Mohon tunggu...
alfaroz1
alfaroz1 Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Hukum yang menyukai Ilmu Agama

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Riview buku buku ajar hukum acara peradilan agama karya Amri, S.Hi, M.H

9 Oktober 2025   09:06 Diperbarui: 9 Oktober 2025   09:06 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Identitas Buku
Judul: Buku Ajar Hukum Acara Pengadilan Agama
Penulis: Amri, S.HI., M.H.
Penerbit: CV. Literasi Nusantara Abadi, Malang
Tahun Terbit: 2021
ISBN: 978-623-329-410-2
Jumlah Halaman: xiv + 120
 
BAB I -- Kekuasaan Peradilan Agama
Bab pertama membuka pemahaman tentang dinamika dan posisi peradilan agama di Indonesia. Penulis menekankan bahwa pengadilan agama bukan entitas yang statis, melainkan lembaga dinamis yang terus berinteraksi dengan nilai-nilai masyarakat dan hukum nasional. Melalui rujukan undang-undang, dijelaskan bagaimana posisi peradilan agama semakin kuat di era reformasi, terutama setelah berada di bawah Mahkamah Agung. Bab ini menguraikan perubahan struktural dan kewenangan lembaga tersebut dari masa ke masa dengan gaya bahasa akademik, tetapi tetap mudah diikuti oleh mahasiswa hukum.
Bab ini memberi gambaran jelas tentang perjalanan historis dan legalitas peradilan agama, mulai dari masa kolonial hingga pasca UU No. 3 Tahun 2006. Keunggulannya terletak pada kemampuan penulis menjelaskan hubungan antara hukum Islam dan sistem hukum nasional secara seimbang. Namun, kekurangannya adalah minimnya ilustrasi kasus konkret yang bisa membantu mahasiswa memahami implikasi praktis perubahan hukum tersebut. Dengan sedikit tambahan contoh nyata, bab ini akan lebih hidup dan aplikatif.
 
BAB II -- Pengertian dan Sumber Hukum Acara Peradilan Agama
Pada bab ini, penulis membedah konsep dasar tentang hukum acara perdata dalam dua konteks: peradilan umum dan peradilan agama. Ia menegaskan bahwa keduanya memiliki kesamaan prinsip tetapi berbeda dalam sumber dan penerapan. Penjelasan tentang pengertian hukum acara perdata menurut para ahli seperti Sudikno Mertokusumo dan Wirjono Prodjodikoro memberikan dasar teoritis yang kuat. Lalu, bab ini berlanjut pada penjelasan sumber hukum acara peradilan agama yang berasal dari undang-undang, peraturan pelaksana, hingga kitab fikih dan yurisprudensi.
Kekuatan bab ini terletak pada struktur penjelasannya yang sistematis dan lengkap---mulai dari dasar hukum hingga praktiknya di pengadilan. Penulis berhasil memperlihatkan bahwa hukum acara peradilan agama adalah hasil sintesis antara hukum positif Indonesia dan nilai-nilai syariat. Meski begitu, gaya penulisannya cenderung deskriptif tanpa banyak refleksi kritis, sehingga pembaca pemula mungkin akan sulit menangkap relevansi antar sumber hukum. Dengan tambahan contoh atau studi kasus, bab ini bisa menjadi lebih menarik dan aplikatif untuk pembelajaran.
 
BAB III -- Tempat Mengajukan Gugatan dan Permohonan
Bab ketiga berfokus pada aspek teknis dalam beracara di pengadilan agama, khususnya terkait tempat mengajukan gugatan dan permohonan. Penulis menjelaskan dengan rinci perbedaan antara perkara perkawinan dan non-perkawinan, serta aturan yang mengatur keduanya berdasarkan UU No. 7 Tahun 1989. Penjelasan mengenai asas "pengadilan tempat tinggal tergugat" dan pengecualiannya membantu mahasiswa memahami prosedur hukum yang konkret. Bab ini juga menekankan keterpaduan antara sistem hukum acara perdata umum dan ketentuan khusus dalam peradilan agama.
Bab ini unggul dalam penyajian detail teknis yang jelas dan terstruktur, sangat membantu bagi pembaca yang ingin memahami praktik administratif di pengadilan agama. Namun, kelemahannya adalah penyajiannya masih kaku dan minim narasi kontekstual yang bisa menghubungkan teori dengan dinamika sosial masyarakat Islam Indonesia. Jika ditambah dengan contoh kasus nyata, misalnya gugatan cerai antar daerah, bab ini akan terasa lebih realistis dan mendekati praktik hukum di lapangan.
BAB IV -- Gugatan dan Permohonan
Bab ini membahas konsep dasar yang sangat penting dalam praktik hukum acara: perbedaan antara gugatan dan permohonan. Penulis menguraikan bahwa gugatan diajukan ketika terdapat sengketa antara dua pihak (penggugat dan tergugat), sedangkan permohonan digunakan dalam perkara yang tidak mengandung sengketa, seperti penetapan isbat nikah atau waris. Penjelasan istilah dalam berbagai bahasa (Belanda dan Arab) memperkaya pemahaman pembaca terhadap konteks historisnya. Selain itu, penulis juga menjelaskan konsep kumulasi gugatan, formulasi isi surat gugatan, dan kelengkapan administrasinya secara detail sesuai ketentuan hukum acara.
Kelebihan bab ini terletak pada kelengkapannya. Pembaca, terutama mahasiswa, dapat memperoleh gambaran komprehensif tentang bagaimana sebuah gugatan harus disusun agar sah secara hukum, mulai dari identitas para pihak, posita, hingga petitum. Sayangnya, bahasa yang digunakan cenderung teknis dan padat dengan istilah hukum tanpa banyak contoh konkret, sehingga pembaca awam mungkin merasa kesulitan mengikuti alur penjelasan. Akan lebih menarik jika disertakan contoh nyata surat gugatan dan penjelasan naratif tentang kesalahan umum dalam praktik penyusunan gugatan.
 
BAB V -- Pemeriksaan di Muka Persidangan
Bab ini menguraikan tahapan pemeriksaan perkara setelah gugatan didaftarkan ke pengadilan agama. Penulis menjelaskan secara berurutan proses pendaftaran, penunjukan majelis hakim, penetapan hari sidang, hingga pemanggilan para pihak oleh juru sita. Penjelasan yang disusun mengikuti asas-asas hukum acara seperti "hakim bersifat menunggu" dan "beracara dikenakan biaya" menunjukkan ketelitian penulis dalam mematuhi prinsip hukum formal. Bab ini juga menyoroti bagaimana mekanisme administrasi dan teknis bekerja secara berjenjang di dalam sistem peradilan agama.
Kelebihan utama bab ini adalah penyusunan langkah-langkah yang runtut dan mudah dipahami, seolah pembaca sedang dibimbing langsung mengikuti alur beracara di pengadilan. Hal ini sangat bermanfaat bagi mahasiswa maupun calon praktisi hukum yang ingin memahami mekanisme dasar persidangan. Namun, kelemahannya adalah penjelasan masih bersifat normatif dan kurang menampilkan dinamika etis atau psikologis dalam proses persidangan---misalnya bagaimana hakim menjaga netralitas atau bagaimana strategi komunikasi dalam ruang sidang. Jika aspek tersebut ditambahkan, bab ini akan terasa lebih hidup dan reflektif.
 
BAB VI -- Eksepsi, Replik, dan Duplik
Bab ini menelusuri konsep tanggapan dalam proses beracara, yang mencakup eksepsi, replik, dan duplik. Penulis menjelaskan bahwa eksepsi adalah tangkisan dari tergugat atas gugatan yang diajukan penggugat, biasanya menyangkut keberatan formal seperti kompetensi pengadilan atau kelengkapan gugatan. Sementara replik adalah jawaban balik penggugat terhadap eksepsi, dan duplik merupakan tanggapan terakhir tergugat terhadap replik. Bab ini juga menjelaskan teknik penyusunan replik dan duplik agar sesuai dengan kaidah formal serta tidak menyimpang dari pokok perkara.
Kekuatan bab ini adalah kedalaman penjelasan yang sangat membantu pembaca memahami ritme argumentatif dalam sidang perdata. Penulis berhasil memperlihatkan bahwa proses hukum bukan sekadar formalitas, melainkan juga arena logika dan ketepatan argumentasi. Namun, kelemahannya terletak pada gaya bahasanya yang terlalu legalistik tanpa penjelasan kontekstual tentang bagaimana dokumen-dokumen tersebut digunakan dalam praktik nyata. Penambahan contoh dokumen atau simulasi debat antara penggugat dan tergugat akan sangat membantu pembaca memahami fungsi strategis replik dan duplik di pengadilan.
BAB VII -- Pembuktian
Bab ini membahas esensi terpenting dalam setiap perkara perdata, yaitu pembuktian. Penulis menjelaskan bahwa pembuktian adalah sarana untuk meyakinkan hakim terhadap kebenaran dalil yang diajukan oleh para pihak. Ia memaparkan asas pembuktian dan beban pembuktian dengan merujuk pada prinsip-prinsip hukum perdata umum, serta menjabarkan berbagai jenis alat bukti seperti saksi, surat, sumpah, dan pengakuan. Bab ini menegaskan bahwa hakim harus berhati-hati dalam menilai kekuatan alat bukti agar tidak menyalahi rasa keadilan dan norma syariat Islam.
Kelebihan bab ini ada pada kejelasan sistematikanya: pembaca dapat memahami bahwa pembuktian bukan sekadar formalitas, melainkan inti dari keadilan prosedural. Penulis juga mengaitkan antara hukum acara nasional dengan nilai-nilai hukum Islam secara harmonis. Namun, kelemahannya terletak pada penjelasan yang terlalu normatif dan minim studi kasus. Akan lebih kuat jika penulis menyertakan contoh situasi konkret, misalnya bagaimana hakim menilai bukti dalam kasus perceraian atau sengketa waris, agar mahasiswa dapat membayangkan proses pembuktian secara praktis.
 
BAB VIII -- Produk Peradilan Agama
Bab ini menguraikan tiga produk utama dari peradilan agama, yaitu putusan, penetapan, dan produk khusus. Penulis menjelaskan bahwa putusan dihasilkan dari perkara yang bersifat sengketa (contentiosa), sedangkan penetapan muncul dari perkara permohonan (voluntair). Bab ini juga menyinggung produk khusus seperti fatwa atau rekomendasi keagamaan tertentu yang masih berada dalam ruang lingkup peradilan agama. Penulis menekankan pentingnya struktur dan bentuk produk hukum, mulai dari identitas perkara, pertimbangan hukum, hingga amar putusan yang harus disusun dengan cermat.
Kelebihan bab ini terletak pada penyajiannya yang sistematis dan edukatif---sangat cocok untuk mahasiswa hukum yang baru belajar memahami format dokumen pengadilan. Penulis menjelaskan fungsi dan perbedaan tiap produk dengan bahasa yang lugas dan logis. Namun, kelemahannya adalah minimnya pembahasan tentang implikasi sosial atau dampak hukum dari putusan tersebut terhadap masyarakat. Jika penulis menambahkan refleksi tentang bagaimana sebuah putusan dapat memengaruhi perilaku hukum umat Islam, bab ini akan menjadi jauh lebih bermakna secara sosiologis.
 
BAB IX -- Upaya Hukum
Bab ini menjelaskan konsep upaya hukum sebagai hak pihak yang tidak puas terhadap putusan pengadilan untuk meminta peninjauan kembali. Penulis membagi upaya hukum menjadi dua jenis: upaya hukum biasa (banding, verzet, dan kasasi) serta upaya hukum luar biasa (peninjauan kembali). Ia juga menjelaskan syarat, waktu, dan tata cara pengajuan masing-masing upaya dengan merujuk pada Undang-Undang Peradilan Agama dan Mahkamah Agung. Bab ini memberikan pemahaman bahwa sistem hukum Indonesia menjamin hak setiap warga negara untuk memperoleh keadilan secara berlapis.
Kelebihan bab ini adalah penyusunan penjelasan yang runtut dan didukung dasar hukum yang jelas. Pembaca dapat memahami hierarki lembaga peradilan serta prosedur administratif yang harus ditempuh. Namun, kekurangannya terletak pada kurangnya refleksi kritis terhadap efektivitas upaya hukum dalam praktik. Misalnya, bagaimana kendala biaya dan waktu sering membuat masyarakat enggan mengajukan banding atau kasasi. Jika penulis menambahkan analisis tentang aspek aksesibilitas dan keadilan substantif, bab ini akan terasa lebih aktual dan kontekstual.
BAB X -- Penyitaan
Bab ini menjelaskan konsep penyitaan dalam hukum acara perdata di lingkungan peradilan agama. Penulis memaparkan pengertian, macam-macam sita (sita jaminan, sita eksekusi, dan sita marital), serta tata cara pelaksanaannya menurut hukum acara dan praktik di lapangan. Bab ini juga menguraikan peran penting juru sita dalam melaksanakan tugas penyitaan, mulai dari membuat berita acara, menjaga netralitas, hingga memastikan bahwa barang sitaan benar-benar berada di bawah pengawasan hukum.
Kelebihan bab ini terletak pada kejelasan struktur dan penjelasan prosedural yang detail. Penulis menampilkan penyitaan bukan sekadar tindakan administratif, tetapi juga instrumen penting untuk menjaga keadilan selama proses peradilan berlangsung. Namun, kekurangannya adalah kurangnya penggambaran situasi nyata, seperti potensi konflik antara pihak yang disita dan aparat pelaksana. Bab ini akan terasa lebih hidup jika penulis menambahkan refleksi etis tentang bagaimana menjaga keseimbangan antara kewenangan hukum dan hak kemanusiaan pihak yang disita.
 
BAB XI -- Eksekusi
Bab ini melanjutkan pembahasan sebelumnya dengan menjelaskan eksekusi sebagai tahap akhir penegakan hukum acara. Penulis membedakan beberapa jenis eksekusi---seperti eksekusi putusan, eksekusi riil, dan eksekusi pembayaran uang---dan menjelaskan tata caranya sesuai dengan ketentuan Mahkamah Agung. Penjelasan yang diberikan memperlihatkan bahwa eksekusi adalah bentuk konkret dari asas "putusan pengadilan harus memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)". Bab ini juga menyoroti bagaimana lembaga peradilan memastikan putusan dapat dijalankan secara adil dan efektif.
Kelebihan bab ini terletak pada kepraktisan penjelasannya; mahasiswa bisa memahami bagaimana teori hukum diwujudkan menjadi tindakan hukum nyata. Penulis berhasil menempatkan eksekusi sebagai elemen penting dari keadilan substantif. Namun, kekurangannya ialah pendekatannya yang sepenuhnya normatif dan administratif. Belum ada pembahasan tentang tantangan di lapangan, seperti resistensi pihak kalah atau keterbatasan lembaga peradilan dalam menegakkan putusan. Jika aspek tersebut diulas, bab ini akan jauh lebih relevan bagi pembaca yang ingin memahami dunia hukum secara realistis.
 
BAB XII -- Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi
Bab terakhir menutup buku dengan tema yang sangat aktual: mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di pengadilan agama. Penulis menjelaskan pengertian, sejarah perkembangan mediasi di Indonesia, dan penerapannya baik di dalam maupun di luar pengadilan. Ia menegaskan bahwa mediasi merupakan jalan damai yang diutamakan dalam hukum Islam dan telah diakomodasi secara formal dalam sistem peradilan. Peran mediator dibahas secara rinci, termasuk tugas, tanggung jawab, dan etika dalam menjalankan proses mediasi untuk mencapai mufakat antara pihak-pihak yang bersengketa.
Kelebihan bab ini adalah kemampuannya menghadirkan pendekatan humanis dalam buku yang dominan legalistik. Penulis menampilkan mediasi bukan sekadar prosedur, tetapi juga refleksi nilai-nilai Islam seperti perdamaian (ishlah) dan keadilan restoratif. Namun, kekurangannya adalah kurangnya pembahasan tentang efektivitas mediasi dalam praktik modern, terutama di tengah masyarakat yang masih memandang litigasi sebagai solusi utama. Penambahan data empiris atau contoh keberhasilan mediasi di pengadilan agama akan memperkaya bab ini secara substantif.

Kesimpulan Umum

Secara keseluruhan, Buku Ajar Hukum Acara Pengadilan Agama merupakan karya yang padat, sistematis, dan relevan bagi mahasiswa maupun praktisi hukum syariah. Kelebihannya terletak pada penyusunan materi yang runtut dari konsep dasar hingga praktik pengadilan, serta keberhasilan penulis mengaitkan hukum acara nasional dengan nilai-nilai Islam. Namun, dari sisi gaya, buku ini masih cenderung akademik dan normatif---kurang menghadirkan narasi kontekstual atau refleksi sosial dari penerapan hukum di lapangan.
Buku ini akan menjadi pegangan yang kuat jika dilengkapi dengan studi kasus, ilustrasi nyata, serta pembahasan kritis terhadap problematika aktual peradilan agama di Indonesia. Meski demikian, kontribusinya dalam memberikan panduan metodis bagi mahasiswa dan dosen di bidang hukum Islam tetap signifikan dan patut diapresiasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun