Mohon tunggu...
Achmad faizal
Achmad faizal Mohon Tunggu... -

Sosiologi Universitas Hasanuddin. Dapat berkorespondensi melalui achmadfaizalxxx@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rayuan Pulau Perbatasan (Sebuah Analisa Sosiologis atas Kehidupan Masyarakat Miangas)

2 September 2017   18:20 Diperbarui: 3 September 2017   07:42 1305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potret Miangas dari atas puncak menara (Dokumentasi pribadi)

"Percayalah, Miangas itu biasa saja, yang indah adalah tafsirannya".

Kira - kira begitulah kalimat pembuka tulisan ini untuk mempertanyakan kembali berbagai asumsi ihwal kehidupan masyarakat Miangas yang acapkali dibumbui nuansa berlebihan akan potret kehidupan di daerah perbatasan. Terbentang jauh dari hiruk pikuk perkotaan, keotentikan budaya yang masih terpelihara, jiwa nasionalisme masyarakatnya yang (dikhawatirkan) rendah, kesejahteraan sosial - ekonomi yang belum merata serta letak geografis yang berada paling ujung utara Indonesia (sekaligus berbatasan langsung dengan Philipina). Secara umum, deretan indikator tersebut sungguh mudah dijumpai di desa- desa Indonesia terkecuali perkara perbatasan teritorial dengan negara tetangga yang menjadikannya sering dimanja.

Bahkan untuk masuk kategori daerah tertinggal pun Miangas kini tidak terjaring lagi. Jika merujuk pada Peraturan Presiden (perpres) Nomor 131/2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015-2019, maka tak satupun kabupaten atau daerah dari Provinsi Sulawesi Utara yang terjaring sebagai daerah tertinggal. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat Miangas jika ditinjau dari berbagai indikator daerah tertinggal seperti aspek perekonomian, sumber daya manusia, sarana-prasarana, serta kemampuan keuangan daerah kini tak layak lagi disebut sebagai daerah tertinggal. Coba bandingkan dengan Sulawesi Selatan yang dinobatkan sebagai salah satu provinsi dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi dengan mencapai 7 % (skala nasional) namun masih memiliki satu daerah kabupaten tertinggal yakni Jeneponto.

Adapun secara konseptual, tipologi masyarakat Miangas dapat digolongkan sebagai masyarakat pedesaan (gemeinschaft). Umumnya, masyarakat pedesaan selalu dicirikan oleh tingkat kohesi sosial yang masih tinggi, struktur sosial yang cenderung homogen (agama, pekerjaan, suku) serta penggunaan teknologi informasi yang belum mutakhir. Namun untuk konteks masyarakat Miangas kini, beberapa indikator tersebut telah kabur seiring proses modernisasi dan globalisasi. Terlebih sejak era kepemimpinan Jokowi - JK yang membawa visi (politik) pembangunan yaitu "membangun Indonesia dari pinggiran" sebagaimana yang tertuang dalam nawacita ketiga. Maka tegas implikasi terhadap proses percepatan pembangunan di daerah - daerah 3 T (tertinggal, terluar dan terpencil) dinilai cukup signifikan tak terkecuali pembangunan di pulau Miangas (kini disebut kecamatan khusus Miangas).

Proses perubahan pada pulau Miangas lebih menyasar kepada aspek fisik atau infrastruktur semata. Misalnya, pembangunan Bandar Udara yang menelan anggaran 215 Milyar rupiah dan hampir "menelanjangi" sepertiga lahan kebun milik warga, penyediaan WIFI Nusantara (gratis) oleh KOMINFO, hadirnya Bank (BRI), stasiun RRI dan POS Indonesia. Bahkan dalam beberapa waktu lalu saat kunjungan Bupati Talaud ke Miangas, ia melontarkan beberapa janji (politik) kepada warga Miangas seperti akan menyediakan shuttle bus yang diperuntukkan bagi tamu yang hendak mengelilingi pulau Miangas, kapal pengangkut Es, serta berniat menyulap Tanjung Wora sebagai kawasan agrowisata.

Mengaminkan dalih-dalih materialisme sebagai aspek filosofis pembangunan, maka kerangka filosofis yang melandasi pembangunan tersebut kiranya sudah tepat. Membangun hal-hal materil terlebih dahulu lalu menengok hal-hal immaterial kemudian. Menyejahterakan masyarakat Miangas secara materi terlebih dahulu agar mudah merekonstruksi kesadaran, gagasan bahkan tindakan mereka nantinya. Sehingga potensi hadirnya letupan - letupan kritis dari lidah masyarakat lebih mudah dikontrol sebab kebutuhan materi sedikit banyak telah tersalurkan. Kira - kira begitulah alur berfikir para elit kepentingan dalam mengurus Negara ini.

Habitus Masyarakat Miangas

Dalam observasi penulis, terdapat beberapa kebiasaan masyarakat Miangas (pada titik tertentu telah dapat disebut tradisi) yang hingga kini masih terawat. Mulai dari olahraga, pesta hingga ibadah yang secara implisit juga telah menjadi memori kolektif bagi masyarakat Miangas. Kebiasaan - kebiasaan tersebutlah (Bourdieu mengistilahkan Habitus) yang sejatinya menjadi tali simpul persatuan antara individu yang satu dengan yang lainnya. Sebagaimana rupa struktur sosial masyarakat desa dan juga masyarakat kota pada umumnya, Miangas dibagi kedalam beberapa rukun tetangga/ wilayah. Untuk konteks masyarakat Miangas, mereka diklasifikasikan berdasarkan kolom pelayanan gereja (classified by religion). Selain itu, juga terdapat kluster/kelompok masyarakat dalam rupa lain yang dibagi berdasarkan kolom kerja (classified by occupation).

Diantara berbagai kebiasaan kolektif masyarakat Miangas, aktivitas ibadah minggu (istilah penulis) ternyata cukup menarik untuk ditelusuri. Masyarakat Miangas yang mayoritas beragama Nasrani (99%) ternyata disimpul oleh sebuah kontrak sosial dan menurut hemat penulis, daya paksanya masih cukup kuat. Kontrak sosial tersebut kira -- kira berbunyi "seluruh aktivitas duniawi wajib ditinggalkan selama ibadah gereja di hari minggu tengah berlangsung". Yang dimaksud aktivitas duniawi seperti melaut, berkebun, olahraga, pesta atau semacamnya. Bahkan kontrak sosial tersebut berlaku bagi siapa saja, termasuk tamu pejabat sekalipun.

Kemudian, jika ditilik dari tingkat antusiasme warga, tak berlebihan jika aktivitas olahraga dan seni (terlebih dalam format pertandingan) menempati urutan berikutnya yang mampu mengikis kemalasan masyarakat Miangas. Dibandingkan dengan kegiatan penyuluhan, bahkan audiensi dengan pejabat sekalipun, nampaknya aktivitas olahraga masih diatas angin dalam menarik perhatian warga.

Sementara itu, masyarakat Miangas yang notabenenya berprofesi sebagai nelayan juga memiliki tradisi menangkap ikan yang khas yang disebut Mannami.Secara sederhana Mannami serupa menangkap ikan secara massal dengan menggunakan alat tangkap yang masih tradisional berupa daun pohon kelapa yang dirajut hingga mencapai panjang tertentu. Daun pohon kelapa yang telah dirajut kemudian dibentangkan secara melingkar di sepanjang pinggiran pantai. Selain itu, hal lain yang menjadikannya menarik karena hasil tangkapan Mannami selalu dapat dipastikan berlimpah.

Berdasarkan hasil penelusuran penulis,  Mannami yang hanya dilakukan sekali setahun yakni pada bulan Mei, ternyata memiliki beberapa aturan diantaranya jeda waktu antara bulan Desember hingga April, masyarakat dilarang menangkap ikan di area pantai yang dijadikan lokasi Mannami (warga setempat menyebutnya pantai Wolo), sehingga tatkala tiba saatnya Mannami diselenggarakan, maka keberlimpahan ikan dan kawan-kawannya sudah barang tentu dapat dipastikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun