What's in a name? Apa arti sebuah nama, begitu kata pujangga William Shakespeare. Dalam kajian semiotika, sebuah nama pasti mengandung makna. Apakah di balik makna nama tersebut terkandung marwah yang makna; spiritualitas, doa, harapan, sakralitas atau magis.
Manakala sebuah nama dihilangkan dari unsur dasar pembentuknya, maka makna kata tersebut akan pudar dan hilang dari filosofi unsur pembentuknya, termasuk akan kehilangan marwahnya, pamornya, spiritualitasnya, sakralitasnya dan magisnya.
Di sini saya akan sedikit mengulas ungkapan makna kata apa yang diucap William Shekespeare, what's in a name, dalam korelasi dari judul "Prabowo, Gerindra, KKIR dan Trisakti BK".
Dikisahkan, saat bicara dalam sarasehan "Bulan Bung Karno" di Institute Megawati (2012), Prabowo sempat menyinggung bahwa hubungan dengan Bung Karno sebagai pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI) bahkan menyebutkan masih kena cucunya.Â
Selanjutnya dikisahkan, semalam sebelum Bung Karno dan Bung Hatta ditangkap Belanda dan dibuang dalam pengasingan. Bung Karno memberi mandat kepada Margono Djojohadikusumo, kakek Prabowo, untuk mendirikan Partai Indonesia Raya (Parindra), guna meneruskan perjuangan PNI. "Waktu Bung Karno kembali dari pengasingan, kakek saya mengembalikan mandat itu. Parindra bubar dan PNI bangkit kembali. Jadi kami merasa Gerindra cucunya PNI," kata pendiri Partai Gerindra.
Tahun 2008, cucu pendiri Parinda tak mau kalah dengan kakeknya mendirikan partai politik Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). "Jadi antara PNI, Parindra dan Gerindra masih ada hubungan, PNI kakeknya, Parindra bapaknya dan Gerindra cucunya," ungkap Prabowo, tentang bahwa dirinya masih kena cucu Bung Karno, pendiri PNI, di mana juga sama-sama memiliki dasar spirit ideologis yang sama yaitu nasionalisme, dan berjuang memperjuangkan ajaran "Trisakti -- Bung Karno". Â
Tahun Vivere Pericoloso
22 Desember 2018, saya menulis di Kompasiana.com, judulnya "Indonesia Akan Punah Manakala Amanah Trisakti Bung Karno Tergadaikan". Indonesia tidak akan punah seperti dalam cerita "The Lost Atlantis". Justru kedaulatan Indonesia akan punah manakala amanah "Trisakti Bung Karno" tergadaikan pada cengkeraman kekuatan asing baik secara politik, ekonomi, dan kebudayaan.
Pada titik inilah Indonesia akan 'punah' dalam hal menjaga kemandirian martabat kedaulatan sebagai sebuah bangsa lantaran kita sudah bertekuk lutut pada cengkeraman dan kendali kekuatan bangsa asing.
Sementara saat ini, adakah kita sedang menghadapi "Tahun Vivere Pericoloso", seperti judul pidato Bung Karno, 17 Agustus 1964, yang kemudian melahirkan gagasan "Trisakti"-nya untuk berdikari secara politik, ekonomi dan kebudayaan.
Kebangkitan Indonesia Raya.Â
Makanya saya sangat mengapresiasi ketika Partai Gerindra, PKB, Golkar dan PAN sebagai pendukung Prabowo memberi nama koalisinya "Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya" (KKIR). Dalam perspektif semiotika, saya lebih menyukai makna kata KKIR -- Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya -- saya anggap lebih bermarwah, berpamor dan magis.
Kenapa kata "Kebangkitan Indonesia Raya" saya anggap lebih bermarwah, berpamor dan magis? Karena saat ini saya anggap butuh kebangkitan dari krisis multidimensional dalam kehidupan berbangsa, salah satunya terkikisnya kemesraan sosial akibat terjadinya polarisasi oleh stigmatiasi politik identitas.
Siapa pun capres yang terpilih di Pilpres 2024, yang kita butuhkan adalah sosok pemimpin yang mampu merajut dan menyatukan kembali retakan-retakan kemesraan sosial dalam kehidupan berbangsa yang disemboyani Bhinneka Tunggal Ika, yang kini terbelah dan terpolarisasi oleh stigmatisasi sentimen politik maupun lantaran oleh pengopinian ujaran sentimen primodial politik identitas bernada SARA.
Sementara kalau kita merujuk pada terminologi "kebangkitan", didalamnya sudah mencakup makan kata "maju". Jadi makna kata "kebangkitan" didalamnya sudah mngisyaratkan dan mensyaratkan kata "maju" atau "kemajuan", menuju Indonesia Maju.
Kita tidak akan bergerak maju tanpa kebangkitan. Justru dengan kebangkitan, kita bangkit untuk maju. Adalah saatnya kita maju menuju Indonesia Jaya dengan "Kebangkitan Indonesia Raya". Â
Adakah saat ini kita sedang menghadapi "Tahun Vivere Pericoloso," seperti judul pidato Bung Karno, 17 Agustus 1964, yang kemudian melahirkan gagasan Trisakti-nya untuk berdikari secara politik, ekonomi dan kebudayaan.
Adalah saatnya bersama gerakan "Kebangkitan Indonesia Raya", kita bangkitan kembali dan wujudkan spirit kebangsaan ajaran "Trisakti" Bung Karno. Bukan sekedar slogan gelembung busa atau berupa pepesan kosong yang dikoarkan di Pilpres lalu. Semoga! Â
Atas dasar "Kebangkitan Indonesia Raya", di sini saya sengaja mengakhiri tulisan ini dengan mengutip ucapan Prabowo di buku "Surat Untuk Sahabat": "Saya ingin Indonesia menjadi bangsa yang merdeka, yang berdiri di atas kaki sendiri. Tidak diinjak-injak, tidak menjadi budak, tidak menjadi kacung bangsa lain".Â
Alex Palit, jurnalis pengamat politik Aliansi Pewarta Independen "Selamatkan Indonesia", penulis buku "2024 Kenapa Harus Prabowo Subianto Notonegoro".
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI