Mohon tunggu...
Nur Alfia Ekawati
Nur Alfia Ekawati Mohon Tunggu... Guru - A teacher, a writer, a translator, a book lover

2006 - sekarang (English Teacher, Writer, and English Translator) 2005 (English Tutor in Primagama) 2002 - 2014 (English Instructor in IEC Malang)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Gerakan Literasi Sekolah, Antara Harapan dan Realita

15 Oktober 2020   19:35 Diperbarui: 19 Oktober 2020   05:37 1221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi buku-buku (dok. pribadi)

Gerakan Literasi Sekolah merupakan suatu gerakan yang dicanangkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menumbuhkembangkan budi pekerti siswa dengan meningkatkan minat dan kemampuan membaca dan menulis. 

Sejak dicanangkan pada tahun 2016, seharusnya kita sudah bisa melihat sejauh mana gerakan ini memberi dampak pada kemampuan membaca dan menulis siswa. Apakah Gerakan Literasi Sekolah sudah cukup efektif atau justru sebaliknya?

Ternyata hasil PISA terbaru di tahun 2018 menunjukkan bahwa peringkat dari indeks literasi pelajar Indonesia dalam hal kemampuan membaca, Matematika, serta Sains masih berada jauh di bawah.

Indonesia berada di peringkat 74 dari 79 negara untuk kemampuan membaca, peringkat 73 untuk matematika, dan peringkat 71 untuk sains. 

Jika dibandingkan dengan hasil PISA di tahun 2015, justru peringkat Indonesia mengalami penurunan, terutama kemampuan membaca. Hal ini justru sangat memprihatinkan.

Jadi, apa yang salah? Apakah ini merupakan kegagalan dari Gerakan Literasi Nasional yang dicanangkan pemerintah?

Mungkin masih terlalu dini untuk mengatakan bahwa rendahnya peringkat Indonesia dalam hasil survei PISA tersebut merupakan kegagalan program Gerakan Literasi Nasional. 

Namun hal ini merupakan sebuah peringatan keras bagi pemerintah dan kita semua bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, matematika, dan sains cukup mengkhawatirkan. 

Banyak hal yang harus dievaluasi dan diperbaiki. Perlu kerja keras dari berbagai elemen untuk mencari bentuk yang paling tepat untuk meningkatkan kemampuan literasi siswa.

Jika kita tanyakan pada diri sendiri, kenapa hal ini bisa terjadi? Kenapa begitu sulit menumbuhkan minat siswa untuk membaca dan menulis? Apa hambatan terbesar yang harus kita hadapi?

Kita harus mengakui bahwa gempuran teknologi komunikasi dan informasi saat ini cukup membuat kita kewalahan. Saat budaya membaca belum tertanam dengan kuat, para siswa kita sudah mengakses berbagai jenis informasi dari berbagai media sosial yang mereka miliki, tanpa filter. 

Akibatnya, kemampuan literasi siswa bukannya meningkat, justru semakin kacau. Salah satunya adalah kemampuan untuk menganalisis validitas atau tingkat kebenaran suatu informasi.

Di masa kecepatan informasi yang luar biasa saat ini, para siswa sangatlah mudah percaya dengan suatu informasi atau berita tanpa mengecek terlebih dahulu kebenarannya. 

Dengan mudahnya copy-paste dan share berita, tanpa disadari, mereka turut menyebarkan berita hoax melalui media sosial. Selain itu, kebiasaan menerima segala informasi begitu saja tanpa filter, juga menyebabkan mereka menjadi sasaran empuk penipuan melalui pertemanan di dunia maya.

Dengan beratnya tantangan yang kita hadapi, sudah selayaknya jika Gerakan Literasi Sekolah mendapatkan porsi perhatian yang cukup besar. Semua komponen baik masyarakat, sekolah, dan orang tua harus saling bersinergi untuk menciptakan ekosistem yang literat. Namun kenyataan di lapangan masih jauh dari sempurna.

Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah yang sudah berjalan 4 tahun nampaknya masih sekadar menuntaskan kewajiban. Di banyak sekolah, pembiasaan membaca 15 menit di awal pembelajaran terkesan dipaksakan. Siswa hanya membaca apa saja yang bisa dia temukan atau bawa. 

Hal ini disebabkan minimnya penyediaan buku yang bervariasi di perpustakaan dan penyediaan pojok buku yang ala kadarnya. Pembiasaan yang seharusnya dapat meningkatkan minat baca siswa justru hanya menjadi kegiatan rutin tanpa ruh dan antusiasme.

Program yang seharusnya terintegrasi dengan kurikulum ini, masih belum memiliki arah dan tujuan yang jelas. Sekolah masih belum menentukan target yang ingin dicapai setelah melaksanakan program literasi di sekolah. 

Dengan tidak adanya target, maka ketercapaian program juga tidak bisa diukur. Akibatnya, sekolah tidak mengetahui dengan pasti sejauh mana keberhasilan pelaksanaan program ini. Pada akhirnya, Program Literasi Sekolah hanya berjalan di tempat.

Pelaksanaan Gerakan Literasi Sekolah juga membutuhkan dukungan sarana dan prasarana yang memadai, di antaranya penyediaan buku yang beragam dalam jumlah yang memadai serta perpustakaan dan pojok buku yang nyaman dan ramah anak. 

Tentunya hal ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Diperlukan keberanian sekolah untuk mengalokasikan beberapa persen dari dana yang ada untuk pelaksanaan Program Literasi.

Para siswa di SDN Wonolagi, Desa Ngleri, Kecamatan Playen, Gunungkidul, sedang belajar (16/7/2019) (Foto: MARKUS YUWONO/Kompas)
Para siswa di SDN Wonolagi, Desa Ngleri, Kecamatan Playen, Gunungkidul, sedang belajar (16/7/2019) (Foto: MARKUS YUWONO/Kompas)
Namun pada kenyataannya, anggaran untuk perpustakaan dan penyediaan pojok buku belum menjadi prioritas rutin. Minimnya dana yang ada di sekolah juga menjadi salah satu penyebab rendahnya alokasi dana untuk perbaikan dan peningkatan sarana prasarana pendukung literasi.

Gerakan Literasi Sekolah yang merupakan bagian dari Gerakan Literasi Nasional membutuhkan kerja sama dan sinergi yang saling menguatkan dari berbagai komponen, di antaranya adalah masyarakat dan keluarga. 

Masyarakat dan keluarga haruslah turut memberi andil dalam terciptanya ekosistem yang literat. Namun faktanya, sekolah seolah berjalan sendiri. Masih belum nampak kerjasama dan sinergi yang saling menguatkan antara ketiga komponen ini. 

Di beberapa daerah dengan budaya literasi cukup tinggi seperti Sumatera dan Sulawesi, gerakan literasi di masyarakat sudah mulai menggeliat, namun masih minim di banyak daerah lainnya. 

Sementara itu, gerakan literasi dalam keluarga masih belum menemukan bentuk. Belum nampak terobosan yang dilakukan pegiat literasi maupun pemerintah untuk menumbuhkan budaya literasi dalam keluarga.

Berbagai upaya yang dilakukan untuk menumbuhkan minat baca pada anak tentunya harus mengakomodir potensi yang dimiliki oleh anak tersebut. Sejak kecil, anak-anak memiliki kecenderungan untuk menyukai buku.

Hal ini bisa dilihat dengan antusiasme anak saat menemukan buku baru, saat diajak ke toko buku, dan bahkan saat dia mengeksplorasi buku dengan mencorat-coret atau merobek isinya. Kebanyakan anak juga menyenangi buku bergambar dan komik.

Kecenderungan yang alami ini seharusnya dipupuk dan dirangsang sehingga minat bacanya akan meningkat dan pilihan bukunya pun semakin beragam dan berkualitas. 

Kenyataannya, potensi yang luar biasa itu terpaksa harus terkubur. Pilihan buku yang tersedia di lingkungannya hanya itu-itu saja. Maka tidaklah heran, semakin dia dewasa semakin jauhlah dia dari buku, karena antusiasmenya untuk membaca sesuatu yang baru dan menarik tidak pernah terpenuhi.

Beratnya tantangan yang kita hadapi untuk menumbuhkan minat baca dan menulis harus menjadi cambuk supaya kita lebih serius menyukseskan Gerakan Literasi. Tentunya sekolah tidak bisa melakukannya sendiri. 

Kerjasama antara berbagai pihak sangat berpengaruh terhadap keberhasilan program ini. Itu artinya, harus ada mindset yang sama dan gerak yang searah dari berbagai komponen untuk mencapai satu tujuan.

Marilah kita belajar dari Jepang. Di awal usahanya untuk menumbuhkan minat baca masyarakatnya, pemerintah Jepang sangat serius.

Mereka tidak ragu-ragu untuk menyediakan segala sarana dan prasarana yang menumbuhkan budaya literasi di negaranya, termasuk menyediakan banyak buku gratis yang tersebar di seluruh pelosok negeri. 

Jepang meningkatkan kualitas masyarakatnya dengan menekan angka buta aksara. Jepang juga berusaha untuk menyediakan beragam judul buku dalam jumlah yang besar, baik dengan menerbitkan karya bangsa sendiri maupun menerbitkan karya bangsa lain dalam bentuk terjemahan.

Lalu bagaimana dengan Indonesia?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun