Itu tadi, Pekerja Harian Lepas (HL). Selanjutnya saya sebut HL. Ingat ya, bukan headline (Artikel Utama). Namun HL singkatan dari harian lepas.
Realita pekerja harian lepas di perusahaan
Ini bukan cerita fiktif. Ini nyata adanya. Setahun yang lalu Parjo bekerja disebuah perusahaan swasta sebagai karyawan dengan status HL.Â
Ia merupakan satu dari puluhan pekerja HL lainnya yang direkrut secara bersamaan. Kebijakan ini diambil setelah perusahaan memutuskan untuk melepas seluruh karyawan kontrak dan menggantinya dengan HL.Â
Sebagai HL, Parjo diberi tugas untuk membantu pekerja utama. Beban kerja yang diberikan padanya bukanlah tugas yang membutuhkan skill atau keahlian khusus. Bila diibaratkan tukang bangunan, pekerja HL adalah keneknya. Atau dalam dunia kerja disebut helper. Namanya juga HL. Ia tidak terikat dengan perusahaan.Â
Sewaktu-waktu diputus kontrak hanya bisa pasrah. Tak bisa berbuat apa-apa. Sama halnya dengan tukang bangunan. Parjo pun tidak mendapatkan BPJS baik kesehatan maupun ketenagakerjaan. THR juga gelap. Itu praktiknya. Seperti namanya, upah kerja dihitung harian. Berapakah upahnya?Â
Sedih saya kalau harus menceritakan ini. Hanya 100 Ribu rupiah per hari. Dibayar setiap akhir pekan. Tak ada lembur, tak ada pula uang dinas luar ketika ia harus ikut bekerja diluar pabrik.Â
Tidak seperti karyawan yang diberikan uang saku. Karena terbentur aturan 21 hari kerja dalam sebulan, kalau sudah bekerja 3 Minggu lamanya, kontraknya harus diperbaharui dengan jeda waktu 5 hari.Â
Praktis dalam sebulan penghasilannya sangat minim. Namun akhirnya Parjo hanya bertahan selama 3 bulan. Bukan karena sudah tak mau kerja, tetapi karena sudah tidak diperpanjang lagi setelah corona datang.Â
Parjo tidak sendiri. Ada ratusan bahkan mungkin ribuan yang bernasib sepertinya. Oiya, sekedar info saja pada praktiknya di lapangan, sekarang ini sudah banyak perubahan yang mensiasati dengan merekrut pekerja harian lepas.Â
Khususnya untuk level operator. Perusahaan tak mau lagi merekrut karyawan kontrak. Ini banyak terjadi di kota-kota besar sebagai dampak upah minimum yang tinggi. Selain tidak mampu membayar UMR, perusahaan juga tidak mau terikat dengan pekerja.