Mohon tunggu...
Alfian Misran
Alfian Misran Mohon Tunggu... Dosen, Akuntan, dan Penulis

Pemerhati Audit, Ekonomi-Bisnis dan Keuangan

Selanjutnya

Tutup

Financial

Biaya yang Tak Lagi Diam: Ketika Akuntansi Biaya Didesak untuk Bangun dari Tidurnya

16 Juli 2025   06:53 Diperbarui: 16 Juli 2025   06:53 7072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Biaya yang Tak Lagi Diam (Sumber: Ilustrasi AI)

Bayangkan sebuah perusahaan yang memproduksi mobil listrik. Ia bangga menyebut dirinya "ramah lingkungan", tapi tak mampu menghitung berapa biaya limbah baterai yang dikuburnya setiap tahun. 

Di sisi lain, sebuah startup digital membakar triliunan rupiah untuk mengakuisisi pengguna, tapi tak bisa menjawab: "Berapa sebenarnya biaya satu pelanggan baru yang aktif selama 6 bulan?"

Di sanalah akuntansi biaya yang selama ini tenang di balik layar, mengurus debit-kredit biaya bahan baku dan overhead pabrik dipanggil kembali ke medan perang yang baru. Bukan sekadar menghitung. Tapi memetakan, menafsirkan, memprediksi. Lebih berat lagi yaitu bertanggung jawab pada masa depan.

 

Ketika Lingkungan Menagih Ongkosnya

Di era krisis iklim ini, biaya bukan cuma soal listrik, air, dan tenaga kerja. Tapi juga soal udara kotor yang dikeluarkan, limbah plastik yang dibuang, dan reputasi yang terkikis. Dunia mulai bertanya, "Berapa biaya jejak karbonmu?" Sayangnya, banyak sistem akuntansi biaya hari ini masih bisu ketika diminta menjawab.

Inilah yang memunculkan kebutuhan akan Green Costing atau Environmental Cost Accounting, sebuah pendekatan baru yang mengintegrasikan biaya sosial dan lingkungan ke dalam laporan manajerial. Perusahaan yang dulu hanya menghitung biaya produksi, kini dituntut juga menghitung "biaya merusak".

 

Era Biaya Real-Time: Dari Spreadsheet ke Streaming Data

Dulu, laporan biaya datang di akhir bulan. Hari ini, manajemen ingin laporan biaya real-time seperti notifikasi Gojek yang cepat, akurat, dan berbasis data sensor.

Perusahaan dengan sistem ERP, IoT, dan AI menuntut real-time costing, bukan yang berbasis akrual 30 hari. Tapi sistem lama kita yang masih disusun manual, pakai rumus Excel dan asumsi statis tak lagi mampu berlari. Akuntansi biaya kini bukan soal mencatat, tapi membaca sinyal dari ribuan titik data.

 

Apakah ABC Masih Relevan?

Activity-Based Costing (ABC) dulunya dianggap revolusioner. Tapi kini banyak perusahaan merasa model itu "berat di konsep, rumit di praktik." Mereka pun kembali ke traditional costing, meski tahu itu menyesatkan.

Maka muncul dilema, apakah kita perlu ABC versi baru yang lebih ringan, cepat, dan adaptif terhadap digitalisasi? Sebuah "Next-Gen ABC" yang tak hanya menelusuri biaya, tapi juga perilaku pengguna, waktu respons, bahkan UX design?

 

Ketika Psikologi Menghantui Biaya

Akuntansi biaya sering diasumsikan objektif. Padahal manajer sering jatuh pada bias mempertahankan proyek rugi karena "sudah terlanjur keluar dana" (sunk cost fallacy), atau menolak investasi karena takut rugi walau analisis menunjukkan sebaliknya.

Muncullah cabang baru yang mulai dilirik yaitu Behavioral Costing yang tak hanya melihat angka, tapi juga membaca psikologi di balik keputusan biaya. Di sini, biaya bukan cuma soal nominal, tapi juga soal emosi dan persepsi.

 

Startup, Platform, dan Biaya yang Kabur

Coba tanyakan ke manajemen TikTok atau Netflix "Berapa biaya pasti untuk satu video viral atau satu akun premium?" Jawabannya mungkin lebih kabur dari naskah UU Cipta Kerja.

Model bisnis digital tidak punya "unit produk" yang jelas. Biaya variabelnya bisa nol, tapi biaya fixed (R&D, server, brand) menembus langit. Akuntansi biaya lama gagal menangkap dinamika ini.

Dibutuhkan saat ini pendekatan baru yang dapat menghitung biaya dalam ekonomi platform, bukan hanya pabrik konvensional.

 

Biaya yang Tak Lagi Hanya Internal

Akuntansi biaya selama ini fokus pada dapur sendiri. Tapi kini, nilai diciptakan lewat jaringan mulai dari supplier sampai pelanggan. Maka lahirlah pendekatan Strategic Cost Management dan Value Chain Costing.

Biaya harus dilihat lintas rantai pasok, lintas negara, bahkan lintas ekosistem. Akuntan biaya harus tahu kapan menekan biaya sendiri, dan kapan justru mengoptimalkan biaya pihak lain demi efisiensi bersama.

 

Ketika Biaya Menjadi Alat Korupsi

Skandal demi skandal menunjukkan manipulasi biaya jadi ladang empuk untuk korupsi. Dari mark-up pengadaan, manipulasi biaya proyek, sampai ghost expenses di laporan keuangan.

Maka isu penting lainnya adalah transparansi biaya dan whistleblowing. Akuntansi biaya harus jadi sistem deteksi dini. Bukan alat pembenaran.

Harga Dinamis, Biaya Dinamis?

E-commerce dan marketplace menetapkan harga yang berubah tiap jam. Tapi apakah biaya juga bisa sefleksibel itu? Hal ini membuka isu baru yaitu Costing untuk Dynamic Pricing. Artinya, sistem biaya harus mampu beradaptasi cepat, menghitung variable cost secara real-time, bahkan memperkirakan elasticity dan reaksi kompetitor. Kalau tidak? Perusahaan akan terjebak menetapkan harga tanpa peta biaya yang akurat.

Cost Accounting di Titik Balik

Maka pertanyaannya kini bukan "Berapa biaya produk ini?" Tapi, apakah biaya ini bermakna? Apakah biaya ini relevan untuk masa depan? Apakah kita menghitung biaya yang sebenarnya penting?

Karena di dunia yang terus berubah dengan krisis iklim, digitalisasi, dan tuntutan etika maka biaya bukan lagi sekadar angka. Ia adalah cermin keputusan strategis, peta risiko, dan bahkan kompas moral perusahaan.

 

Penutup
Cost accounting sedang berada di persimpangan sejarah, antara tetap jadi penjaga gudang, atau naik kelas menjadi navigator perubahan. Dunia tak butuh akuntan biaya yang sekadar akurat. Tapi yang juga kritis, etis, dan visioner. Atau seperti kata Peter Drucker, "Cost accounting is too important to be left only to accountants."(AM)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun