Mohon tunggu...
Alfian Misran
Alfian Misran Mohon Tunggu... Dosen, Akuntan, dan Penulis

Pemerhati Audit, Ekonomi-Bisnis dan Keuangan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Negara yang Membakar Luka Sendiri

31 Agustus 2025   09:10 Diperbarui: 31 Agustus 2025   09:10 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Agustus selalu punya cerita sendiri untuk Indonesia. Tapi Agustus 2025 berbeda. Bulan ini tercatat dalam sejarah bukan karena parade kemerdekaan, bukan pula karena pesta rakyat, melainkan karena suara rakyat yang meledak di jalanan. Dari Jakarta hingga Makassar, dari Bandung hingga Surabaya, dari Medan sampai Yogyakarta, massa berbondong-bondong turun ke jalan. Mereka bukan sekadar mahasiswa idealis atau buruh pabrik yang frustrasi, tapi juga para driver ojek online, pedagang kaki lima, pegawai kecil, hingga emak-emak pasar. Ada yang membawa poster, ada yang berorasi, ada yang hanya berdiri menatap gedung-gedung tinggi dengan mata penuh marah.

Semuanya berawal dari satu keputusan yang tampak kecil di atas kertas, tapi terasa menghina ketika menyentuh perut rakyat: tunjangan rumah anggota DPR sebesar Rp 50 juta per bulan. Angka ini mungkin sah secara administrasi, lengkap dengan pasal dan peraturan, tapi publik melihatnya dengan kacamata berbeda. Rp 50 juta itu bukan sekadar uang, ia adalah simbol jurang antara mereka yang memerintah dan mereka yang diperintah. Simbol tentang siapa yang menikmati kemewahan dan siapa yang harus mengencangkan ikat pinggang. Sementara sebagian rakyat masih berutang untuk bayar sekolah anaknya, para anggota dewan bisa tersenyum tenang di ruang ber-AC dengan tunjangan yang bahkan melebihi gaji tahunan sebagian besar keluarga Indonesia.

Luka itu makin terasa ketika rakyat mendengar penjelasan-penjelasan dari sebagian politisi yang seolah hidup di planet berbeda. Ada yang berkata, "biaya hidup di Jakarta mahal, wajar dong kalau tunjangan besar." Ada yang menyebut kritik publik hanya "emosi sesaat yang tak paham realitas." Kata-kata ini menyulut api, memantik bara yang sudah lama dipendam. Rakyat merasa bukan hanya perutnya yang diabaikan, tapi juga martabatnya yang diinjak. Ketika negara tidak peka terhadap penderitaan rakyatnya, yang lahir adalah rasa keterasingan. Hubungan antara penguasa dan yang dikuasai jadi retak, seolah mereka hidup di dua republik yang berbeda.

Namun, demonstrasi besar ini bukan hanya tentang tunjangan. Akar persoalannya jauh lebih dalam. Ekonomi rakyat memang sudah lama terguncang. Inflasi di atas kertas memang tampak jinak, tapi harga beras, cabai, dan biaya sekolah terus merangkak naik. Pemerintah pusat memotong sejumlah anggaran publik, sementara pemerintah daerah, seperti di Pati, justru menaikkan pajak bumi dan bangunan hingga 250%. Kombinasi kebijakan ini menambah sesak nafas banyak keluarga. Rakyat akhirnya bertanya-tanya: kalau negara tidak bisa melindungi perut kami, apa gunanya kekuasaan kalian?

Situasi berubah drastis pada 28 Agustus 2025. Seorang pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan, 21 tahun, tewas terlindas kendaraan taktis Brimob di Jakarta. Video kejadian itu viral dalam hitungan jam. Sosial media meledak. Wajah Affan menghantui setiap layar ponsel. Kematian itu jadi titik balik. Protes yang awalnya damai berubah jadi gelombang kemarahan. Mahasiswa, buruh, ojol, dan masyarakat umum bersatu di jalan-jalan, bukan hanya menuntut pembatalan tunjangan DPR, tapi juga menuntut keadilan.

Solidaritas yang lahir dari tragedi Affan membuat isu kebijakan melebur dengan isu kemanusiaan. Demonstrasi di Makassar berakhir dengan gedung DPRD dibakar. Di Bandung, jalan-jalan utama diblokir. Di Medan, Surabaya, dan Yogyakarta, bentrokan pecah. Polisi menembakkan gas air mata, massa membalas dengan batu dan botol. Situasi menjadi liar, dan di titik inilah pemerintah menyadari bahwa ini bukan lagi sekadar soal kebijakan fiskal, tapi krisis legitimasi.

Presiden Prabowo Subianto membatalkan kunjungan kenegaraannya ke Tiongkok dan memanggil pimpinan platform media sosial ke istana. TikTok diminta menangguhkan fitur LIVE sementara, sementara Meta dan X ditekan untuk mengurangi arus disinformasi. Tapi langkah ini justru menuai kontroversi baru. Sebagian publik melihatnya sebagai upaya membungkam suara rakyat, sementara yang lain menilainya sebagai tindakan panik negara menghadapi kecepatan viralitas dunia digital. Nyatanya, media sosial memang punya peran besar dalam eskalasi demo. Video kematian Affan, potongan pernyataan elit politik, hingga kabar hoaks tentang jumlah korban beredar tanpa kendali. Informasi berkompetisi dengan emosi, dan emosi jauh lebih cepat menang.

Di sisi lain, tindakan aparat di lapangan memperburuk luka. Banyak laporan menyebut penggunaan kekerasan berlebihan terhadap demonstran, termasuk gas air mata, water cannon, hingga penangkapan massal. UU No. 9 Tahun 1998 memang melindungi hak rakyat untuk menyampaikan pendapat, tetapi perlindungan itu terasa rapuh ketika kenyataan memperlihatkan wajah represif negara. Publik mulai meragukan kemampuan pemerintah menegakkan rule of law dengan adil.

Namun, amarah ini juga bukan sekadar respons spontan. Akar terdalamnya adalah defisit kepercayaan. Laporan Transparency International menempatkan Indonesia pada skor 37/100 dalam Indeks Persepsi Korupsi 2024, sinyal bahwa publik sudah lama tidak percaya pada integritas pejabat publik. Kebijakan tunjangan DPR hanyalah percikan api; bensinnya adalah persepsi kronis bahwa kekuasaan dikelola untuk elit, bukan untuk rakyat. Dalam teori keadilan sosial, ketika masyarakat merasa "keluar dari lingkaran manfaat", protes besar hanyalah soal waktu.

Agustus 2025 adalah bukti bahwa Indonesia sedang menghadapi krisis multi-dimensi. Krisis ekonomi yang menghimpit perut, krisis politik yang mengikis wibawa, krisis sosial yang menumbuhkan solidaritas kemarahan, krisis hukum yang menantang legitimasi aparat, dan krisis informasi yang membentuk narasi tandingan di dunia maya. Semua ini bertemu di jalan-jalan, menjelma menjadi gelombang perlawanan.

Kemarahan rakyat bukanlah kebetulan, melainkan akumulasi luka yang lama diabaikan. Negara seakan membakar lukanya sendiri: membuat kebijakan yang tak peka, menolak mendengar suara rakyat, lalu mengirim aparat untuk meredam protes. Dalam politik, kepercayaan adalah modal terbesar. Ketika modal itu hilang, satu kebijakan kecil pun bisa memantik ledakan nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun