Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

HIV-AIDS, Tantangan Hidup Sehari-Hari di Pegunungan Tengah Papua

22 Agustus 2022   06:23 Diperbarui: 23 Agustus 2022   03:57 728
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi virus HIV. Sumber: Shutterstock via Kompas.com

Masalah kesehatan utama di Papua adalah ATM: AIDS, TB dan Malaria. Tiga penyakit ini telah menahun dan memakan banyak korban jiwa. Saat Covid-19 datang, Pemerintah terlalu fokus ke sana. Resikonya, tiga penyakit mematikan ini tidak mendapat prioritas lagi.

Saya pernah berada di Wamena  atas undangan Yayasan Wahana Visi Indonesia (WVI), antara lain untuk mendokumentasikan program penanganan HIV-AIDS yang mereka lakukan.

"Kalau anak-anak di daerah lain mengenal HIV-AIDS lewat pelajaran di sekolah, remaja di Pegunungan Tengah Papua mengenalnya lewat kehidupan mereka sehari-hari," kata Sonya Tadoe, kepala penerangan HIV-AIDS Yayasan WVI ketika itu.

***

Drg. Gabriela Yuristianti Andayani, MPH menerima  saya di bangsal Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Wamena. RS ini berhalaman luas dengan bangsal-bangsal yang dibangun terpisah. Ada lorong yang menghubungkan setiap bangsal. Diberi atap. Beberapa pasien atau pengantar pasien tampak duduk-duduk di rumput taman.


Inilah rumah sakit terbesar di Lembah Baliem yang melayani tujuh kabupaten di Pegunungan Tengah: Jayawijaya, Tolikara, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Yalimo, Yahukimo dan  Nduga. Tujuh kabupaten ini sering disebut dengan istilah Lapago.

Dokter Anti kelahiran Yogyakarta. Separuh hidupnya ia habiskan di sana. Tahun 1993 setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gajah Mada Yogyakarta, ia menjadi staf Unicef di Jayapura. Bolak-balik Jayapura-Jakarta. Ia menetap di Wamena sejak tahun 2010. Sebagai penanggung jawab Program HIV dan IMS, Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan (PMK) Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL), Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya.

"Aku lahir dan besar di Yogyakarta. Rumahku di Jalan Magelang," jelasnya. Ia umat Gereja St. Albertus Agung Jetis, Yogyakarta.

Tahun 1996 kasus HIV-AIDS pertama ditemukan di Wamena. Ketika itu, kata dia,  mereka penasaran saja mengecek, apakah penyakit itu sudah sampai ke Jayawijaya?  Soalnya di Jayapura dan Merauke sudah ditemukan dan menyebar.

"Orang dengan gejala seperti HIV positif ada. Seperti terkena flu, demam, tenggorokan sakit, nyeri persendian, diare, dan mudah lelah. Tapi pada tahun pertama-kedua belum tampak gejalanya,  sampai suatu saat orang demam panjang dan berat badannya turun drastis tanpa sebab. Tahun 1996 itu, kami sudah temukan 8 orang yang positif HIV di Wamena," kata Anti.

Kecurigaan mereka bertambah sebab pasien dengan penyakit menular seksual (PMS) dan tuberculosis tinggi di sana. Tim bertambah  khawatir. Jangan-jangan Wamena sudah terpapar penyakit mematikan itu?

Anti bersama beberapa dokter yang lain dan pekerja LSM membuat studi kualitatif tentang perilaku seksual di kalangan remaja Wamena pada tahun yang sama.

"Asumsi awal bahwa penularan lewat jarum suntik kecil kemungkinannya di Wamena. Narkotika belum popular di sini. Berarti lewat cari lain. Yakni berhubungan seks," simpul Anti.

Benar saja. Studi itu menemukan angka seks bebas yang cukup tinggi di kalangan remaja. Juga ditemukan bahwa anak laki-laki muda lebih suka berhubungan seksual dengan perempuan yang sudah pernah melakukan hubungan seks. Mereka tidak tertarik dengan keperawanan. Kesimpulan lain, perilaku seksual dipengaruhi oleh alkohol.

 "Anak-anak muda ini tidak terlalu peduli dengan virus HIV.  Bahkan mereka juga tidak tahu kalau sudah tertular. Tenang-tenang saja.  Selama tidak ada gejala fisik apa pun, mereka berpikir tidak ada masalah," kata dia.

Informasi tentang HIV-AIDS waktu itu masih minim.

(Sumber: KabarPapua.com)
(Sumber: KabarPapua.com)

Setelah penelitian itu dokter Anti langsung menyalakan alarm. "Kami bilang, angkanya pasti lebih tinggi. Karena yang kami tes hanya mereka yang datang ke rumah sakit dengan gejala awal HIV. Kami tidak pernah secara aktif datang ke kampung-kampung," kata dia.

 Tahun 1996 itu, Anti belum menetap di Wamena. Ia hanya datang dan pergi sebagai konsultan Unicef. Namun, tahun 2007,  ketika datang  lagi ke Wamena, jumlah yang positif terinfeksi HIV mencapai 82 orang. Lalu ia ditarik ke Jakarta.

Tahun  2010, ia kembali ke Wamena. Kali ini untuk menetap. Belum ada percakapan yang jelas mengenai jumlah dan tata cara penanganan. Setiap lembaga di Wamena mengeluarkan angkanya sendiri-sendiri. Karena itu, Pemda Jayawijaya membentuk program penanggulangan penularan HIV-AIDS: Program HIV dan IMS, Bidang PMK (P2PL), Dinas Kesehatan Kabupaten Jayawijaya. Dokter Anti jadi ketuanya.

Kerja lembaga ini adalah melakukan penyadaran tentang  ODHA, penyuluhan tentang pencegahan penularan HIV/AIDS, dan kesadaran minum obat bagi yang telah terinfeksi.

Sementara itu, di sisi lain,  WVI yang sudah berada di Wamena sejak tahun 1980, telah menjalankan kampanye pencegahan penularan HIV-AIDS ke sekolah dan gereja-gereja. Mereka merekrut remaja sebagai Sahabat Sumber Informasi (SSI) yang menjadi peer educator, mengajar tentang bahaya HIV-AIDS kepada teman sebayanya.

WVI juga berkampanye lewat radio Voice Baliem Children tentang hal itu.

"Kami rekrut remaja sebagai Sahabat Sumber Informasi," kata Sonya Tadoe, koordinator kesehatan WVI ADP Eruwok. Sonya mengatakan, kalau anak-anak di daerah lain mengenal HIV-AIDS lewat pelajaran di sekolah, remaja di Pegunungan Tengah Papua mengenalnya lewat kehidupan mereka sehari-hari.

Perempuan asal NTT ini telah empat tahun berada di Lanny Jaya. Ia mengaku terkaget-kaget ketika pertama kali mendengar cerita tentang usia pelaku seks bebas dan tingginya penyebaran HIV-AIDS di kalangan anak muda dan remaja.

"Angka pengidap HIV positif paling tinggi di Lanny Jaya adalah usia 10-24 tahun. Ada yang masih SD," kata Sonya mashgul.   "Mereka tertular lewat berhubungan seks," ujar Sonya lagi.

Untuk memastikan hal ini, saya melakukan konfirmasi kepada dokter Anti.

"Betul usia 10-24 pada anak perempuan. Sangat mengagetkan bahwa yang di bawah  15 tahun bisa terkena HIV. Saya tidak membayangkan pada usia berapa dia mulai aktif berhubungan?" ujarnya. Sementara anak laki-laki yang terpapar virus ini antara usia 20-24 tahun.

Menurut Sonya, sebagian dari  remaja Pegunungan Tengah, rentan berhubungan seks sejak SD atau SMP setelah mereka mulai tertarik dengan lawan jenis dan berpacaran. Apalagi video porno yang beredar lewat telepon seluler, kian marak.

"Suatu kali kami bikin penyuluhan HIV-AIDS. Pesertanya anak-anak SD kelas lima dan enam, SMP dan SMA. Terus dalam acara itu kita tanya secara spontan, siapa di antara mereka yang sudah pernah berhubungan seks? Beberapa langsung angkat tangan. Yang bikin shock itu adalah masih ada yang kelas 5 SD dan beberapa SMP. Saya sampai menangis," kata Sonya.

 Bukan sekali ini saja Sonya mendapati kenyataan bahwa anak-anak dan remaja  di Pegunungan Tengah telah sering berhubungan seks. Kerap dalam percakapan dengan mereka, beberapa anak melaporkan bahwa temannya sudah pernah berhubungan seks.

"Saya percaya karena antar sesama teman mereka lebih terbuka. Lagipula itu menjadi kebanggaan tersendiri buat mereka. Pamer," kata Sonya. 

Seks bebas ini membuat banyak remaja putri hamil di luar nikah. Ini persoalan baru lagi, karena mereka harus melahirkan anak tanpa pertanggungjawaban. Atau kerap kali orangtua minta digugurkan.

"Cukup banyak pelajar yang menderita penyakit infeksi menular seksual karena seks bebas. Ini pintu gerbang menuju penularan HIV," kata dokter Anti.

 ***

HIV-AIDS di Papua pertama kali ditemukan di Merauke pada Oktober 1992 dari seorang nelayan Thailand. Nelayan ini sebelumnya sering keluar-masuk lokalisasi Belt Besi dan Yobar, dan tempat hiburan lain di daerah itu. Nelayan Thailand ini berada di Merauke  karena kehabisan air minum dan makanan. Mereka kemudian mencari pusat hiburan di kota itu setelah  beberapa minggu berlayar di laut. Mereka berhubungan dengan PSK di Merauke. Ada di antara mereka yang memiliki penyakit aneh yang belum pernah ditemukan dokter selama itu di Merauke. Penyakit inilah yang kemudian merebak hingga ke pelosok Papua seiring dengan mobilitas manusia.

Kasus HIV-AIDS di Papua dalam kondisi genting dan perlu perhatian serius. Laporan Perkembangan HIV-AIDS per 1 Desember 2021 dari Komisi Penanggulangan Aids Papua (KPA) menunjukkan 46.967 ribu orang  yang tersebar pada 29 kota/kabupaten.

"Dari data terbaru Jayapura paling tinggi dengan 558 kasus menyusul Nabire dengan 466 kasus. Dua daerah ini yang tertinggi," kata Anton Mote, Ketua Harian KPA Papua seperti dikutip antaranews.com (1/12/2021).

 Bulan Juli 2022, jumlah kasus HIV-AIDS di sana bertambah 995 kasus baru  meningkat menjadi 47.962.

"Masalah HIV di Tanah Papua terjadi peningkatan cukup tinggi. Dalam waktu dekat kami akan melaksanakan survei ke-29 kabupaten/kota untuk mendapatkan data ril terkait kondisi saat ini di setiap kabupaten. Setelah itu kami akan lakukan penataan, pemetaan masalah dan akan menyusun program (penanganan) yang segera kami laksanakan di akhir tahun 2022, yang juga akan menjadi program di tahun 2023," kata Anton Mote, Senin, (1/8/2022) seperti diberitakan kbri.id. Dari 47.962 kasus HIV-AIDS di Papua, terdiri dari 22.458 pria, 25.413 wanita, dan 91 kasus tidak diketahui jenis kelamin pengidapnya.

***

Saya datang ke Hepuba, di Distrik Asolokobal. Sekitar 12 km ke luar kota Wamena. Gereja Katolik Kristus Penebus berada di sana. Saya ingin ketemu Pastor John Jonga.

John kepala paroki di sana. Namun hari  minggu itu ia sedang terburu-buru setelah misa minggu pagi yang sepi.  Gereja yang biasanya menampung 300 umat lengang. Misa hanya diikuti tak sampai 20 orang. Ternyata ada anggota jemaatnya yang meninggal. Sebab kalau ada yang meninggal, kata dia, umat pasti tak ada yang ke gereja.  Umat memilih pergi berkabung. Pastor John perlu segera mempersembahkan  misa arwah ke sana. Sebelum jenazah dikremasi.

 "Hari ini ada tiga kali misa orang mati. Dua di antaranya meninggal karena HIV-AIDS," kata Pastor John yang pernah menerima  Yap Thiam Hien Award tahun 2009.  

John mengaku tidak paham soal HIV-AIDS, tetapi ia mengaku trenyuh mendengar umat yang ia beri perminyakan suci atau dilakukan misa requiem meninggal karena penyakit itu.

Dokter Anti menyarankan saya mengunjungi pemakaman di ujung bandara Wamena. "Coba saja masuk dan lihat. Rata-rata yang meninggal di situ usia produktif," ujarnya.

***

Lemahnya pengawasan orangtua menjadi salah satu pemicu tingginya angka seks bebas di Pegunungan Tengah. Belum lagi tekanan pergaulan yang menganggap mereka yang belum berhubungan seks sebagai pribadi lemah.

Sonya bercerita tentang budaya tukar gelang. Jika ada acara entah itu pesta gereja, panen raya, kampanye pilkada, para remaja di Pegunungan Tengah berkumpul, nyanyi-nyanyi dan kemudian memadamkan unggun. Siapa saja yang hadir di situ boleh menarik pasangan mana saja. Mereka pergi berhubungan seks.

Lalu, mereka kembali lagi, nyanyi-nyanyi lagi, unggun padam, dan terjadi lagi. Begitu sampai pagi. "Dari cerita remaja yang kami dampingi, satu malam mereka bisa berganti pasangan sampai 10 kali," kata Sonya.

Menurut dokter Anti, alkohol sangat berperan dalam acara-acara seperti itu. "Kalau sudah mabuk, mereka bisa lakukan apa saja. Saya khawatir jangan-jangan terjadi perkosaan di situ," ujarnya.

Tetapi bagi banyak kalangan di Wamena, budaya tukar gelang sudah dipahami secara keliru oleh remaja sekarang. Tukar gelang sebenarnya adalah media untuk saling mengenal di antara para lajang suku Dani di Lembah Baliem, Pegunungan Tengah, Papua.

Tukar gelang juga adalah upaya penghiburan pada rangkaian upacara kematian atau sejumlah kegiatan adat lain, seperti peresmian rumah baru. Hal itu bertujuan memperkuat kekerabatan dan pelaksanaannya diawasi orangtua, tokoh adat, dan tokoh agama karena mereka yang bertukar gelang tak boleh berasal dari kelompok marga yang sama.

Dari tukar gelang itu, dilanjutkan ke hubungan pacaran atau pernikahan, terserah ke setiap pasangan dan keluarga.

Tetapi kini, sebagian remaja bertukar gelang secara diam-diam dan dalam berbagai kesempatan. Maknanya pun bergeser menjadi upaya mencari pasangan, termasuk mencari pasangan yang bisa diajak berhubungan intim. Bahkan, kini kegiatan tersebut diwarnai perjudian.

***

Yang masih kerap mengganggu pikiran Dokter Anti adalah,  jalan keluar dari persoalan penyebaran HIV-AIDS di Pegunungan Tengah.

Sekarang mereka menggalakkan puskesmas dan rumah sakit yang ditunjuk agar memberi Voluntary Counselling and Testing (VCT) atau layanan konseling dan tes sukarela kepada ibu hamil yang datang untuk pemeriksaan antenatal. Setelah konseling, kata Dokter Anti, para ibu hamil ini ditawari untuk pengambilan rapid test HIV-AIDS.

"Tidak lama, hanya 10-15 menit sudah ketahuan apakah negatif atau positif," ujarnya.

Jika positif  HIV, sang ibu dirujuk ke bidan atau dokter yang bertanggung jawab akan VCT, yang kemudian akan memberi obat Co-trimoxazole Prophylaxis, sebelum kemudian memberi paket obat-obatan antiretroviral (ARV), yang dibutuhkan.

"Kalau ketahuan lebih cepat, penanganan juga bisa lebih dini," ujarnya.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun