Mohon tunggu...
Imam Alfie
Imam Alfie Mohon Tunggu... pegawai negeri -

A big guy with big plans

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kebijakan Reformasi Birokrasi yang Ingkar Janji

15 September 2012   12:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:25 502
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gelombang perubahan besar yang dimulai tahun 1998 telah menghasilkan suatu tatanan kehidupan bernegara yang baru bagi Indonesia. Perubahan sistem tata negara dengan menyetarakan kedudukan Presiden dan MPR, perubahan sistem hukum dengan pembentukan Mahkamah Konstitusi, perubahan sistem pertahanan dan keamanan dengan pemisahan Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia, perubahan sistem ekonomi dengan swastanisasi pengelolaan sektor hilir minyak dan gas bumi, ataupun perubahan sistem politik dengan pemilihan kepala negara dan kepala daerah secara langsung adalah segelintir dari sejumlah perubahan besar lain yang terjadi selama empat belas tahun terakhir.

Akan tetapi, sejumlah pakar mengatakan bahwa ketidakmampuan perubahan-perubahan sistem tersebut dalam menyejahterakan rakyat Indonesia adalah karena perubahan dalam organisasi penyelenggara pemerintahan belum dilakukan dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itulah sejak tahun 2004 pemerintah menggulirkan wacana bernama reformasi birokrasi.

Birokrasi adalah pelaksana fungsi-fungsi presiden sebagai kepala pemerintahan. Kehidupan seorang warga negara tidak lepas dari hubungan dengan birokrasi, sejak lahir (dengan pemberian akta kelahiran) hingga mati (dengan pemberian keterangan meninggal dunia), terlebih dengan sistem pelayanan publik Indonesia yang sangat menekankan pada peran birokrasi. Hal ini memperkuat alasan bahwa perubahan pada birokrasi akan memberi dampak langsung pada perubahan kehidupan warga negara.

Sayangnya, belum banyak rakyat yang memerhatikan wacana ini. Jika perubahan pada sistem-sistem kenegaraan yang lain pada tahun 1998 didukung penuh oleh kekuatan rakyat, maka dalam reformasi birokrasi seakan-akan berjalan tanpa pengawasan dari rakyat. Pemerintah seperti diberikan kekuasaan penuh untuk mengubah dirinya sendiri. Padahal, sudah menjadi ingatan kolektif bahwa birokrasi pada zaman Orde Baru adalah salah satu alat utama penguasa selain militer. Sementara sistem dalam pranata militer diubah, birokrasi, termasuk para pelaksananya (birokrat), masih seperti dulu.

Reformasi birokrasi dijalankan dengan dasar hukum Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan secara operasional dilengkapi dengan Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014. Sebenarnya, dari kedua peraturan inilah kita dapat melihat betapa reformasi birokrasi tidak dapat diserahkan hanya kepada pemerintah.

Alasan yang paling nyata dan paling sederhana adalah pada judul peraturan perundang-undangan tersebut. Secara jelas telah disebutkan dalam Pasal 26 Undang-undang (UU) Nomor24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan bahwa “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam peraturan perundang-undangan”. Terlepas dari fakta bahwa UU ini sendiri secara tata bahasa kurang tepat (seharusnya tertulis “Bendera, Bahasa, Lambang Negara, dan Lagu Kebangsaan” atau “Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan”), namun amanat dari UU ini sudah sangat jelas, yaitu agar seluruhperaturan perundang-undangan wajib menggunakan Bahasa Indonesia. Penulis sendiri mencoba mencari lema “grand design” dan “road map” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia namun tidak berhasil menemukannya.

Menjadi lebih konyol ketika salah satu program yang disebutkan dalam kedua peraturan tadi adalah “Penataan Perundang-undangan” dengan sasaran “menurunnya tumpang-tindih dan disharmoni peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh kementerian/lembaga dan pemerintah daerah”. Ini berarti peraturan tersebut adalah salah satu yang harus ditata karena tidak harmonis dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Penulis menyadari bahwa bahasa adalah produk budaya yang akan terus berkembang seiring waktu. Akan tetapi, sebagai warga negara Indonesia, penulis berpandangan bahwa pemerintah selayaknya memberikan keteladanan dalam berbagai aspek, termasuk dalam penggunaan Bahasa Indonesia. Visi reformasi birokrasi “Terwujudnya Pemerintahan Kelas Dunia” yang tercantum dalam Grand Design Reformasi Birokrasi justru berpotensi menimbulkan salah paham di masyarakat bahwa “kelas dunia” identik dengan penggunaan bahasa asing dan Bahasa Indonesia adalah bahasa kelas dua. Bagi penulis, hal ini justru memperlihatkan kepandiran berbahasa dan menjalankan negara hukum. Ini juga menunjukkan bahwa reformasi birokrasi sejak awal telah ingkar janji, karena melanggar apa yang dinyatakan dalam peraturan dasarnya untuk menata peraturan perundang-undangan. Apabila dalam hal yang paling sederhana saja penyusun kebijakan sudah melakukan pengingkaran, maka bayangkan untuk hal-hal lain yang lebih rumit (sebagaimana dapat dibaca pada tulisan-tulisan saya sebelumnya).

Dalam rangka menyambut Bulan Bahasa Indonesia dan mendorong birokrasi Indonesia yang lebih baik, penulis mengajak seluruh pembaca untuk terlibat aktif dengan mengawasi dan memberi masukan kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam melaksanakan reformasi birokrasi. Demi Bahasa Indonesia. Demi rakyat Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun