Setiap orang pasti pernah mengalami momen ini merasa kangen ketika memutar lagu-lagu lama, agak sedih ketika melihat album foto masa sekolah, atau iseng mencari mantan di media sosial karena gagal move on. Fenomena ini menunjukkan bagaimana pengalaman nostalgia yang menghubungkan individu dengan kenangan emosional mereka. Tapi anehnya, yang bikin nyesek itu bukan orangnya melainkan memori, suasana, kenangan ataupun momennya. Misalnya, bagi pengguna Spotify, pasti pernah memakai fitur "Spotify Wrapped" diakhir tahun kan, fitur yang merangkum lagu-lagu yang paling sering didengarkan sepanjang tahun. Menariknya, banyak yang menggunakan momen ini untuk mengenang masa lalu, bahkan mencari tahu lagu-lagu yang pernah mereka dengarkan bersama mantan pasangan.
Makannya kita bernostalgia pasti merasa rindu dengan masa lalu sebagai kenangan, dan rasa yang sudah hilang bahkan bisa saja sebuah tempat. Jadi, kenapa sih kita sering banget bernostalgia? Saya tidak akan mendalami cara kerja psikologi dalam bernostalgia, tapi saya akan memandang dari studi sosiologi, saya akan mencoba memaparkan beberapa kajian yang saya dalami.
Kutukan Modernisasi yang Penuh Ketidakpastian
Salah satu ciri utama masyarakat modern apalagi postmodern adalah ketidakpastian. Masyarakat hari ini hidup dalam dunia yang serba cepat, cair, dan penuh perubahan. Dalam istilah liquid modernity, identitas, pekerjaan, hubungan sosial, hingga nilai-nilai moral tak lagi stabil seperti dulu. Tidak ada lagi jaminan hidup "mapan" setelah bekerja puluhan tahun. Tidak ada lagi hubungan sosial yang dijaga sepanjang hidup.
Ketidakpastian ini menciptakan kecemasan eksistensial. Orang jadi rindu dengan masa lalu karena masa kini terasa terlalu ambigu dan masa depan tidak bisa ditebak. Jika dulu kita tumbuh dalam kerangka yang lebih “tertata” misalnya sekolah, keluarga, tetangga dan teman sebaya, sekarang semua terasa terbuka tapi juga terisolasi. Sebagai contoh, salah satu alasan kuat mengapa nostalgia begitu menggoda adalah karena masa lalu terutama masa kecil sering kali dipersepsikan sebagai periode yang bebas dari beban tanggung jawab. Misalnya, saat masih sekolah, banyak orang mengenang kebebasan bermain setelah pulang, berjalan kaki bersama teman, mengobrol tanpa memikirkan waktu, atau dihukum ibu karena pulang terlalu sore. Dibandingkan dengan kehidupan dewasa yang serba tuntutan dimarahi atasan karena belum mencapai target, terjebak dalam kerja yang tak pernah selesai, atau harus selalu ‘on’ meski di akhir pekan masa kecil tampak seperti “surga” yang sederhana namun bermakna. Dalam sosiologi, ini bisa dijelaskan melalui teori rasa kehilangan struktur sosial yang akrab. Peter Berger dan Thomas Luckmann dalam The Social Construction of Reality menjelaskan bahwa manusia membentuk kenyamanan dari struktur dan rutinitas yang dikenalnya. Masa lalu menghadirkan struktur yang lebih jelas dan stabil sekolah punya jadwal tetap, keluarga punya peran yang terdefinisi, hidup tidak serumit sekarang. Ketika struktur itu menghilang karena modernitas yang cair dan fleksibel, orang akan kembali memeluk struktur lama dalam bentuk ingatan nostalgia.
Selain itu, Maurice Halbwachs, sosiolog Perancis dalam konsep collective memory menjelaskan bahwa ingatan sosial tidak berdiri sendiri, melainkan dibentuk dalam konteks kelompok. Bentuk rekonstruksi sosial atas masa lalu yang dilakukan bersama-sama. Kita tidak hanya mengingat sesuatu karena pengalaman itu menyenangkan, tetapi juga karena pengalaman itu dibagi bersama teman sebaya, keluarga, atau komunitas. Itulah mengapa nostalgia sering kali berbentuk “kolektif”. Jadi, nostalgia bukan hanya tentang ingatan individu, tapi juga bagian dari narasi bersama “kita dulu main layangan”, “kita dulu pakai HP Nokia” atau “kita dulu dengar lagu di warnet”. Ingatan itu mengikat identitas kolektif, memberi rasa kebersamaan, sekaligus menawarkan rasa nyaman di tengah dunia yang semakin individualistik dan kompetitif. Nostalgia, pada akhirnya, menjadi mekanisme psikososial untuk mengatasi alienasi modern. Orang merasa ‘jauh’ dari masa kini yang penuh tekanan dan tak berwajah, maka mereka memilih pulang setidaknya secara mental ke masa lalu yang lebih akrab dan menghangatkan hati. Halbwachs menekankan bahwa memori kolektif ini bukanlah kenangan pasif, melainkan aktif dibentuk dan dihidupkan kembali oleh kelompok sosial. Karena itu, nostalgia bisa menjadi sarana untuk meneguhkan identitas, membangun rasa kebersamaan di tengah zaman yang makin terfragmentasi, sekaligus menjadi pelarian dari tekanan modernitas yang menuntut produktivitas, efisiensi, dan individualisme ekstrem.
Banyak orang sulit melupakan mantan bukan hanya karena orangnya, tapi karena kenangan emosional yang terbentuk dalam konteks sosial, seperti dijelaskan Maurice Halbwachs lewat konsep memori kolektif. Kenangan bersama mantan bukan sekadar pengalaman pribadi, melainkan mencakup rutinitas, versi diri, dan perasaan memiliki tempat istimewa yang sulit tergantikan. Emosi-emosi ini menjadi rumah emosional yang hilang saat hubungan berakhir. Dalam diri sendiri pasti merasa bahwa, kita cenderung menyimpan kenangan manis dan mengikatnya secara emosional, menjadikan nostalgia bentuk pelarian alami dari tekanan dunia modern yang penuh ketidakpastian.
Dalam perspektif sosiologi, ingatan adalah konstruksi sosial yang membentuk identitas dan makna hidup. Kenangan masa lalu, terutama yang terkait dengan cinta, membawa kita pada gambaran ideal akan diri dan dunia yang lebih sederhana. Ia menjadi simbol harapan dan panduan emosional, mencerminkan bagaimana kita memahami relasi dan makna hidup. Maka dari itu, nostalgia pada mantan bukan sekadar memori pribadi, tapi bagian dari usaha menemukan kembali makna dan kestabilan di tengah kompleksitas zaman.
Nostalgia Menjadi Coping Mechanism dengan Memanfaatkan Pemaknaan Memori
Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan emosional seperti saat ini, nostalgia sering muncul sebagai mekanisme koping (coping mechanism) yang kuat dan efektif. Ketika seseorang menghadapi stres, kecemasan, atau perasaan kehilangan arah, kenangan indah dari masa lalu menjadi tempat pelarian yang aman secara psikologis. Hal inidisebabkan karena manusia berusaha mengatur perasaan negatif dengan memunculkan ingatan yang memunculkan perasaan positif, seperti kebahagiaan, kenyamanan, atau kehangatan masa lalu. Dalam konteks ini, nostalgia tidak hanya menjadi reaksi emosional, tetapi juga strategi bertahan hidup dalam menghadapi realitas yang mengecewakan.