Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Aku Bukan Janda Berlimpah Harta

23 Januari 2021   03:05 Diperbarui: 23 Januari 2021   03:31 283 4
Aku Bukan Janda Berlimpah Harta

Andai, Mas Tomas tidak menikah lagi dengan perempuan yang telah gagal berumah tangga, pasti aku fokus mengurus anak-anak kami. Tapi, takdir berkata lain. Justru, dia menuduhku yang pertama selingkuh. Katanya, dia tak betah hidup denganku lantaran rumah kami selalu didatangi orang Bank. Dia mengatai-ngataiku. Sempat pula berkata, aku perempuan tak tahu diri karena selalu berhutang.

Padahal, aku berhutang karena anak-anak kami. Selain itu, untuk membayar kredit rumah dan mobil yang dibeli mantan suamiku itu.
Sungguh, aku tidak pernah berselingkuh. Memang, aku adalah type perempuan yang dekat dengan beberapa kawan lelaki. Tapi, suamiku mengetahui sejak kami masih pacaran. Lagi pula, aku dan teman lelaki tidak pernah berbicara empat mata. Melainkan, hanya berbincang jika ada tetangga. Aku takut fitnah. Walau pun telah difitnah hingga kami bercerai.

Aku tidak lagi menerima sebagian gaji dari mantan suamiku yang bekerja sebagai aparat negara. Semua uangnya sudah diberikan untuk istri baru yang lebih sexy dan muda.

Aku harus merelakan anak kami yang masih berumur satu tahun diasuh oleh neneknya. Mulai pagi hingga sore, bahkan pernah juga selepas isya. Aku harus mencari penumpang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan ke empat buah perasaan yang dulu bersemi di antara kami.

"Kasian ya. Anak-anak Bu Darma masih kecil. Tapi, mesti kehilangan kasih sayang dari kedua orang tua."

Pernah sekali waktu aku mendengar ibu-ibu mengatakan hal itu. Tapi, mereka tak salah. Yang mereka katakan benar. Tapi, aku tidak mungkin berdiam diri melihat anak-anak kelaparan atau tidak bisa bersekolah sebagaimana kawan-kawannya atau anak tetangga.
Ibu dan bapak pernah menyuruhku untuk menikah lagi. Tapi, siapa yang mau dengan ibu empat anak? Selain itu, aku bukanlah janda yang memiliki harta berlimpah dan tubuh yang masih ideal. Kulit pun sudah tak kencang. Bahkan, karena sering berkeliling mencari penumpang, kulitku kusam dan agak gelap.

"Bu, tadi guru mengharuskan saya membeli buku cetak. Katanya, buku itu menjadi bahan acuan utama selama satu tahun."
Aku ibu yang melahirkannya. Tak mungkin acuh mendengar aduan dari anak keduaku. Setelah dia masuk ke kamar, aku mulai rebah dan memeluk si bungsu. Terbayang olehku bagaimana mencari uang untuk membeli buku yang diperlukannya.

Aku tak mau anakku menjadi bahan tertawaan kawan-kawannya. Bisa-bisa, dia akan menjadi anak yang selalu minder sehingga tak memiliki semangat untuk meraih masa depan gilang gemilang.

"Tuhan, lemah nian hambamu. Bekerja dari pagi hingga malam. Tapi, belum bisa membahagiakan keluarga. Andai bisa menangis di depan anak-anak. Sungguh, mampukah aku bertahan lebih lama?"

Aku mendengar kabar angin. Tetanggaku pernah bilang bahwa mas Tomas membeli rumah baru, mobil baru dan motor baru.

Tak mungkin jika aku mengemis padanya untuk membeli kebutuhan anak-anak. Meski, kutahu anak-anak masih menjadi tanggung jawabnya. Tapi, aku perempuan. Pernah melahirkan empat bayi. Selain itu, perut ini pernah mengandung bayi selama 36 bulan.

"Tuhan. Tidak ada yang lebih kuasa di dunia ini. Engkau pasti melihat dan mendengar. Rumah ini tak mungkin kujual. Satu-satunya harta yang kumiliki adalah tempat ini."

Aku tak bisa seperti ini terus. Mencari nafkah sebagai driver belum cukup memenuhi kebutuhan anak-anak. Aku pun mesti meninggalkan mereka. Kasihan anak-anakku. Sudah kehilangan ayah. Apa mesti kehilangan kasih sayang bunda?

Matahari terbit dari ufuk timur. Cahayanya menutrisi daun kelapa yang tak jauh berada di lapangan, tepat di depan rumahku. Ketika sedang memanaskan mesin kendaraan, tiba-tiba saja aku terkenang bagaimana dulu ibu mengajariku membuat nasi uduk. Tak butuh waktu lama untukku memahami dan mengingat resep makanan yang lezat itu.

"Apakah ini isyarat untukku memulai hidup yang baru bersama anak-anak di rumah ini? Lagi pula, setiap hari aku menabung. Tapi, tabungan itu untuk pendidikan anak-anak. Namun, jika tak segera dicoba maka hasil yang lebih baik atau buruk pun tak pernah kudapat."

Aku menggagalkan niatku untuk mencari penampung pada pagi yang berseri ini. Sudah lama aku tidak ke pasar untuk membeli keperluan dapur. Kuajak serta anak bungsuku. Hari ini, dia tidak kutitipkan kepada nenaknya. Tapi, kutuntun untuk memasuki pasar tradisional guna membeli bumbu untuk membuat nasi uduk.

Di perjalanan pulang, aku membayangkan berkreasi di dapur bersama anak bungsuku. Hal yang tidak pernah kulakukan sejak setahun menjadi janda.

Sambil menyerut kelapa dan memotong bumbu, aku melihat anakku yang asyik memainkan boneka. Bahagia sekali pagi ini. Aku seperti menemkukan kehidupan yang baru. Kehidupan yang cukup lama kutinggalkan karena sibuk mencari uang di jalanan.

Semua bumbu sudah tersedia. Nasi pun telah aku kukus. Sambal? Sudah kugiling juga.

Siang datang. Sambil mengangkat pakaian yang telah kering di jemuran, betapa panas hari ini. Tak terbayang jika aku harus mencari penumpang. Tapi, belum sempat aku banyak berpikir, si bungsu muncul di depan pintu. Aku melihat dia menguap, tanda ingin tidur. Kubaya pakaian kemudian mengajaknya untuk masuk. Lalu, pintu kututup.

Aku memeluknya yang telah terlelap dan barangkali sedang memimpikan sang ayah yang memuluknya atau membelikannya mainan baru. Kuelus-elus rambut dan keningnya. Setahun sudah aku menelantarkannya. Jarang sekali memeluk dan menidurinya kala panas siang menyerang.

Rasa lelah tak bisa kututupi. Aku ingin segera menyusul anakku bermimpi. Namun, ketiba baru ingin terlelap, ada yang mengetuk pintu. Segera aku menuju ruang tamu. Mungkin, neneknya rindu terhadap sang cucu.

Betapa aku kaget ketika melihat mantan suamiku berdiri di depan pintu. Dia datang untuk mengajak anaknya jalan-jalan, kecual si bungsu. Dia masih memfitnah kalau si bungsu bukan lahir karena darahnya. Tapi , aku tidak menangis. Aku justru mengusirnya. Lagi pula, ketiga anak kami sedang sekolah. Kusuruh saja dia menghampiri mereka di sekolahnya. Biar dia tahu kalau anak-anaknya tak seperti dulu. Setelah kami bercerai, ketika anak kami mesti menempuh jarak berkilo-kilo meter tiap berangkat dan pulang sekolah.

Sebelum pergi, dia mengungkap kekesalan karena menerima usiran. Katanya, aku akan tersiksa dan susah seumur hidup karena telah mengusirnya dan menjauhkannya dari anak-anak.
Sungguh, sekali pun aku tak pernah memisahkannya dari anak-anak. Dialah yang menjauhkan diri dari anak-anak demi perempuannya. Selama setahun, dia hanya sekali mengirim biaya pendidikan untuk anak-anak. Itu pun anak-anak yang meminta duluan karena waktu itu baya pendidikan mereka kugunakan untuk mendandani mesin motor.

Mengingat perkataannya, sungguh aku tak bisa menahan tangis. Aku menangis sembari memerhatikan masakanku. Orang yang dulu kusayang, orang yang pernah menyentuh tubuhku seraya mengucapkan kata-kata cinta, justru orang yang paling menyakiti perasaan ini.

"Tuhan, inikah cobaan untuk orang-orang yang Kau sayang? Jika iya, berikanlah hambamu yang lemah ini hasil yang menyenangkan setelah mampu melewati cobaan-cobaan."

Sembari mengaduk-aduk nasi yang telah siap, aku mengusap air mataku. Tak mau aku terlalu membayangkan kebahagiaan Tomas bersama istri barunya. Aku tak mau mati muda atau stres. Anak-anakku masih membutuhkanku.

Anakku yang baru pulang sekolah pun bergegas membantu ibunya yang menyiapkan meja untuk meletakkan nasi uduk dan kursi agar orang-orang bisa menikmati makan ini di bawah pohon yang rindang tepat di lapangan depan rumahku.

Petang berganti senja. Anak pertamaku pulang sekolah. Dia bergegas mandi dan mengganti pakaian. Lalu, membantuku yang sedang menggoreng tempe, bakwan dan tahu sembari melayani tiga pembeli pertama kami.

"Wah, ibu tidak bekerja? Sekarang ibu memulai usaha? Asyik, aku bisa selalu bersama ibu sepanjang."

Aku tersenyum karena merasakan antusias anak-anak yang senang melihat ibunya tak perlu lagi panas-panasan mencari nafkah. Selama bercerai, aku memang tidak punya waktu untuk mereka. Kini, kami bisa bersama-sama melayani pembeli.

Berjalan satu bulan, usahaku membuahkan hasil yang lumayan. Dari menjual nasi uduk, aku bisa membelikan buku pelajaran sekolah, listrik dan tak lagi menunggak SPP anak-anak. Bahkan, untuk membeli susu si bungsu, aku tidak perlu pinjam kepada ibu. Tapi, entah cobaan apalagi. Suamiku datang ingin merebut anak-anak dariku.

Dia datang bersama pengacara dan membawa surat agar aku datang ke pengadilan guna bertarung melawannya di meja persidangan untuk merebutkan anak-anak. Dia menuduhku telah memaksa anak-anak untuk bekerja. Padahal, sungguh aku tidak pernah seperti itu. Kalau pun, anak-anak membantuku, karena mereka memang senang bisa kembali bersamaku sepanjang hari dan mereka tak tega melihat sang ibu yang melayani pembeli sendirian.

Aku kalah pada persidangan. Hakim dan jaksa mengabulkan permohonannya. Aku pulang. Wajahku pucat. Aku hampir jatuh. Tapi, ketika mencoba berdiri sembari memegang kepala, aku teringat wajah si bungsu berambut ikal yang sama dengan sang ibu.

"Tuhan. Cobaan ini begitu berat. Tapi, Engkau selalu memberi isyarat bahwa aku tidak boleh kalah atau menyerah pada keadaan."
Aku kembali ke rumah tanpa pernah melihat wajah ketiga anakku. Mereka sengaja tidak dihadirkan dalam persidangan karena tahu pasti akan mengatakan hal-hal yang jujur.

"Kasihan ya Darma. Baru saja memulai hidup baru dan cukup sukses. Eh, tapi datang mantan suaminya dan merebut ketiga anaknya. Sekarang dia terlihat kurang bersemangat melayani pembeli."

Kudengar bisik-bisik para tetangga yang membicarakan kesedihanku. Mereka benar. hidupku memang pantas dikasihani. Aku tak bisa marah. Yang kubisa hanya berdoa agar anak-anak kembali padaku. Selain itu, yang aku bisa hanya berusaha agar hidup lebih baik dari hari kemarin sehingga si bungsu bisa hidup layaknya anak tetangga yang tak perlu susah ketika ingin minum susu atau saat ingin membeli baju dan mainan. Tapi, betapa aku terkejut ketika menjelang tidur, pintu rumahku ada yang mengetuk.
Polisi dan ketiga anakku berada di depanku. Polisi mengembalikan mereka kepadaku karena suamiku tertangkap sedang pesta sabu dengan istrinya. Anak-anak langsung memelukku.

"Aku kangen ibu. Aku mau selalu bersama ibu. Jangan tinggalkan kami lagi, bu."

Siapa yang tidak menangis berada di situasi sepertiku. Meski di depan polisi. Tapi, air mataku tetap membasahi lantai.

Sebelum pergi, satu polisi tampan memberi tisu kepadaku. Dia mengatakan, kalau boleh dan kapan-kapan aku ke mari lagi.
Sungguh aku tak mengerti maksudnya. Kupikir ada informasi yang ia butuhkan. Namun, dia ingin menjadi bapak dari anak-anakku. Dia sudah tiga tahun menduda. Istrinya meninggal lantaran sakit.

"Inikah buah yang manis dan segar lantaran matang dari pohon yang selalu dirawat pemiliknya?" Ujarku sembari memandang pohon-pohon di tempatku berjualan. Lalu, kupandang ke langit biru tempat awan-awan menggambar keindahan.

2021
(Bunda Darma)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun