Mohon tunggu...
Alfariz Muhan Mandega
Alfariz Muhan Mandega Mohon Tunggu... Mahasiswa Angkatan 2022 UIN Malang

Saya adalah seorang mahasiswa Teknik Informatika di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang yang memiliki minat besar dalam dunia teknologi dan pengembangan perangkat lunak. Saat ini, saya aktif mengikuti perkembangan terbaru di bidang IT dan senang berbagi pengetahuan melalui tulisan. Di Kompasiana, saya berharap dapat berbagi wawasan dan pandangan mengenai teknologi, pendidikan, dan pengalaman pribadi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Organisasi Kecil vs Besar: Tantangan Unik dalam Tata Kelola Teknologi Informasi

29 April 2025   06:36 Diperbarui: 29 April 2025   06:36 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tata Kelola dalam Organisasi (Sumber: Freepik.com)

Organisasi Kecil vs Besar: Tantangan Unik dalam Tata Kelola Teknologi Informasi

Dalam era transformasi digital yang semakin pesat, tata kelola teknologi informasi (TI) menjadi faktor penentu keberhasilan organisasi, baik besar maupun kecil. Namun, sering kali pendekatan terhadap Corporate Governance of Information Technology (CGIT) disamaratakan tanpa mempertimbangkan perbedaan mendasar dalam sumber daya, struktur, dan kebutuhan organisasi. Artikel ilmiah berjudul "Exploring Differences between Smaller and Large Organizations' Corporate Governance of Information Technology" karya Yeo, dkk (2018) memberikan pencerahan penting mengenai isu ini. Melalui pendekatan studi empiris terhadap organisasi di Australia, mereka menemukan bahwa praktik dan tantangan CGIT berbeda signifikan antara organisasi kecil dan besar.

Organisasi besar, yang umumnya menghadapi tekanan regulasi eksternal, membangun struktur CGIT yang formal dan kompleks. Sebaliknya, organisasi kecil, karena keterbatasan sumber daya, lebih mengandalkan tata kelola yang informal dan fleksibel. Data dari Australian Bureau of Statistics (2022) menunjukkan bahwa 87% usaha kecil dan menengah (UKM) di Australia memiliki keterbatasan dalam anggaran TI, dibandingkan hanya 42% perusahaan besar. Ini memperkuat temuan Yeo, dkk. bahwa ukuran organisasi menjadi variabel krusial dalam membentuk pola CGIT.

Mengabaikan perbedaan ini dapat menyebabkan kegagalan implementasi tata kelola TI, membebani organisasi kecil dengan kerangka kerja yang tidak relevan, atau membuat organisasi besar kehilangan kelincahan mereka. Oleh karena itu, sangat penting bagi praktisi, konsultan TI, dan pembuat kebijakan untuk mengembangkan model tata kelola TI yang kontekstual---adaptif terhadap kapasitas dan tantangan spesifik berdasarkan ukuran organisasi. Pendekatan ini tidak hanya akan meningkatkan efektivitas TI, tetapi juga mendorong keberlanjutan inovasi digital di berbagai sektor industri.

***

Artikel "Exploring Differences between Smaller and Large Organizations' Corporate Governance of Information Technology" karya Yeo, dkk (2018) membedah perbedaan struktural dan operasional dalam penerapan tata kelola TI di organisasi kecil dan besar. Dengan menggunakan metodologi survei terhadap lebih dari 300 organisasi di Australia, penelitian ini menemukan bahwa ukuran organisasi secara langsung memengaruhi kompleksitas, formalitas, dan strategi pengelolaan TI.

Pertama, dari sisi struktur CGIT, organisasi besar cenderung memiliki dewan TI (IT steering committee), kebijakan formal, dan prosedur audit internal untuk mengawasi penggunaan TI. Menurut data dari ISACA (2022), 78% perusahaan besar di dunia telah memiliki dewan pengarah TI yang aktif. Ini sejalan dengan temuan Yeo, dkk., bahwa tekanan dari regulator, stakeholder, dan kebutuhan koordinasi antar departemen menuntut organisasi besar membangun CGIT yang sistematis dan terdokumentasi. Sebaliknya, organisasi kecil lebih mengandalkan keputusan ad-hoc yang dibuat oleh manajer atau pemilik bisnis, dengan dokumentasi yang minimal. Ini dikarenakan keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran TI yang membuat struktur formal sulit diterapkan.

Kedua, dalam aspek proses pengambilan keputusan, perusahaan besar lebih menekankan kontrol risiko dan pemenuhan regulasi. Gartner (2023) melaporkan bahwa 65% perusahaan besar menghabiskan lebih dari 15% anggaran TI mereka untuk keperluan kepatuhan dan mitigasi risiko. Sementara itu, organisasi kecil lebih fokus pada pengambilan keputusan berbasis kebutuhan operasional jangka pendek dan pertimbangan biaya. Dengan kata lain, organisasi kecil lebih responsif, tetapi sering kali mengabaikan aspek manajemen risiko strategis.

Ketiga, dalam hal inovasi dan adopsi teknologi baru, organisasi besar biasanya lambat dan birokratis karena proses persetujuan multi-level dalam CGIT mereka. Namun, ini juga memberi mereka perlindungan lebih baik terhadap risiko adopsi teknologi yang prematur. Sebaliknya, organisasi kecil, meski lebih cepat berinovasi, rentan terhadap kegagalan proyek TI karena kurangnya analisis risiko yang memadai. Menurut studi dari McKinsey (2021), 48% UKM yang mengadopsi teknologi baru tanpa tata kelola yang tepat mengalami kegagalan proyek dalam tiga tahun pertama.

Oleh karena itu, penelitian ini menekankan bahwa model satu-ukuran-untuk-semua tidak lagi relevan dalam CGIT. Baik organisasi kecil maupun besar membutuhkan pendekatan tata kelola TI yang disesuaikan---fleksibel bagi yang kecil dan formal-strategis bagi yang besar---demi mengoptimalkan kinerja TI sekaligus meminimalisir risiko bisnis.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun