Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rahim Ibuku

1 Desember 2022   13:23 Diperbarui: 1 Desember 2022   13:33 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi bunga sakura (Sumber: wallpaperbetter.com)

Ibuku perempuan desa yang menikah muda, 16 tahun. Dari rahimnya lahir delapan orang  anak yang kini telah dewasa dan tersebar ke berbagai pelosok negeri.

Tetapi empat tahun lalu ia kalah oleh kanker rahim. Berhadapan dengan hal ini, aku hanya terperangah pada kontradiksi kehidupan dunia. Hidup sangat fana, ternyata. Anda bayangkan, pada tempat di mana ibuku meletakkan dan memelihara kehidupan delapan  anaknya, di sana pula ia menyerah kalah oleh kanker. Tubuhnya kami baringkan dalam peti dari kayu jati yang serba terburu-buru ditebang untuk diserut menjadi sebuah peti yang indah.

Aku ingat, pohon jati itu aku yang tanam bersama Bapak ketika aku masih kelas tiga  sekolah dasar. Usiaku sekitar 10 tahun waktu itu. Karena empat tahun lalu aku sudah menginjak usia 35, berarti pohon jati itu sudah berumur 25 tahun.

"Nanti untuk kerangka rumahmu," kata Bapak saat aku menanam jati itu. Tapi siapa sangka kalau jati itu justru dipakai untuk menyimpan jasad ibuku?

Ibuku fasih berbahasa Indonesia meskipun ia hanya sempat mampir di sekolah rakyat. Tapi ia tidak tahu kapan persisnya ia lahir. Kata nenek, tiga tahun setelah Dai Nippon kalah. Berarti sekitar tahun 1948. Ketika Jepang sudah keluar dari Indonesia. Tetapi nenek benar-benar tidak tahu tanggalnya. Yang dia ingat, ibuku lahir dua purnama setelah musim panen berlalu. Agar punya hari ulang tahun yang bisa diperingati, kami mengambil tanggal 31 Desember menjadi tanggal lahir ibu. Mengapa tanggal ini? Karena semua pegawai pemerintah di tempatku yang tidak tahu kapan hari lahir mereka memakai tanggal yang sama. Bapakku juga begitu.

Tetapi walaupun ibuku tidak tamat SD, ia sangat fasih soal hitung-hitungan. Aku ingat, ketika pelajaran matematika sangat memberati otakku,  yang membuat aku lebih memilih bolos berkeliaran di padang penggembalaan, beliaulah yang dengan sabar mengajariku. Ia tahu soal perkalian, pembagian berekor, apalagi sekadar penjumlahan dan pengurangan.

Tetapi sialnya, tidak setiap saat aku bisa bolos. Guru matematikaku terkenal galak dan "streng". Dia terkenal kejam terhadap anak yang tidak bisa berhitung, apalagi yang bolos. Karena itu sapu lidi, ranting pohon asam atau mistar panjang sudah tak terhitung lagi mengunjungi pantatku. Bagi dia, tidak menghafal perkalian berarti lima kali dirotan. Bolos berarti 10 kali. Padahal guru matematika itu suami ibuku. Berarti bapakku sendiri. Tapi mana mau peduli dia sama anak kandungnya? Tidak bisa perkalian, ya dihukum.

Bapakku seorang  guru desa. Tetapi ia juga dikenal sebagai seorang tukang kayu handal dan petani yang ulet. Dialah yang membuat peti mati ibuku. Aku melihat Bapak mengeluarkan seluruh peralatan kerjanya; pasah, martil, gergaji, untuk membuatkan peti mati bagi istrinya. Aku melihat otot-otot lengannya menyembul keras saat ia menggergaji batangan kayu jati yang masih basah itu. Tangannya masih terampil, meski pada beberapa kesempatan aku melihat ia gemetar memegang pensil dan penggaris. Usia bapakku mendekati 70.

Seperti kukatakan tadi, bapakku seorang tukang yang handal. Seluruh perabotan meja, kursi, lemari, buffet bahkan rumah yang kami tempati adalah karya tangannya. Kepandaian ini ia peroleh berkat bimbingan para misionaris Jerman yang ahli pertukangan dan bangunan yang pernah mengabdi di pulau kami. Bapakku sambil belajar di sekolah guru, juga sambil kursus pertukangan. Tetapi semenjak pensiun ia serius membuka lahan pertanian seluas tiga hektar tak jauh dari sebuah pantai di barat daya pulau. Di sana ia memelihara babi, ayam, dan bercocok tanam padi dan jagung. Tentu saja ia sengaja memilih dekat pantai supaya ia bebas memenuhi keinginan mancingnya. Beliau penghobi berat memancing. Tetapi lupakanlah sejenak bapakku. Semoga Tuhan memberinya umur yang panjang.

Waktu ibuku meninggal aku tidak menangis sedikitpun. Bukan aku tidak sedih. Sebagai lelaki yang paling tua, meskipun aku anak kedua dan kakakku perempuan, aku harus menunjukkan kepada adik-adikku soal ketegaran hati. Tokh, yang mengajari aku supaya laki-laki jangan gampang menangis, ibuku juga. Ia bilang, "Laki-laki itu tugasnya marah dan memerintah. Bukan menangis," ujarnya dalam banyak kesempatan berdua denganku. Mamaku masih menganut cara mendidik tradisional.

Tapi dua minggu setelah kepergiannya, setelah semua sanak saudara pulang, ketika kakak dan adik-adikku mulai kembali tekun dengan tugas mereka masing-masing, barulah aku merasakan kesunyian yang teramat dalam. Bukan terutama karena rumah besar kami menjadi lengang. Ada sebuah perasaan yang tumbuh begitu saja, yang baru sekali itu aku rasakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun