuk mengenang wafatnya Gie setengah abad lalu. Hari itu Gie bersama kawan-kawannya melakukan pendakian ke Gunung Semeru. Namun nahas, pada 16 Desember 1969 ketika dalam perjalanan pendakian, dia menghirup gas beracun yang kemudian merenggut nyawanya tepat satu hari sebelum pertambahan usianya yang ke-27 tahun. 

Kini 50 tahun sudah berlalunya peristiwa tersebut, namun nyatanya Gie belum hilang dari peradaban. Namanya masih sering disebut-sebut dalam berbagai pembicaraan. Keberanian dan sikap kritisnya menentang kesewenang-wenangan telah membawa Gie menjadi manusia yang tetap hidup dalam sejarah, meski raganya sudah tiada. 

Saya sendiri sangat kagum kepada sosoknya ketika baru membaca pengantar yang dibawakan oleh Arief Budiman, kakak kandung Gie, dalam buku Catatan Seorang Demonstran. Disana Arief menceritakan bahwa ketika dia menjemput jenazah adiknya kala itu, salah satu temannya pamit untuk memesan peti yang akan digunakan membawa mayat Gie. 

Sepulangnya dari sana, teman tersebut menanyakan kepada kakak Gie, apakah mereka memiliki kerabat di Malang. Namun, kakak Gie mengatakan bahwa tidak ada kerabat mereka disana. Teman tersebut lantas menceritakan bahwa tukang peti mati menanyakan untuk siapa peti tersebut, lalu dijawablah untuk Soe Hok Gie. Tukang peti tersebut kaget, lantas berkata "Soe Hok Gie yang suka menulis di koran itu?" yang kemudian di-iya-kan oleh temannya. Tiba-tiba tukang peti tersebut menangis dan berkata, "Dia orang yang berani. Sayang dia meninggal".

Tak cukup sampai disitu, ketika jenazah Gie dibawa terbang menggunakan pesawat AU dari Malang, mereka singgah ke Yogya terlebih dahulu kemudian ke Jakarta. Ketika di Yogya, Arief sempat duduk-duduk bersama pilot yang menerbangkan pesawatnya. Pilot mengonfirmasi sekali lagi kepada kakak Gie, apakah benar yang dibawa itu adalah mayat Soe Hok Gie? yang kemudian dibenarkan oleh kakak Gie. Dia lantas berkata, "Saya kenal namanya. Saya senang membaca karangan-karangannya. Sayang sekali dia meninggal. Dia mungkin bisa berbuat lebih banyak, kalau dia hidup terus".

Begitulah sosoknya, meski mungkin Gie dibenci oleh orang-orang yang pernah mendapat kritik darinya, namun diam-diam Gie memperoleh banyak dukungan tanpa suara atas keberaniannya tersebut. 

Mengutip dari kata-kata yang dituliskan kakaknya, Arief Budiman yang mengatakan bahwa ketidakadilan bisa merajalela, tapi bagi seorang yang secara jujur dan berani berusaha melawan semua ini, dia akan mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang. 

Mereka memang tidak berani membuka mulutnya, karena kekuasaan membungkamnya. Tapi kekuasaan tidak bisa menghilangkan dukungan itu sendiri, karena betapa kuat pun kekuasaan, seseorang tetap masih memiliki kemerdekaan untuk berkata "Ya" atau "Tidak", meskipun cuma di dalam hatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun