Sementara itu, bagi guru, penerapan kerangka penalaran analogis mengubah peran dari “penyampai konsep” menjadi “arsitek pengalaman belajar.” Guru ditantang untuk merancang situasi yang mendorong siswa menalar, bukan sekadar mengulang. Banyak guru yang kemudian menyadari bahwa tugas terpenting mereka bukan membuat siswa bisa menjawab, tetapi membuat siswa mau berpikir.
Satu hal menarik yang sering muncul dari refleksi guru adalah betapa menakjubkannya melihat siswa “menemukan sendiri” sesuatu yang dulu mereka anggap sulit. Misalnya, saat siswa menyadari bahwa konsep tekanan, gaya, dan luas sebenarnya memiliki pola hubungan yang sama di berbagai fenomena — dari balon, rem hidrolik, hingga paku — mereka merasakan kepuasan intelektual. Di momen inilah pembelajaran menjadi otentik: siswa tidak hanya mengingat, tetapi memahami.
Transformasi ini tidak terjadi dalam semalam. Ia tumbuh melalui kebiasaan bertanya, membimbing, dan memberi ruang bagi eksplorasi. Namun begitu guru dan siswa terbiasa berpikir secara analogis, ruang kelas akan terasa berbeda — lebih hidup, lebih reflektif, dan lebih bermakna.
Saatnya Pendidikan Berpikir Analogi, Bukan Menghafal Rumus
Kita hidup di zaman ketika informasi berlimpah, tetapi kemampuan memahami dan mengaitkannya justru menjadi langka. Dalam situasi seperti ini, penalaran analogis menawarkan arah baru bagi pendidikan: bukan sekadar mengajarkan apa yang harus diingat, tetapi bagaimana cara berpikir yang dapat diterapkan di berbagai situasi.
Pendidikan yang menumbuhkan penalaran analogis membantu siswa melihat keteraturan di balik keragaman, menemukan pola di balik perbedaan, dan membangun jembatan antara pengetahuan lama dan tantangan baru. Di sinilah letak kekuatan sejati pendidikan — bukan pada hafalan, melainkan pada kemampuan untuk menalar, menafsir, dan mentransfer pengetahuan.
Guru memiliki peran kunci dalam perubahan ini. Dengan memahami kerangka Markus Ruppert, guru dapat merancang pengalaman belajar yang melatih siswa berpikir lintas konteks, menghubungkan ide, dan memverifikasi pemahamannya sendiri. Sementara siswa, melalui latihan analogi yang terus-menerus, belajar menjadi pemikir yang mandiri dan fleksibel — kualitas yang tidak dapat digantikan oleh kecerdasan buatan sekalipun.
Sudah saatnya kita menggeser paradigma dari “belajar untuk mengingat” menjadi “belajar untuk menalar.” Ketika ruang kelas menjadi tempat di mana analogi dipahami, diterapkan, dan diverifikasi, pendidikan tidak hanya mencetak siswa cerdas, tetapi juga melahirkan generasi pembelajar sejati — yang mampu berpikir, beradaptasi, dan memberi makna bagi dunia yang terus berubah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI