Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

"Si Monyet" Toyotomi Hideyoshi

27 Oktober 2022   13:06 Diperbarui: 27 Oktober 2022   13:09 560
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Taiko yang diterbitkan oleh Gramedia ke dalam Bahasa Indonesia (Sumber:Lazada.com)

Salah satu novel yang saya suka adalah Taiko karya Eiji Yoshikawa (1892-1962).  Kisah tentang kekaisaran Jepang pada abad ke-16.

Saya ketemu karya Tuan Yoshikawa yang lain, yakni Musashi ketika menjadi mahasiswa di Yogyakarta pada 1992. Musashi masih berupa buku yang dicetak berseri. Tujuh buku: Tanah hingga buku ketujuh Cahaya Sempurna.  Begitu pegang seri pertama, semacam 'nagih' untuk baca seri yang lain. Barangkali seperti teman-teman yang 'sinting' kalau sudah ketemu cerita silat Kho Ping Hoo.

Musashi ini saya temukan di Wisma Cendana (WC). WC  adalah buah kebaikan hati Pater Willy Wagener, CSsR (1933-2020). Letaknya di Pringwulung. Tak jauh dari Gereja Santo Yohanes Rasul Pringwulung di sebelah utara Yogya. Dekat Kampus Asmi Santa Maria, sekolah sekretaris, milik suster-suster OSF tetapi sudah tutup. Kampusnya kini sudah menjadi bagian dari Unit PGSD Universitas  Sanata Darma.

Di WC ada perpustakaan. Sebuah lemari berisi buku-buku. Di aula. Salah satu buku yang ada di sana adalah novel karya Tuan Yoshikawa ini, Musashi, yang diurutkan dari seri pertama sampai terakhir.

Paling aktual, Musashi dikumpulkan menjadi sebuah buku secara lengkap oleh Penerbit Gramedia. Tebalnya kayak bantal. Lebih tebal dari kumpulan cerpen-nya Ernest Hemingway: The Complete Short Stories Of Ernest Hemingway, yang berisi 70 cerita. Kayaknya lebih tebal dari Taiko yang seribuan halaman. Menurut Wikipedia, versi bahasa Indonesia-nya  diterjemahkan dari versi Inggris yang 'hanya' 900 halaman. Sementara versi Inggris-nya ini diterjemahkan dari kisah asli bahasa Jepang, 26.000 (dua puluh enam ribu) halaman. Entah berapa lama para editor menerjemahkannya?

Kembali ke Taiko.

 Kisahnya berputar pada tiga sosok utama: si "Monyet" Toyotomi Hideyoshi, Oda Nobunaga dan Tokugawa Ieyasu.  Ketiganya punya cita-cita yang sama, mempersatukan bangsa Jepang.

Yang menarik bagi saya adalah si "monyet" ini. Dia bukan siapa-siapa. Bukan samurai kayak Musashi. Tidak ada kandungan  'darah biru' dalam dirinya.  Anak petani biasa. Yatim. Bapaknya mati dalam peperangan. Ibunya menikah lagi agar tetap hidup, tetapi justru sakit hati melulu karena suami barunya tukang mabuk dan suka main tangan. Hideyoshi ini buruk rupa dan (maaf) mirip monyet. Sebab itu,  oleh siapa saja yang berjumpa dengannya biasa menyapanya: Monyet. Lebih sebagai ejekan.

Ini deskripsi tuan Yoshikawa:

"....Ia merasa kecil dan tak berdaya, seperti seekor cacing. Ketika menyusuri jalan-jalan di kota, sambil mendorong gerobak yang penuh barang tembikar terbungkus jerami, ia mendengar kata-kata yang kini telah akrab di telinganya:

"Hei, lihat! Ada Monyet!" 

"Monyet mendorong gerobak!"...

Semua ejekan itu  ibarat angin lalu saja bagi dirinya. Tidak ambil pusing dia. Hideyoshi punya "dunia lain" yang mau diraih. Prinsip si Monyet, semua orang punya kesempatan yang sama untuk maju, asal ia mau mengembangkan dirinya. Secara maksimal. Tidak terkungkung oleh pelbagai barikade asal-usul, tingkat pendidikan, dan lain-lain, yang justru menghambat. Juga tidak termakan oleh "apa kata orang".

Karena itu meskipun ia dinilai pandir, si Monyet sebenarnya sangat cerdas (sering juga orang yang kelewat cerdas rada-rada sinting to?). Ia bekerja sangat rajin. Kalau pembantu lain menyapu halaman dua kali sehari, dia melakukannya sepuluh kali. Kalau tukang sadel menggosok sadel kuda hanya 3 kali, Monyet melakukannya 20 kali. Sampai mengkilap itu sadel dibuatnya. Bukan untuk dipuji. Tapi kata dia: "Saya terpanggil untuk melakukannya."

Kalau tugasnya di satu bagian sudah selesai, ia tidak bisa berdiam diri. Ia merambah ke bagian yang lain. Sebab itu meskipun tugas utamanya adalah tukang sapu kandang kuda, ia juga memperbaiki atap rumah pada suatu siang. Menurut Monyet, persiapan supaya tidak bocor kalau musim hujan. Karena hal-hal kecil sangat mempengaruhi hal yang lebih besar, kata dia. Padahal ia tidak disuruh oleh tuannya.

Maka ia dimusuhi oleh sesama pekerja. Terutama yang malas. Dipikir  si Monyet sedang cari muka.

Di sini letak perbedaannya. Pembantu yang lain bekerja untuk mencari makan. Bagi si Monyet bekerja tidak semata itu. Namun sebagai pengabdian. Jika sudah mengabdi, kata dia, seseorang  harus total.  Itu terus yang ia bawa selama kariernya sebagai pembantu.

Tak heran kalau ia menjelma dari seorang pembawa sandal (gambarannya adalah: kalau tuannya naik kuda, si monyet dan pembantu yang lain berlari-lari di belakang kuda. Begitu tuannya akan turun, buru-buru ia sorongkan sandal agar kaki tuannya tidak menyentuh tanah) sampai menjadi seorang Taiko, penguasa kekaisaran Jepang yang bisa memerintahkan memenggal kepala 100 orang prajurit, seperti menjentikkan kotoran dari kuku jarinya.

Si Monyet jujur. Hampir dalam segala hal ia jujur. Sebab itu orang seperti Nobunaga yang  mood-nya gampang berubah ditiup angin (sesaat ia masih ketawa-ketawa, namun beberapa menit kemudian memerintahkan memenggal kepala orang) sangat menyayanginya.

Toyotomi Hideyoshi menjadi pmersatu bangsa Jepang. Ia mendapat gelar Taiko. Ia salah satu tokoh sejarah terkemuka di Jepang dan masih dikisahkan sampai hari ini. Ia meninggal dunia pada 18 Septembr 1598 dalam usia 62 tahun.

=000=

Yang mirip-mirip dengan "kepandiran" si Monyet saya temukan dalam sosok Richard Jewell (diperankan oleh Paul Walter Hauser) dalam film berjudul sama tentang  penjaga keamanan yang berada di pusat pemboman Atlanta pada tahun 1996 di Centennial Olympic Park, AS. Film ini disutradarai oleh  Clint Eastwood (2019). Meskipun tidak meraup untung, malah rugi 2 juta dollar, namun para kritikus memberi penilaian positif.

Jewell ini sosok yang menurut saya kelewat polos dan selalu punya niatan membantu. Pokoknya intensi dia adalah melakukan kebaikan sebanyak mungkin. Meskipun kadang-kadang ia hadir  dalam kondisi yang kurang tepat, sehingga  dianggap suka mengurusi apa-apa yang bukan urusannya. Suatu kali sebagai tukang bersih-bersih di kantor sebuah firma hukum, ia memeriksa laci meja tuannya. Ia tahu si tuan suka makanan Snickers. Dan menaruh banyak Snickers di laci mejanya. Supaya tuannya tidak kelaparan. Tindakan yang bagus. Tetapi bisa dinilai berlebihan.

Poster Film Richard Jewell (Sumber:cinemusefilms.com)
Poster Film Richard Jewell (Sumber:cinemusefilms.com)

Demikianlah ketika menemukan tas yang berisi bom paku, ia memberi peringatan pada pihak berwenang. Sayang sekali bom meledak sebelum evakuasi selesai dilakukan. Peristiwa itu menewaskan 2 orang serta melukai seratus-an orang lainnya. Seluruh profile dirinya: Latar belakang, kebiasaan-kebiasaan, kesukaan membantu dan sikap lainnya  justru "menjerumuskan"nya.

Meski ia dianggap sebagai penyelamat karena telah menemukan alat peledak itu, namun tuduhan mengarah kepada Jewell. FBI melakukan interogasi kepadanya. Separuh film berisi tentang ini. Jewell mengarah sebagai tersangka utama.Meskipun pada akhirnya tidak terbukti. 

Enam tahun kemudian pelaku pemboman yang asli berhasil ditangkap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun