Mohon tunggu...
alfeus Jebabun
alfeus Jebabun Mohon Tunggu... Pengacara - Pengacara

Alfeus Jebabun, Advokat (Pengacara), memiliki keahlian dalam bidang Hukum Administrasi Negara. Alfeus bisa dihubungi melalui email alfeus.jebabun@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Panduan Pengisian Jabatan Kepala Daerah dalam Masa Transisi Sebelum Pilkada Serentak Tahun 2024

6 Mei 2022   15:50 Diperbarui: 6 Mei 2022   16:01 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebanyak 24 gubernur dan 248 bupati/wali kota bakal habis masa jabatannya jelang tahun 2024. Dari jumlah itu, 101 kepala daerah akan lengser dari kursi kepemimpinannya tahun 2022 ini, dan sisanya di 2023. Lantaran pemilihan kepala daerah (Pilkada) baru akan digelar serentak di 2024, kursi kepala daerah definitif bakal dibiarkan kosong dan sementara diisi oleh penjabat kepala daerah (Kompas.com, 18 April 2022). Pada 15 Mei mendatang, akan ada lima kepala daerah yang masa jabatannya berakhir (Kompas.id, 31 Maret 2022). Namun, hingga saat ini belum ada aturan teknis yang mengatur penetapan penjabat kepala daerah, terutama aturan tentang kriteria Penjabat gubernur maupun Penjabat Bupati/Walikota.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU No.10/2016) sebenarnya sudah tegas mengatur bahwa penjabat sementara (Pjs) gubernur diisi oleh pegawai aparatur sipil negara (ASN) yang sedang menjabat jabatan pimpinan tinggi madya. Sedangkan untuk Pjs Bupati/Walikota, diisi pegawai ASN yang sedang menjabat jabatan pimpinan tinggi pratama. Namun, belajar dari pengalaman sebelumnya, pengisian jabatan yang kosong kerap menimbulkan masalah dan penuh kontroversi. Salah satu isu yang sering diperdebatkan adalah apakah prajurit TNI dan anggota Polri yang masih aktif dapat diangkat menjadi Pjs kepala daerah?

Peraturan turunan UU No. 10/2016 terkait pengisian jabatan kepala daerah yang kosong sampai hari ini belum juga rampung. Bahkan, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) enggan menerbitkannya. Dalam hal tidak memiliki waktu menerbitkan aturan turunan, mengingat waktunya sangat sempit, Kemendagri harus berpedoman pada dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu putusan MK No. 67/PUU-XIX/2021 dan Putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022.

Dalam Putusan No. 67/PUU-XIX/2021, Pemohon mengajukan uji materi terhadap Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU No.10/2016. Menurut Pemohon, Pasal 201 ayat (7) dan ayat (8) UU No. 10/2016 tersebut bertentangan dengan UUD 1945 karena mengakibatkan para Pemohon tidak dapat menggunakan haknya untuk memilih dan dipilih secara tetap dan sesuai dengan siklus jadwal pemilihan 5 (lima) tahun sekali. Selain itu, dengan adanya pengunduran pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada), menyebabkan adanya jabatan kepala daerah yang kosong dan diisi oleh penjabat yang tidak memiliki legitimasi politik untuk memimpin suatu daerah. Pemohon juga beralsan, pasal yang diuji mengakibatkan pemohon mengalami kerugian karena masa jabatannya hanya 4 (emapat) tahun, bukan 5 (lima) tahun.

Terhadap permohonan Pemohon tersebut, MK dalam pertimbangan hukumnya memberi panduan kepada pemerintah terkait pengisian jabatan sementara kepala daerah sebagai berikut: Pertama, pemerintah perlu membentuk peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 UU 10/2016, sehingga tersedia mekanisme dan persyaratan yang terukur dan jelas bahwa pengisian penjabat tersebut tidak mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi dan sekaligus memberikan jaminan bagi masyarakat bahwa mekanisme pengisian penjabat berlangsung terbuka, transparan, dan akuntabel untuk menghasilkan pemimpin yang kompeten, berintegritas, sesuai dengan aspirasi daerah serta bekerja dengan tulus untuk rakyat dan kemajuan daerah.

Kedua, MK juga berpendapat bahwa mengingat peran sentral yang dimiliki oleh kepala daerah dan wakil kepala daerah serta dengan mempertimbangkan lamanya daerah dipimpin oleh penjabat kepala daerah maka perlu dipertimbangkan untuk memperkuat kewenangan Pjs kepala daerah. Kewenangan Pjs dipertimbangkan untuk sama dengan kewenangan kepala daerah definitif. Sebab, dengan kewenangan penuh yang dimiliki penjabat kepala daerah yang ditunjuk maka akselerasi perkembangan pembangunan daerah tetap dapat diwujudkan tanpa ada perbedaan antara daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah maupun yang definitif.

Pertimbangan MK dalam Putusan No. 67/PUU-XIX/2021 di atas ditegaskan Kembali dalam putusan Nomor 15/PUU-XX/2022. Selain itu, dalam Putusan No. 15/PUU-XX/2022, MK menjabarkan lebih rinci panduan bagi pemerintah dalam pengisian jabatan kepala daerah dalam masa transisi menuju pilkada serentah Tahun 2024.

Dalam Putusan No. 15/PUU-XX/2022, MK memutus uji materi terhadap Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU No.10/2016). Pasal 201 ayat (10): "Untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan." Pasal 201 ayat (11): "Untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."

Menurut Pemohon, Pasal di atas bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan pilkada yang demokratis, persamaan kedudukan dan kepastian hukum yang adil sebagaimana dijamin dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 18 ayat (4), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Pemohon berpendapat, kepala daerah seharusnya dipilih melalui pemilu untuk menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Pemohon juga beralasan, pembangunan daerah dilakukan berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) yang telah dirinci dalam visi misi kepala daerah terpilih dalam pemilu, sedangkan Pjs belum tentu memahami kebutuhan daerah. Alasan lain yang diajukan Pemohon yaitu pengangkatan ASN untuk menggantikan kepala daerah yang habis masa jabatannya tidak mencerminkan AUPB. Pemohon meminta agar pengisian jabatan kepala daerah yang kosong diisi oleh kepala daerah hasil pilkada sebelumnya yang telah habis masa jabatannya.

MK menolak permohonan pemohon. Menurut MK, pengisian penjabat kepala daerah dalam masa transisi menuju pilkada serentak nasional merupakan kebijakan pembentuk undang-undang. Namun demikian, dalam rangka pengisian jabatan yang kosong selama masa transisi, MK memberi panduan sebagai berikut: Pertama, Pejabat Pimpinan Tinggi Madya dan Pejabat Pimpinan Tinggi Pratama yang diatur dalam Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) UU No. 10/2016 merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU 5/2014), yakni merupakan bagian dari jabatan pimpinan tinggi yang termaktub dalam ketentuan Bab V UU 5/2014 yang mengatur mengenai jabatan ASN.

Pertimbangan MK tersebut mau menegaskan bahwa tidak semua Pegawai ASN dapat mengisi Pjs Kepala Daerah. Pegawai ASN yang dapat menjabat sebagai Pjs kepala daerah adalah pegawai ASN yang telah menduduki level jabatan pimpinan tinggi madya untuk Pjs Gubernur dan jabatan pimpinan tinggi pratama untuk Pjs Bupati/Walikota. Berdasarkan Pasal 20 ayat (1) UU 5/2014, jabatan pimpinan tinggi madya dan jabatan pimpinan tinggi pratama diisi oleh pegawai ASN.

Kedua, MK mempertimbangkan bahwa prajurit TNI aktif dan anggota kepolisian aktif, tidak dapat mengisi jabatan Pjs Gubernur maupun Pjs Bupati/Walikota. TNI dan polisi dapat ditunjuk menjadi Pjs kepala daerah apabila telah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan atau dari dinas kepolisian. MK menegaskan: "UU 5/2014 juga membuka peluang pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi yang dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif [vide Pasal 109 ayat (2) UU 5/2014]. Jabatan pimpinan tinggi dimaksud dapat pimpinan tinggi utama, pimpinan tinggi madya dan pimpinan tinggi pratama." (Putusan 15/PUU-XX/2022, hal. 51)

Prajurit aktif maupun anggota Polri aktif hanya dapat mengisi jabatan sipil pada Instansi Pusat. Berdasarkan Pasal 47 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung.

MK juga berpendapat, prajurit TNI dan anggota Polri yang sudah mengundurkan diri atau pensiun pun tidak ujug-ujug langsung ditunjuk menjadi Pjs Kepala Daerah. Dia harus sedang menjabat sebagai pimpinan tinggi madya atau pimpinan tinggi pratama saat ditunjuk. Hal ini sangat tegas dalam pertimbangan MK yang menyatakan: "Artinya, sepanjang seseorang sedang menjabat sebagai pimpinan tinggi madya atau pimpinan tinggi pratama, yang bersangkutan dapat diangkat sebagai penjabat kepala daerah." (Putusan 15/PUU-XX/2022, hal. 51).

Ketiga, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tidak boleh mengangkat penjabat yang tidak memiliki pemahaman utuh terhadap ideologi Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keempat, Penjabat yang akan diangkat harus memiliki pemahaman terhadap politik nasional yang baik. Kelima, Penjabat yang diangkat harus memiliki kompetensi manajerial pemerintahan yang baik, sehingga dalam melaksanakan tugasnya sebagai pimpinan daerah sementara dapat memenuhi harapan dan keinginan masyarakat.

Keenam, Pjs kepala daerah harus dapat bekerjasama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Ketujuh, pemerintah, dalam hal ini Kemendagri, terlebih dahulu harus membuat pemetaan kondisi riil masing-masing daerah dan kebutuhan penjabat kepala daerah yang memenuhi syarat sebagai penjabat kepala daerah dan memerhatikan kepentingan daerah dan dapat dievaluasi setiap waktu secara berkala oleh pejabat yang berwenang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun