Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Nafsiah Mboi: "Kondom Itu Barang Bodoh"

2 September 2022   11:37 Diperbarui: 2 September 2022   11:38 427
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi HIV pada anak (sumber: Kompas.com) 

Ini tulisan lama yang saya lakukan edit minor atasnya, terkait kasus positif HIV di Kota Bandung tertinggi se-Jawa Barat pada Januari hingga Juni 2022, antara lain seperti dikabarkan oleh Kompas.com (https://regional.kompas.com/read/2022/08/25/155623878/kasus-hiv-di-kota-bandung-tertinggi-di-jabar-ini-penyebab-dan-gejalanya).

Saya pernah mewawancarai dr. Andi Nafsiah Walinono Mboi, SpA, M.P.H  atau biasa disapa Nafsiah Mboi dalam kapasitasnya sebagai Menteri Kesehatan RI pada 2014. Kali itu terkait Peraturan Pemerintah (PP) No.61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang membolehkan aborsi dilakukan karena kedaruratan medis dan korban hasil perkosaan. Karuan saja ormas, LSM dan lembaga agama menentang keputusan tersebut. Bulan Maret tahun 2021 saya kembali mewawancarainya untuk kepentingan yang lain. Nafsiah kini adalah Ketua Pembina Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKIS).

Waktu saya masih SD tahun 1985, Ibu Nafsiah bersama Pak Ben Mboi (1935-2015) beberapa kali mengunjungi Sumba dalam kapasitas Pak Ben sebagai gubernur NTT (1978-1988). Kami, anak-anak SD selalu berbaris di tepi jalan meneriakan yel-yel "Operasi Nusa Hijau (ONH), Operasi Nusa Makmur (ONM)":  Hidup ONH....Hidup ONM....sambil tangan kanan dikepalkan.

Pak Ben dan Bu Nafsiah betul-betul berjuang mengangkat derajat kesehatan warga di Provinsi NTT. Mereka berhasil. Dan diganjar Ramon Magsaysay Award pada tahun 1986. Ini penghargaan yang punya mutu tinggi sampai sekarang.

Tetapi kerap langkah yang diambil Nafsiah Mboi memicu kontroversi.Tahun 2004, bersama Komisi Penanggulangan AIDS (KPA), Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional dan beberapa kementerian terkait melahirkan "kesepakatan Sentani" yang salah satu isinya adalah mempromosikan penggunaan kondom pada setiap aktifitas seksual berisiko. Karuan saja banyak pendeta di Papua menolak isi kesepakatan itu.

Belum lagi seminggu menjabat sebagai Menteri Kesehatan pada Juni 2012, Nafsiah sudah digoncang demonstrasi oleh sebuah ormas Islam. Gara-garanya adalah pernyataan Nafsiah tidak dikutip dengan benar oleh wartawan.

"Hari pertama saya jadi menteri, omongan saya sudah salah dikutip media. Mereka bilang, Menkes yang baru mau bagi-bagi kondom ke anak sekolah. Padahal itu bohong. Saya tidak pernah bilang begitu. Saya ada rekaman videonya. Lalu FPI berdemo di kantor saya. Pagar di depan kami ini dirusak oleh mereka. Saya bilang sama teman-teman, saya sudah biasa kok di demo seperti ini, jadi tidak usah khawatir," ujarnya sembari tertawa.

Suara Nafsiah kembali terdengar ketika di Jawa Barat sedang heboh soal penularan HIV (Human Immunodefiency Virus) dan ada usulan Wagub Uu Ruzhanul Ulum agar poligami dipermudah demi menekan angka penularan HIV. Belakangan Uu meminta maaf atas usulan tersebut. Menurut Nafsiah tidak sesimpel poligami, karena penanganan HIV cukup rumit.

Soal mempromosikan pemakaian kondom, sebenarnya apa motif  Anda melakukannya?  

Ini untuk pencegahan karena kita tahu angka seks beresiko, juga di kalangan pelajar cukup tinggi di Indonesia. Soal  (bagi-bagi) kondom ini yang ditanyakan FPI kepada saya. Yang pasti saya tidak pernah membagi-bagikan kondom kepada anak sekolah.  Yang saya sampaikan adalah kami memakai pendekatan yang komprehensif. Ada pendidikan agama, moral, seks dan pendidikan kesehatan reproduksi. Tetapi kalau ada orang yang cuekin agamanya dan dia ke tempat pelacuran, atau anak-anak sekolah melakukan hubungan seks berisiko, sebagai Menkes saya berkewajiban untuk mengatakan "jangan".  Saya wajib mencegah penularan bukan hanya HIV, tetapi semua jenis penyakit kelamin.  Saya berkewajiban menyetopnya. Itu tugas saya. Kalau saya biarkan, berarti saya tak becus sebagai Menkes.

Mereka jawab, "Nanti kondom akan membuat anak-anak muda melakukan seks bebas." Saya bilang, tanpa kondom pun mereka sudah seks bebas. Kondom itu barang bodoh. Kalau saya ajarkan bagaimana caranya memakai kondom, lalu kepada Anda saya bagi-bagikan kondom, keputusan datang ke lokalisasi ada pada Anda sendiri, bukan dari saya. Ini soal perilaku saja. Mereka tetap tidak setuju. Mereka bilang pake syariat Islam. Pelaku harus dirajam sampai mati di depan umum. Saya bilang, saya ini cuma Menkes, saya tidak berwenang untuk melakukan itu. Kalau mau dirajam, ya harus ada dalam hukum positif kita.  Akhirnya kami sepakat pisah baik-baik, dalam keadaan tidak sepakat.  Bagi saya silakan saja berdemo,   so what gitu loh, he-he-he-he.

 Tanpa kondom pun mereka sudah seks bebas. Kondom itu barang bodoh. Kalau saya ajarkan bagaimana caranya memakai kondom, lalu kepada Anda saya bagi-bagikan kondom, keputusan datang ke lokalisasi ada pada Anda sendiri, bukan dari saya.

Pengidap HIV/AIDS di Papua tergolong tinggi di Indonesia. Apa penyebabnya? 

Prevalensi di Papua 2,5 per 100 ribu penduduk, paling tinggi di Indonesia. Tinggi karena jumlah penduduk mereka sedikit. Misalnya yang terinfeksi seribu orang dengan penduduk hanya 1,5 juta jiwa berarti angkanya besar sekali, sementara di Jawa Barat dengan angka yang sama tetapi jumlah penduduknya 60 juta, jadi kecil sekali.  Waktu kami lakukan kajian, yang tahu tentang HIV/AIDS hanya 16% dan tinggal di perkotaan. Sementara di desa hampir nol, karena minimnya sarana transportasi dan komunikasi serta  sedikitnya tenaga kesehatan.  Belum lagi kebiasaan hidup masyarakat di sana. Mereka  sudah berhubungan seks sejak usia sangat muda. Di sana dianggap normal kalau laki-laki punya banyak pasangan. Jadi kami melancarkan kampanye besar-besaran terutama melalui sekolah, radio, gereja dan sebagainya.

Kabarnya ide bagi-bagi kondom  pernah juga ditolak pendeta-pendeta di Papua?

Mula-mula memang saya mendapatkan tantangan cukup besar (Nafsiah tertawa) terutama dari gereja. Para pemuka gereja kurang suka kalau saya bagi-bagi kondom gratis. Tetapi setelah saya sampaikan bahwa penyebaran HIV di Papua tidak sama dengan di daerah lain, barulah mereka melihat bahaya sangat besar. Mereka berbalik memberi dukungan. Belakangan soal HIV/AIDS  dan Kesehatan Reproduksi menjadi muatan lokal dalam kurikulum di Papua dan Papua Barat. Sementara daerah lain belum berani memasukkannya menjadi kurikulum. 

***

Virus HIV/AIDS di Papua  ditularkan melalui hubungan seksual, sementara di daerah lain kecuali lewat hubungan seks juga lewat narkoba. Di Jawa misalnya, kata Nafsiah,  penyebarannya terkonsentrasi pada yang mereka sebut "populasi kunci"  seperti gay, waria, pekerja seks dan pemakai napza. Sementara di Papua justru menyebar dalam masyarakat umum. "Nah ini sangat memudahkan penyebaran karena orang tidak bisa mendeteksi siapa saja yang sudah tertular," ujar Nafsiah.

Tahun 2013 saat Kementerian Kesehatan  melakukan survai perilaku seks, ternyata hasilnya  cukup stabil. Artinya, kata dia, prevalensinya tidak meningkat kecuali di daerah pegunungan karena terpencil dan sulit dijangkau informasi. "Di daerah gunung ada peningkatan. Tetapi di beberapa daerah mulai menurun  terutama di daerah perkotaan yang mendapatkan banyak informasi," jelas Nafsiah.

Sebagai Menkes Anda menyetujui aborsi, tetapi sebagai seorang Katolik Anda sangat menentang aborsi. Bagaimana menyelaraskan keduanya? 

Sebagai orang Kristen saya tidak akan melakukan aborsi seumur hidup sampai kapanpun dan  dalam kondisi apapun. Namun sebagai seorang dokter dan menteri kesehatan saya berkewajiban menyampaikan informasi terkait PP Kesehatan Reproduksi   itu. Sebagai Menkes, saya katakan bahwa ini ada aturan negara. Kesempatan ini boleh digunakan karena negara menghormati hak asasi wanita. Supaya korban perkosaan misalnya,  tidak dikorbankan dua kali.  Soal dosa atau tidak, itu urusan dia dengan Tuhan.

Penulis bersama Ibu Nafsiah Mboi (Dokpri) 
Penulis bersama Ibu Nafsiah Mboi (Dokpri) 

Apakah PP ini melegalkan aborsi?

Oh tidak. Inilah salah persepsi kita selama ini. Kami bukan melegalkan aborsi, sebab persyaratan yang dilewati (untuk melakukan aborsi) sangat ketat. Dalam Pasal 31 disebutkan tindakan aborsi dapat dilakukan atas dasar kedaruratan medis dan kehamilan akibat perkosaan. Namun tindakan aborsi akibat perkosaan ini hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir sesuai dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Bagaimana pandangan lembaga agama yang lain soal ini? 

Saya mengerti apa yang kamu katakan, karena paham soal kehidupan pada agama-agama yang lain juga berbeda. Dalam sosialisasi semua lembaga agama akan kami datangi. Kalau dia hamil karena perkosaan, atau bayi di dalam kandungannya bisa meracuni dia,  saya tidak tahu apakah ada aturan di dalam agama Katolik, Protestan, Hindu, Buddha dan agama lainnya  yang membuat pengecualian ini?  Di dalam UU kesehatan sudah diputuskan bahwa ini boleh dikecualikan.  Dari segi hukum ini benar, karena kita menjunjung tinggi hak seorang wanita. Sebab biasanya seorang perempuan "dihukum" dobel-dobel. Dia sudah menderita karena kekerasan seksual, dia harus menderita pula karena kehamilannya,  dan dia dicaci-maki oleh masyarakat sekitarnya.  Sebagai pemerintah kami ingin menjamin hak asasi seorang wanita  dari segi hukum baik secara fisik, mental maupun sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun