Mohon tunggu...
Syahdan Adhyasta
Syahdan Adhyasta Mohon Tunggu... Administrasi - Profil

Hidup ini bagaikan sebuah lautan, dan kitalah nelayan yang sedang mengarunginya.. Sejauh apapun kita melaut, pasti akan ada masa dimana kita harus kembali ke daratan tempat kita berasal.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerbung: Bayang-bayang Sang Arjuna (4)

8 Maret 2015   20:31 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:58 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1425820897540308507

Part 4

Istana Negara

[caption id="attachment_401518" align="aligncenter" width="491" caption="(gambar: beerisgoodbeerisgreat.wordpress.com)"][/caption]

Hari pelaksanaan pertunjukkan kami adalah hari Kamis malam nanti. Tentu saja persiapan yang kamu lakukan tidaklah main-main.  Sejak pagi kami sudah disibukkan dengan berbagai persiapan untuk acara nanti malam. Mulai dari latihan, persiapan kostum dan hal-hal detail lainnya. Untunglah Mbak Monik sudah menyiapkan surat tugas dari Kemensesneg, sehingga aku bisa meminta ijin tidak masuk kantor hari ini.

Rencananya jam 10 pagi ini, kami akan melakukan gladi bersih terakhir sebelum kami tampil. Kami mengingat-ingat kembali posisi dimana kami harus masuk dan juga menyesuaikan gerakan dengan luas panggung yang ada. Kemarin malam kami sebenarnya sudah melakukan gladi kotor selama beberapa jam di aula ini. Tapi tentu saja untuk mencapai kesempurnaan, kami harus terus mengulangi dan mengulangi gerakan yang akan kami sajikan.

“Gimana persiapannya?” tanya Mas Abi, sambil membawakan air mineral untukku.

“Sejauh ini lancar sih, Mas. Walaupun agak gugup juga, tapi InsyaAllah siap.”

“Mas Abi sendiri gimana?”

“InsyaAllah lancar. Semoga nanti waktu pertunjukkan bisa selancar waktu latihan.”

“Amin..”


Aku melirik tongkat sepanjang 3 meter yang ada di sebelah Mas Abi. Iseng-iseng aku mencoba memegangnya.

“Berat juga ya Mas.” kataku sambil mengayunkan tongkat itu pelan

“Iya. Itu beratnya 2 kiloan sih.”

“Pegel juga pasti ya, setengah jam nari pake tongkat seberat ini.”

“Dulu awal-awal sih kerasa banget capeknya. Tapi sekarang udah biasa karena udah latian tiap hari”

“Ooh..”

Hari ini Pak Pendik, pelatih kami tidak bisa hadir karena adanya urusan keluarga yang mendadak. Ia sudah pulang ke Yogya semenjak kemarin siang. Tapi walaupun tanpa adanya Pak Pendik, aku dan Mbak Damai sudah dianggap menguasai gerakan dan menampilkannya dengan baik. Sebagai gantinya, Mbak Adin yang merupakan pelatih Tari Srimpi ditugaskan untuk mengawasi latihan dan gerakan-gerakan yang kami tampilkan.

“Di… Abdi…” Mbak Adin memanggilku sambil menggerakkan tangannya.

“Kenapa Mbak?”

“Kamu liat si Damai nggak?”

“Wah, aku belum ketemu Mbak sama Mbak Damai. Belum dateng sepertinya.”

Mbak Adin pun kemudian memanggil Mbak Monik.

“Coba dihubungi aja.” Kata Mbak Adin dengan nada sedikit kesal.

Mbak Monik pun kemudian sibuk dengan hape miliknya. Beberapa kali ia memencet layar smartphone miliknya, mencoba menelepon.

“Nggak aktif”

“Kita coba tunggu saja, sambil aku coba hubungi teman-temannya. Mungkin ada yang tahu.”

Mbak Adin pun kemudian memutuskan untuk meneruskan latihan bersama kelompok tari Srimpinya. Sedangkan aku, berlatih sendiri tanpa adanya pasangan, sambil berharap Mbak Damai segera datang.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore,tapi Mbak Damai sampai sekarang belum menunjukkan batang hidungnya.

“Jadi gimana, Mbak?” tanyaku

“Kita tunggu aja Mbak Monik” jawab Mbak Adin.

Beberapa menit kemudian Mbak Monik datang, dengan sedikit tergesa-gesa. Ia tadi memutuskan untuk mencoba menjemput Damai, yang rumahnya berada sekitar satu jam perjalanan dari Istana Negara ini.

“Gawat.”


“Damai tadi kecelakaan motor waktu perjalanan ke sini.”

Astaghfirullah… terus gimana keadaannya.”

“Dia sekarang lagi di rumah sakit, dan belum sadar sampai sekarang.”

"Tapi dia nggak apa-apa kan?"

"Aku juga kurang tahu tentang itu, aku belum sempat ke rumah sakit untuk menengoknya."

Kami semua terdiam. Saling memandang, satu sama lain. Berdoa dan berharap agar semuanya baik-baik saja.

“Aku coba hubungi Pak Seno dulu. Mungkin beliau bisa memberikan solusi.” Kata Mbak Monik, seraya meninggalkan kami.

***

Aula istana negara yang semula sepi, sekarang mulai dipadati oleh tamu undangan. Dari segala penjuru aula terdengar alunan lagu jawa yang dimainkan oleh para pemain gamelan. Aula ini sangatlah luas, beberapa kali luasnya dibandingkan tempat pertunjukkan kelompok Satriatama. Dinding-dindingnya berwarna putih dengan alas karpet merah dibawahnya. Lampu-lampu kristal bercahaya kuning, menambah kesan mewah didalamnya.  Kursi-kursi telah diatur sedemikian rupa sehingga menyisakan bagian kosong di bagian depan yang akan digunakan sebagai tempat pertunjukkan. Di bagian depan itu terdapat podium yang akan digunakan untuk memberikan sambutan dan membuka acara kali ini.

Aku tidak begitu paham mengenai acara yang akan digelar di istana pada hari ini. Membahas apa itu, sesuatu yang rumit bagiku. Sejauh yang aku tahu, banyak tamu-tamu undangan dari luar negeri dan pejabat-pejabat penting kenegaraan akan hadir dalam acara ini. Lebih istimewanya lagi, Pak Presiden juga akan turut menghadiri acara ini dan memberikan sambutan. Tentu ini adalah sebuah kebanggan. Siapa coba yang tidak bangga, bisa menunjukkan penampilannya di hadapan orang-orang penting di negara ini.

Kalau seandainya, tidak terdapat musibah ini pasti ini menjadi malam yang sangat istimewa bagi kami. Perasaan yang kami rasakan sekarang bercampur antara rasa bingung dan penasaran dengan keadaan Mbak Damai, serta perasaan panik mengenai bagaimana cara menutup kekosongan dari ketidakhadiran Mbak Damai.

Pukul 6 tepat, 1 jam sebelum acara di mulai

“Kamu siap-siap aja. Pakai kostum dan riasanmu sekarang.” Kata Mbak Monik menegurku di belakang panggung.

“Eh? Aku nari sendirian Mbak?”

“Ya nggaklah… nanti ada orang yang nggantiin Damai. Tapi siapanya aku belum tahu. Pak Agung Pramono bilang dia ada kenalan yang bisa nggantiin.” Jawab Mbak Monik dengan nada ketus melebihi hari-hari biasanya.

“Semoga dia bisa datang tepat pada waktunya.”

***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun