Aku perempuan. Tidak mungkin meminta atau mengemis pada lelaki untuk menyentuh anaknya dari perut ini. Yang kulakukan hanyalah bertanya-tanya sendiri di atas ranjang tempat anak ini diciptakan, yang kulakukan hanya memikirkan perubahan sikap suamiku, yang bisa kulakukan hanya memandang wajahnya yang segaris pun tak terlihat kasih sayang untuk buah kasih kami.
"Kamu kenapa mas? Sebelum aku hamil, kamu selalu memujiku saat kita ingin menikmati mimpi di ranjang yang hangat. Lalu, saat pertama aku hamil pun, kamu masih sempat mengecup perutku. Tapi, sudah dua bulan setelah perutku mulai membesar, kamu selalu pulang tanpa kudengar i love you. Kamu juga selalu terlelap sebelum mengecup kening, bibir dan jari-jemariku. Apa kamu mengurangi sayang untukku dan telah memiliki pujaan perasaan yang lebih ayu?" batinku sembari memandang wajah dan mendengar dengkur suamiku.
Khawatirku menjadi kenyataan pada senja yang cukup indah. Cukup lama, aku menanti kepulangan suami di halaman rumah kami. Mega pun paham bagaimana perasaanku bergejolak lantaran peristiwa di restoran siang itu.
Kukira, setelah pulang maka dia akan mengatakan maaf lalu memujiku menggunakan kata-kata puitis atau membelikan sesuatu yang kusuka. Namun, yang dia beri adalah amarah yang membabi buta seakan-akan aku adalah dalang dari kerusuhan rumah tangga.
Tanpa mengucapkan salam dan belum sempat meletakkan sepatu, suamiku bergegas menuju halaman belakang. Dia tidak perduli pada tangis yang membasahi pipi ini.
"Kamu tahu kenapa aku baik sama dia? Dia itu yang membuat laporan penjualanku menjadi bagus. Karena kebaikannya maka kita menerima bonus. Biaya persalinan tidak murah. Kamu tahu itu! Aku tidak mau jika harus meminta bantuan kepada ayah dan ibu! Jadi, kamu jangan selalu memupuk curiga!"
Tak kujawab kata-katanya yang sangat merendahkan. Aku bergegas menuju kamar untuk melampiaskan perasaan. Di kasur tempat anak-anak kami tercipta, aku menangis. Bantal basah karena air mataku.
Suamiku tahu, aku menangis karena mendengar ungkapan yang tidak sama sekali kusuka. Dia melihatku yang sedang memeluk guling dan meneteskan air mata setelah mendengar perkataannya. Tapi, tidak ada respon apapun dari orang yang paling kusayang. Dia bergegas tidur tanpa menyentuhku yang sedang berkeluh kesah. Apatah lagi membujukku agar keluar dari zona sedih.
Aku mengira, saat aku melahirkan maka sifat buruknya yang secara tiba-tiba akan menghilang. Dia akan mendampingiku melahirkan, memberiku semangat dan mengatakan hal-hal yang paling kusuka. Namun, hingga aku pingsan lalu tersadar, tidak ada wajahnya di kamar ini. Bahkan, anak kami mesti mendengar adzan dari sang kakek.
Kemanakah orang yang kusayang? Aku tidak tahu. Yang kutahu, anak-anak begitu lucu dan imut sehingga yang malang ini tersadar. Tidak boleh kalah oleh perasaan dan keadaan. Walau, kasih sayang tak memihak kepadaku dan anak-anak. Aku mesti merebut kembali hangat yang pernah ada di rumah ini.
Sayang sungguh disayangkan. Penderitaanku belum selesai. Padahal, aku sudah berjuang melahirkan bayi kembar hasil sentuhan kami.