Mohon tunggu...
Alex Martin
Alex Martin Mohon Tunggu... Administrasi - penulis

bercerita apa adanya, bukan karena ada apanya

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kemesraan PDIP-Polri, Dulu Sekarang dan Selamanya

22 Juni 2018   19:39 Diperbarui: 22 Juni 2018   20:03 1251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru-baru ini publik dihebohkan dengan pengangkatan Komjen Iriawan menjadi Pj Gubernur Jawa Barat. Netralitas Polri dalam penyelenggaraan Pilkada Serentak pun dipertanyakan, khusunya di Pilkada Jawa Barat. Hal ini dikarenakan salah satu calon Wakil Gubernur Jawa Barat, Anton Charliyan yang diusung PDIP juga berasal dari institusi yang sama, yaitu Polri.

Banyak pihak syak wasangka PDIP maupun Polri sedang bermain mata. Syak wasangka itu tidak dapat dihindari, karena latar belakang sejarah merekam bagaimana kemesraan antara institusi pemerintahan (Polri) ini pernah menjalin kemesraan dengan institusi politik (PDIP) tersebut.

Pada kampanye Pilpres 2004, aroma tekanan dari aparatur berbaju coklat ini terendus oleh banyak pihak. Polri yang seharusnya mengamankan dan menjamin kesuksesan Pilpres tersebut malah menodai nilai-nilai demokrasi. Beberapa pejabat Polri pun mendapat sanksi tegas karena terbukti membantu memenangkan PDIP di Pilpres 2004.

Salah satunya adalah kasus Kapolwil Banyumas Kombes AA Mapparessa. Pada tahun 2004 beredar VCD dukungannya yang mendukung salah satu pasang calon Presiden. Dengan gamblang Mapparessa memberikan arahan dukungannya kepada Megawati sebagai calon Presiden. Diketahui juga sebelum pertemuan 29 Mei (saat video direkam) Mapparesa sudah 3 kali bertemu dengan Kapolri.

Namun Mapparesa menampik jika ada arahan dari Kapolri untuk memenangkan Megawati atau PDIP. Namun pernyataan Mapparesa tersebut seakan menabrak akal sehat. Jika tidak ada arahan dari atas, lalu alasan kuat apa yang mendorong Mapparesa untuk menabrak UU yang harusnya ditegakkannya?

Dalam dunia kemilitiren ada istilah, "tidak ada prajurit yang salah, yang salah adalah pemimpin yang tidak bisa mengarahkan atau sesat mengarahkan". Apalagi saat itu Budi Gunawan yang masih berpangkat Kombes menjadi ajudan pribadi Megawati. Kedekatan Megawati dan Budi Gunawan itu disebut-sebut sebagai salah satu jalan untuk mengendalikan Polri untuk mendukung PDIP dan Megawati.

Budi Waseso juga merupakan perpanjangan tangan PDIP. Hal tersebut disampaikan oleh KontraS. Begitu juga dengan Dai Bachtiar. Ia diangkat Megawati pada tahun 2001 dan menjadi kader PDIP pada tahun 2013. Merujuk pernyataan TB Hassanudin, ada 12 atau belasan diantaranya purnawirawan Polisi dan 4 Jenderal Polisi Purnawirawan yang telah bergabung dengan PDIP.

Mapparesa, Kapolri, Budi Gunawan, Megawati, PDIP, dan kecurangan Pemilu 2004 menjadi satu rangkaian yang melekat dibenak banyak orang. Jadi jika hari ini kekuasaan yang dipegang PDIP kembali menggunakan aparatur negara untuk meraih kekuasaan bukan hal yang baru. Istilahnya "sudah tabiat". Susah untuk dirubah.

Jika itulah yang terjadi kembali hari ini, sepertinya rakyatlah yang harus bijak menyikapi. Dengan banyak dan loyalnya purnawirawan polri yang bergabung dengan PDIP, tidak hal yang sulit bagi PDIP untuk menggoyang netralitas Polri.

Meminjam kata-kata Susi Pudjiastuti, "TENGGELAMKAN" PDIP di Pemilu 2019. Rusaknya negeri ini bukan karena banyaknya orang jahat, namun melainkan karena diamnya orang-orang baik. Oleh sebab itu, JANGAN DIAM.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun