Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Byurrr, Tanpa Seutas Benang di Badan

31 Oktober 2022   22:42 Diperbarui: 31 Oktober 2022   22:52 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dua warga Baduy berfoto bersama kami di Desa Kenekes sebelum melanjutkan perjalanan ke Cikeusik (Foto: Dokpri) 

Di Ceukesik, salah satu Perkampungan Adat Baduy, Desa Kenekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten  Lebak, Banten, adalah keheningan. Hanya angin. Desau pepohonan. Gemercik sungai.

Untuk sampai ke sana kami naik kereta dari Tanah Abang, Jakarta,  menuju Rangkasbitung, ibukota Kabupaten Lebak. Hanya 1,5 jam. Disambung naik bus mini  yang selalu siap sedia di luar stasiun, mengantar kami ke pintu masuk Desa Kenekes.

Dari sini perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki.

Ada dua jalur yang bisa dipilih. Lewat Ciboleger atau Cijahe. Kami memilih lewat Ciboleger, jalur yang biasa dipakai wisatawan. Tetapi perlu waktu sekitar tiga  jam untuk tiba di Cibeo, lalu masuk ke Cikeusik di Baduy Dalam.

Lewat Cijahe kabarnya  lebih singkat. Hanya perlu satu jam. Tetapi medan cukup berat. Peralatan naik gunung perlu dibawa. Tetapi siapa yang mau repot-repot panggul tas dan peralatan  berat?

"Buat apa jauh-jauh dari Jakarta kalau hanya trekking satu jam?" begitu suara sebagian besar anggota rombongan.

Keputusan bulat. Lewat Ciboleger.

Tak terasa, kami sudah melewati beberapa perkampungan masyarakat Baduy Luar. Perkampungan yang modern. Ada suara radio. Musik mengalun.

 Rumah penduduk berupa rumah panggung. Ada bale-bale di depannya. Kaum Baduy Luar adalah mereka yang memutuskan menerima peradaban lain. Termasuk teknologi. Meskipun sebagian besar cara hidup dan adat istiadat masih mengikuti kebiasaan yang diturunkan dari nenek moyang. Sebaliknya dengan warga Baduy Dalam.

Untuk membedakannya dengan warga Baduy Dalam bisa dilihat dari ikat kepalanya. Kaum Baduy Luar memakai ikat kepala berwarna biru. Sedangkan warga Baduy Dalam berikat kepala putih.

Di perkampungan Baduy Luar kami masih bisa berpose. Foto-foto. Sebab di dalam, ada larangan keras untuk mengambil gambar. Dalam bentuk apapun, dengan peralatan apa saja. Tidak kamera, tidak ponsel pintar.  

Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Memasuki Cibeo, semua kamera masuk peraduan. Apalagi hari mulai petang. Udara dingin menguar. Suara serangga malam bersahutan. Lapar mulai mengigit perut.

Malam itu kami diterima menginap di Cikeusik. Juga makan malam di sana. Sebab teman yang terbiasa datang ke sana mengenal salah satu warganya. Bahkan ia juga mengenali sang Jaro, pemimpin adat tertinggi orang Baduy Dalam.

Sungguh makan malam yg nikmat. Beras, sayur-sayuran, semua organik. Tak tersentuh pupuk kimiawi secuil pun.

Tetapi sedikit bermasalah ketika kami akan mandi.

Bukan soal tak ada air. Sebab di sisi perkampungan itu mengalir sebatang sungai berair bening. Tempat mandi pria terpisah jauh dari tempat perempuan mandi. Sudah ada "kolam"nya sendiri-sendiri. 

Pengunjung juga tak boleh memakai sabun dan shampoo. Sebab air di sana tidak boleh tercemar bahan kimia.  Daki  di badan digosok pakai batu. Kalau di Sumba, kami punya sejenis daun yang berbusa. Biasanya tumbuh di pinggir kali. Itulah yang kami pakai sebagai pengganti sabun. Kadang pula tanah liat kami gosokan ke badan.

Saya datang ke tempat mandi pria. Mau lihat bagaimana caranya mereka mandi. Sebab berjalan tiga jam membuat keringat berasa lengket di badan. Oh, ternyata seperti kembali ke masa kecil dahulu: Baju ditanggalkan. Juga celana. Juga celana dalam. Polos saja. Lalu byurr!

Saya juga ikut  mandi. Tapi harus polos dulu. Ya sudah, mau bilang apa? Saya akhirnya byurr juga. Tanpa seutus benang di badan!

Tapi kawan, satu hal yang bikin saya "iri" adalah stamina orang Baduy. Mereka berjalan seperti separuh berlari. Bukit-bukit laksana mainan saja dibikinnya. Kami masih ngos-ngosan atur nafas di bawah, si pemandu sudah cengar-cengir di atas sana. Barangkali saja ia berkata dalam hati, "Rasain kalian anak-anak kota yang manja!" Tapi siapa yang anak kota? Mungkin saja kami semua juga dari kampung. Pas saja tinggal di Jakarta. 

Demikian pula ketika suatu saat pada 1996 silam saya sampai ke Lamalera, desa pemburu ikan paus di Pulau Lomblen, Flores, NTT. Saya benar-benar iri dengan para nelayan pemburu ikan. Badan mereka tipis, namun tegap dibungkus otot  liat di sekujur tubuh. Tak ada secuil lemak pun di sana!  

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun