Mohon tunggu...
Alfa Riezie
Alfa Riezie Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengarang yang suka ihi uhu

Muhammad Alfariezie, nama yang memiliki arti sebagai Kesatria Paling Mulia. Semua itu sudah ada yang mengatur. Siapakah dan di manakah sesuatu itu? Di dalam perasaan dan pikiran.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Bukan Janda Berlimpah Harta

23 Januari 2021   03:05 Diperbarui: 23 Januari 2021   03:31 283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image By Muhammad Alfariezie

Aku Bukan Janda Berlimpah Harta

Andai, Mas Tomas tidak menikah lagi dengan perempuan yang telah gagal berumah tangga, pasti aku fokus mengurus anak-anak kami. Tapi, takdir berkata lain. Justru, dia menuduhku yang pertama selingkuh. Katanya, dia tak betah hidup denganku lantaran rumah kami selalu didatangi orang Bank. Dia mengatai-ngataiku. Sempat pula berkata, aku perempuan tak tahu diri karena selalu berhutang.

Padahal, aku berhutang karena anak-anak kami. Selain itu, untuk membayar kredit rumah dan mobil yang dibeli mantan suamiku itu.
Sungguh, aku tidak pernah berselingkuh. Memang, aku adalah type perempuan yang dekat dengan beberapa kawan lelaki. Tapi, suamiku mengetahui sejak kami masih pacaran. Lagi pula, aku dan teman lelaki tidak pernah berbicara empat mata. Melainkan, hanya berbincang jika ada tetangga. Aku takut fitnah. Walau pun telah difitnah hingga kami bercerai.

Aku tidak lagi menerima sebagian gaji dari mantan suamiku yang bekerja sebagai aparat negara. Semua uangnya sudah diberikan untuk istri baru yang lebih sexy dan muda.

Aku harus merelakan anak kami yang masih berumur satu tahun diasuh oleh neneknya. Mulai pagi hingga sore, bahkan pernah juga selepas isya. Aku harus mencari penumpang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan ke empat buah perasaan yang dulu bersemi di antara kami.

"Kasian ya. Anak-anak Bu Darma masih kecil. Tapi, mesti kehilangan kasih sayang dari kedua orang tua."

Pernah sekali waktu aku mendengar ibu-ibu mengatakan hal itu. Tapi, mereka tak salah. Yang mereka katakan benar. Tapi, aku tidak mungkin berdiam diri melihat anak-anak kelaparan atau tidak bisa bersekolah sebagaimana kawan-kawannya atau anak tetangga.
Ibu dan bapak pernah menyuruhku untuk menikah lagi. Tapi, siapa yang mau dengan ibu empat anak? Selain itu, aku bukanlah janda yang memiliki harta berlimpah dan tubuh yang masih ideal. Kulit pun sudah tak kencang. Bahkan, karena sering berkeliling mencari penumpang, kulitku kusam dan agak gelap.

"Bu, tadi guru mengharuskan saya membeli buku cetak. Katanya, buku itu menjadi bahan acuan utama selama satu tahun."
Aku ibu yang melahirkannya. Tak mungkin acuh mendengar aduan dari anak keduaku. Setelah dia masuk ke kamar, aku mulai rebah dan memeluk si bungsu. Terbayang olehku bagaimana mencari uang untuk membeli buku yang diperlukannya.

Aku tak mau anakku menjadi bahan tertawaan kawan-kawannya. Bisa-bisa, dia akan menjadi anak yang selalu minder sehingga tak memiliki semangat untuk meraih masa depan gilang gemilang.

"Tuhan, lemah nian hambamu. Bekerja dari pagi hingga malam. Tapi, belum bisa membahagiakan keluarga. Andai bisa menangis di depan anak-anak. Sungguh, mampukah aku bertahan lebih lama?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun