Mohon tunggu...
Aleyna Puspita Firdaus
Aleyna Puspita Firdaus Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa FBIK Universitas Islam Sultan Agung Semarang

Sastra Inggris L1

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengamalan Salah Kaprah Toleransi yang Digaungkan

23 Juni 2021   12:28 Diperbarui: 23 Juni 2021   12:40 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Saya seringkali melihat tayangan di stasiun televisi yang erat kaitannya dengan toleransi beragama, yaitu ucapan perayaan hari besar keagamaan tertentu. Hal tersebut menuai kontroversi, yang hingga kini masih saja dipermasalahkan. Saya pun pernah menemui berita yang mengabarkan bahwa karyawan muslim sebuah perusahaan yang bekerja di hari besar keagamaan nonmuslim, diwajibkan atau bahkan dipaksa memakai atribut nonmuslim yang tidak sepatutnya mereka pakai karena sudah jelas merupakan larangan dalam Islam. Tanpa disadari, kewajiban dari pihak perusahaan itu sudahlah melanggar butir sila pancasila pertama, yaitu mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing.

Sempat beberapa tahun hal tersebut terjadi, sampai kemudian ada lagi kasus film yang menunjukkan adegan penyerahan tumpeng ke dalam gereja yang penuh dengan jemaatnya menjadi adegan kontroversi dari sebuah film berjudul The Santri, dan didunia nyata pun terjadi hal demikian tepatnya di gereja Theresius. Tak sampai disitu, video sholawat di dalam gereja yang dibersamai dengan lantunan haleluya juga viral beredar di media sosial.

Adanya oknum yang tidak bertanggung jawab tentang bagaimana menyikapi perbedaan seperti ini, lama kelamaan makna sejati dari diksi toleransi ternodai, memberikan cerminan yang salah pada generasi muda masa kini. Secara etimologi, toleransi diambil dari bahasa latin yaitu tolerare, yang berarti menahan diri. Sedangkan secara terminologi, toleransi memiliki pengertian menghormati dan menghargai perbedaan yang ada pada masing-masing individu. Sikap tersebut diperlukan untuk menjaga perdamaian tanpa mencampuradukkan keimanan antara dua atau lebih hal yang berlainan.

Ustadz Tengku Zulkarnain, Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (2015-2020), dalam ceramahnya saat penyelenggaraan Dzikir Nasional Republika pada tahun 2015 silam menekankan penguatan tauhid dan akidah umat. Beliau mengatakan bahwa budaya sinkretisme telah menjamur sedemikian rupa. Sinkretisme sendiri ialah pencampuran agama atau aliran. Orang-orang seringkali memahami bahwa beribadah bersama adalah toleransi. Padahal, toleransi  dalam islam bukanlah mencampuri urusan agama orang lain. "Dalam bertoleransi, umat islam tidak perlu mencampuri urusan agama orang lain, begitupula umat islam tidak perlu campur tangan agama orang lain dalam ranah agamanya. Bukan mencampuri bukan berarti tidak dapat menjalin kerukunan. Indonesia adalah negara yang sejuk, jadi harus dijaga perdamaian dan keutuhannya," ujar beliau menjelaskan.

Mungkin bagi sebagian orang, mengucapkan, memakai atribut nonmuslim, atau sikap mencontoh perilaku-perilaku agama lain dalam bentuk apapun adalah hal remeh temeh yang hanya bertujuan sebagai penghormatan kepada kaum yang merayakan. Namun, Islam melarang umatnya untuk berkelakuan seperti umat lain.

"Siapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongannya." (HR. Abu Dawud). Memakai atribut agama, atau mencontoh tradisi yang mereka kerjakan, merupakan perilaku yang dikecam oleh Rasulullah saw. Dari Amru bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya, sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: "Bukan dari golongan kami orang yang menyerupai selain kami, maka janganlah kalian menyerupai Yahudi dan Nasrani, karena sungguh mereka kaum Yahudi memberi salam dengan isyarat jari jemari, dan kaum Nasrani memberi salam dengan isyarat telapak tangannya." (HR at-Tirmidzi). Hadits tersebut sekiranya cukup mewakili pertanyaan tentang dibolehkan atau tidaknya pengucapan hari besar keagamaan atau pemakaian atribut perayaan non-muslim.

Sikap Pemerintah Terhadap Pemakaian Atribut Non-Muslim oleh Muslim

Setelah polemik pemakaian atribut keagamaan memanas di masyarakat, Komisi Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengelarkan fatwa nomor 56 tahun 2016 tentang hukum menggunakan atribut keagamaan non-muslim. Dalam fatwanya, MUI menyematkan banyak ayat dan hadits yang menjadi pertimbangan dalam masalah ini. Keputusannya diantara lain:

  • Ketentuan Umum
  • Dalam Fatwa ini yang dimaksud dengan : Atribut keagamaan adalah sesuatu yang dipakai dan digunakan sebagai identitas, ciri khas atau tanda tertentu dari suatu agama dan/atau umat beragama tertentu, baik terkait dengan keyakinan, ritual ibadah, maupun tradisi dari agama tertentu.
  • Ketentuan Hukum
  • Menggunakan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
  • Mengajak dan/atau memerintahkan penggunaan atribut keagamaan non-muslim adalah haram.
  • Rekomendasi
  • Umat Islam agar tetap menjaga kerukunan hidup antara umat beragama dan memelihara harmonis kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tanpa menodai ajaran agama, serta tidak mencampuradukkan antara akidah dan ibadah Islam dengan keyakinan agama lain.
  • Umat Islam agar saling menghormati keyakinan dan kepercayaan setiap agama. Salah satu wujud toleransi adalah menghargai kebebasan non-muslim dalam menjalankan ibadahnya, bukan dengan saling mengakui kebenaran teologis.
  • Umat Islam agar memilih jenis usaha yang baik dan halal, serta tidak memproduksi, memberikan, dan/atau memperjualbelikan atribut keagamaan non-muslim.
  • Pimpinan perusahaan agar menjamin hak umat Islam dalam menjalankan agama sesuai keyakinannya, menghormati keyakinan keagamaannya, dan tidak memaksakan kehendak untuk menggunakan atribut keagamaan non-muslim kepada karyawan muslim.
  • Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada umat Islam sebagai warga negara untuk dapat menjalankan keyakinan dan syari'at agamanya secara murni dan benar serta menjaga toleransi beragama.
  • Pemerintah wajib mencegah, mengawasi, dan menindak pihak-pihak yang membuat peraturan (termasuk ikatan/kontrak kerja) dan/atau melakukan ajakan, pemaksaan, dan tekanan kepada pegawai atau karyawan muslim untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ajaran agama seperti aturan dan pemaksaan penggunaan atribut keagamaan non-muslim kepada umat Islam.

Mencampuradukkan keimanan dengan ikut serta dalam perayaan agama lain bukanlah toleransi, melainkan sinkretisme yang dapa merusak aqidah seseorang, bahkan yang lebih parah dapat merusak kesaksian bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan dan Nabi Muhammad utusan Allah. Menjalankan ibadah dan prinsip keagamaan adalah hak seluruh warga Negara, dan hak untuk beragama merupakan hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights). Ketentuan tersebut dijelaskan dalam Pasal 4 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM. Sebagai muslim, hendaknya kita dapat memilah mana yang membangun kerukunan antar umat beragama dan mana yang justru menghancurkan nilai tauhid dalam diri kita. Wallahu 'alam bisshawwab.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun