Artificial Intelligence (AI) kini bukan lagi sekadar alat canggih di ruang teknologi. Ia sudah merangsek masuk ke dua wilayah yang sangat menentukan kualitas hidup kita, yaitu audit keuangan dan kesehatan mental. Satu wilayah berbicara angka dan laporan keuangan, satu lagi bicara perasaan dan jiwa manusia. Keduanya sama-sama penting, keduanya juga sama-sama rapuh jika salah kelola.
Fenomena ini membawa satu pertanyaan besar, apa jadinya ketika keputusan tentang uang dan jiwa manusia kita percayakan pada mesin?
Audit yang Lebih Cepat, tapi Dapat Gelap
Di dunia audit, AI dipuji karena kemampuannya menganalisis data dalam jumlah masif, mendeteksi anomali, dan memangkas waktu kerja. Auditor yang biasanya menghabiskan berhari-hari meneliti laporan, kini dapat dibantu algoritma yang bekerja dalam hitungan detik. Efisiensi naik, produktivitas melesat.
Namun, ada sisi gelapnya. Beberapa studi menyebut sistem AI kerap menjadi black box, AI dapat memberi kesimpulan, tapi tidak jelas bagaimana proses sampai pada kesimpulan itu. Apa jadinya jika AI menandai transaksi "berisiko tinggi" tanpa alasan yang dapat dipahami? Auditor dapat terjebak antara percaya pada intuisi manusia atau tunduk pada logika mesin yang tak dapat dijelaskan.
Lebih parah, AI dapat bias. Data yang dipakai untuk melatih algoritma dapat condong ke arah tertentu, misal perusahaan besar lebih dipercaya daripada UKM, atau transaksi asing dianggap lebih mencurigakan daripada transaksi lokal. Jika bias ini tidak dikoreksi, audit bukan lagi menjaga keadilan finansial, tapi malah memperkuat ketidakadilan.
Kesehatan Mental: AI Jadi Teman Bicara, tapi Dapat Menyesatkan
Di sisi lain, AI juga sedang diuji di ranah kesehatan mental. Chatbot berbasis AI kini diposisikan sebagai "teman curhat" yang siap 24 jam mendengar keluhan tentang stres, depresi, atau kecemasan. Di negara dengan kekurangan psikolog atau psikiater, layanan ini terlihat seperti penyelamat.
Tapi ada catatan dari para peneliti yang harus diperhatikan, yaitu AI belum siap menangani krisis serius. Dalam kasus ide bunuh diri, misalnya, chatbot kadang memberikan jawaban yang terlalu normatif, bahkan menyesatkan. Bukannya mendorong seseorang mencari bantuan profesional, AI justru dapat meninabobokan pengguna dengan jawaban "tenang...semua akan baik-baik saja". Ini bahaya besar.
Ada juga soal privasi. Data kesehatan mental adalah salah satu data paling sensitif. Bayangkan jika percakapan intim tentang trauma atau depresi bocor, atau digunakan untuk tujuan komersial. Luka pribadi dapat berubah jadi barang dagangan.
Persimpangan Etika, Angka dan Jiwa Sama-sama Taruhannya
Kalau ditarik benang merahnya, ternyata audit dan kesehatan mental menghadapi dilema etis yang mirip ketika AI masuk ke dalamnya: (1) Bias algoritmik, angka dapat menipu, perasaan dapat salah ditafsir. AI yang bias dapat merugikan pihak tertentu, baik di laporan keuangan maupun dalam diagnosis psikologis; (2) Transparansi, tanpa penjelasan yang masuk akal, kepercayaan pada hasil AI runtuh. Orang butuh tahu: kenapa laporan ini bermasalah, kenapa saya disebut depresi? (3) Akuntabilitas, jika AI salah, siapa yang bertanggung jawab? Pengembang, organisasi, atau pengguna? Ini pertanyaan hukum sekaligus moral yang belum ada jawaban tuntasnya; (4) Privasi, data finansial dan data kesehatan mental sama-sama sensitif. Kebocoran dapat menghancurkan reputasi, karier, bahkan hidup pribadi seseorang; (5) Otonomi manusia, AI seharusnya "membantu", bukan "menggantikan". Auditor tetap harus memutuskan, psikolog tetap harus menilai. Mesin hanya boleh jadi pendamping, bukan penguasa.
Jangan Sekadar Checklist Etika
Pengalaman perusahaan besar seperti AstraZeneca menunjukkan audit etis AI tidak cukup dengan daftar periksa di atas kertas. Budaya etis dalam organisasi diperlukan di dalamnya. Sama halnya di layanan kesehatan mental, chatbot tidak dapat sekadar memenuhi regulasi teknis, tapi harus diuji dampaknya pada pengguna nyata, bekerja sama dengan psikolog, regulator, dan komunitas.
Ini artinya etika bukan hanya jargon, tapi harus hidup dalam praktik sehari-hari. Ada evaluasi berkala, audit independen atas sistem AI, serta jalur eskalasi yang jelas ketika AI menemui situasi krisis.
AI Sebagai Aktor Moral
Pertanyaan besar muncul, apakah AI hanya sekedar mesin, atau kini sudah menjadi aktor moral? Kenyataannya, AI sudah ikut menentukan nasib orang, apakah laporan keuangan dianggap wajar, apakah seseorang dikategorikan depresi. Itu keputusan moral yang efeknya nyata.
Jika tanpa etika, AI hanyalah mesin dingin yang menghitung untung rugi. Tapi dengan kerangka etika, AI dapat jadi co-pilot yang menjaga integritas sistem keuangan sekaligus kesejahteraan psikologis manusia.
Jangan Terpesona, Jangan Paranoid
Kita tidak boleh terlalu terpesona dengan janji AI, tapi juga tidak perlu paranoid seolah semua teknologi pasti membawa bencana. Yang kita butuhkan adalah sikap realistis: memanfaatkan kelebihan AI dengan tetap menjaga pagar etika.
Audit butuh keadilan finansial. Kesehatan mental butuh empati manusiawi. Keduanya kini sama-sama disentuh AI. Taruhannya besar, karena angka dapat salah, jiwa dapat terluka. Maka jawabannya sederhana tapi berat, jangan biarkan mesin berjalan sendiri. Pastikan etika yang dimiliki manusia selalu di kursi kemudi.(AM)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI