Gen Z adalah saya, kadang saya memang sedikit kesal dengan stigma-stigma yang muncul apabila membahas gen Z. Menang ada beberapa yang positif, namun umumnya orang memandang gen z dengan konotasi yang negatif dan dipandang remeh. Banyak peneliti sosial yang mengkategorikan generasi Z yaitu mereka yang lahir sekitar tahun 1997 hingga 2012. Gen Z merupakan kelompok usia yang kini mendominasi dunia pendidikan tinggi, angkatan kerja muda, serta media sosial di Indonesia. Mereka tumbuh dalam lanskap digital yang sangat berbeda dengan generasi sebelumnya, dengan intensitas interaksi media yang jauh lebih tinggi, akses informasi tanpa batas, serta ekspektasi sosial yang kompleks. Saya sudah lama ingin menulis tentang semua permasalahan kompleks yang dialami oleh sebagian besar gen Z, tentu saya akan mengaitkannya dengan konsep sosiologi. Ada lima problem besar yang ingin saya tuangkan melalui artikel ini, selamat membaca.
Mental Health sebagai Public Issue Utama Gen Z
Dari sumber relevan, dijelaskan studi terbaru The Conversation Indonesia menunjukkan bahwa isu kesehatan mental di kalangan Gen Z semakin meningkat drastis. Permasalahan kesehatan mental menjadi salah satu gejala sosial paling mencolok yang mewarnai kehidupan Gen Z di Indonesia. Banyak problem yang muncul mulai dari gangguan kecemasan, perasaan kesepian kronis, depresi, hingga meningkatnya ide bunuh diri. Label "generasi rapuh" pun tak jarang dilekatkan kepada mereka, tanpa memahami konteks sosial dan struktural yang menyelimuti fenomena tersebut. Dalam perspektif sosiologi, C. Wright Mills telah menjelaskan pentingnya membedakan personal troubles dan public issues dalam sociological imagination. Kecenderungan mental health ini menunjukkan bahwa masalah yang dihadapi Gen Z bukanlah semata-mata personal troubles, melainkan public issue yang mencerminkan kegagalan sistemik dalam mengakomodasi kebutuhan generasi baru. Kesehatan mental yang memburuk bukan hanya akibat "pikiran individu yang bermasalah", tetapi cerminan dari tekanan struktural yang lebih luas mulai dari sistem pendidikan yang kompetitif dan impersonal, ketidakamanan ekonomi, ekspektasi sosial yang menumpuk, budaya hustle, hingga ketimpangan akses terhadap ruang aman menjadi argumen bahwa society sendiri lah yang membuat gen Z tertekan hingga mengalami isu kesehatan mental ini.
Gejala gejala yang disebutkan sebelumnya banyak ditemukan pada pelajar, mahasiswa, hingga pekerja muda. Namun, ketika mereka bersuara tentang kondisi psikologis mereka kerap dibalas dengan label negatif "dikit-dikit mental health", "self-diagnose", atau "generasi ngeluh." Padahal, stigma terhadap kesehatan mental justru memperparah kondisi kolektif mereka. Dari sini, Arlie Hochschild salah satu tokoh sosiologi mengembangkan konsep emotional labor yang berlapis, yaitu ketika seseorang harus tersenyum di dunia nyata meski hancur secara batin, sekaligus menjaga citra yang "terlihat baik-baik saja." Ini menciptakan dualitas eksistensial yang merusak stabilitas identitas diri.Â
Mental health yang menurut saya menarik untuk dibahas adalah banyak dari gen Z yang menunjukkan loneliness epidemic, yaitu merasa kesepian meskipun terhubung secara digital dengan banyak orang. Dalam sosiologi, ketika struktur sosial tidak lagi mampu memberikan arah moral dan integrasi sosial yang kuat, individu merasa terasing, kehilangan makna, dan mengalami kehampaan yang ekstrem. Loneliness bukan hanya kesepian secara fisik, tapi kehancuran ikatan sosial yang seharusnya menjadi fondasi kesejahteraan psikis. Akibatnya, salah satu dari kita sebagai gen Z termasuk saya pasti sering mengidentifikasi diri sendiri sebagai introvert. Sebenarnya mengaku sebagai orang yang introvert bukan semata pencarian identitas, tapi bisa menjadi coping mechanism juga di tengah tuntutan sosial untuk selalu tampil sosial, aktif, dan produktif. Sebagian dari gen z merasa bahwa jika mereka tidak memenuhi standar "outgoing", maka dianggap bermasalah, lalu dikucilkan. Maka menjadi diam, tertutup, atau introvert bukanlah pilihan, melainkan bentuk perlawanan sunyi terhadap masyarakat yang terlalu bising dan penuh tekanan.
Fakta empiris mendukung ini, menurut riset yang saya temukan, lebih dari 60% Gen Z di Indonesia mengalami gejala gangguan kecemasan dan depresi. Bahkan laporan Kemenkes dan survei Katadata Insight Center (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 30% mahasiswa dan pelajar aktif mengakses layanan psikologis, menunjukkan adanya permintaan akan dukungan mental yang tinggi. Hal ini selaras dengan pendekatan structural strain theory (Robert Merton), di mana tekanan sosial yang tidak seimbang antara harapan dan realitas menyebabkan frustasi kolektif dan disfungsi. Menurut saya, kesehatan mental adalah public issue yang butuh kebijakan sistemik dan pendekatan kolektif, bukan lagi diletakkan pada pundak individu semata. Dibutuhkan peran negara, pendidikan, media, dan institusi sosial untuk menghadirkan sistem yang peduli pada kesejahteraan psikologis generasi muda, bukan sekadar menuntut produktivitas dan "kekuatan mental".
Generasi yang Menuntut Banyak atau Hanya Ingin Sesuai Tatanan
Problem Gen Z semakin kompleks ketika mereka masuk ke dunia kerja. Permintaan gen Z terhadap work-life balance, ktitik sistem kerja yang mengeksploitasi, serta penolakan terhadap praktik seperti overwork, multitasking job desc, dan fleksibilitas semu di ruang kerja, kerap dianggap "manja". Namun menariknya, jika kita kembali pada pemikiran kritik klasik, dalam perspektif Karl Marx tentu akan ini adalah respons sebagai bentuk kesadaran terhadap kondisi alienasi kerja. Marx menjelaskan bagaimana buruh tercerabut dari hasil kerjanya, proses produksinya, hingga identitasnya sebagai manusia. Gen Z menolak menjadi bagian dari sistem yang menindas tubuh dan batin mereka. Alih-alih menyatu dalam mesin kapitalisme, mereka lebih memilih mempertahankan otonomi, meski harus menanggung stigma "tidak loyal". Gen Z akhirnya memanfaatkan media sosial untuk menjadi arena diskursif baru sebagai tempat kebanyakan gen Z membicarakan kelelahan, hak cuti, dan praktik kerja yang tidak sehat. Dengan mengartikulasikan kritik secara rasional dalam ruang publik digital, gen Z menuntut sistem yang lebih adil dan manusiawi. Dalam logika kritis, ini adalah langkah menuju emansipasi komunikasi, yakni mengubah struktur sosial melalui diskusi terbuka yang menentang dominasi sistem. Banyak akun TikTok dan Instagram bahkan menjadi semacam kanal edukatif untuk memahami hak-hak pekerja, praktik toxic di kantor, hingga metode menjaga kesehatan mental di tengah tekanan korporat. Lebih dalam lagi, kritik gen Z terhadap dunia kerja sangat sejalan dengan pemikiran-pemikiran kritis Marxis, terutama pada gagasan tentang rasionalitas instrumental dan birokratisasi dalam masyarakat kapitalis modern. Dalam konteks dunia kerja hari ini, perusahaan menggunakan bahasa "fleksibel", "kerja dari mana saja", dan "budaya startup" untuk menyamarkan realitas eksploitasi. Gen Z, dengan pengaruh pendidikan kritis dan akses informasi luas, mampu menolak narasi ini dengan membongkar makna sebenarnya dari kerja produktif yang tidak manusiawi.Â