Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jejak Kolonial di Pulau Sumba: dari Perang hingga Sistem Pemerintahan

17 Agustus 2022   08:08 Diperbarui: 24 Agustus 2022   16:09 2489
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis (kanan) bersama sebagian warga Parona (kampung) Bongu ) di Desa Ana Kaka, Kecamatan Kodi, Kabupaten Sumba Barat Daya (Dokpri)

    3.  Raja berjanji akan mematuhi seluruh perintah yang ditetapkan Belanda.

Sebelumnya ada Lange Verklaring atau Perjanjian Panjang yang berisi daftar panjang perjanjian dan peraturan yang sangat detail. Barangkali karena dalam pelaksanaannya kurang efektif sehingga dibuatlah Perjanjian Pendek ini.

Berbeda dengan Perjanjian Panjang yang menetapkan banyak persyaratan, dalam Perjanjian Pendek sebuah swapraja hanya perlu menyatakan tiga syarat di atas. 

Dengan demikian, penertiban di banyak daerah di luar Jawa dapat terlaksana dengan cepat. Melalui Korte Verklaring ini pula pemerintah Hindia Belanda mempunyai kewenangan untuk menarik pajak dari rakyat.

Demikianlah, Sumba telah dibagi atas 16 swapraja dengan masing-masing raja menandatangani Perjanjian Pendek di atas. Pemerintah Hindia Belanda mengontrol pemerintahannya melalui raja-raja yang telah diangkat.

Pemerintah Hindia Belanda menerapkan dua sistem administrasi pemerintahan dalam menguasai Indonesia yakni: Pertama, memerintah langsung sebuah daerah misalnya Jakarta (Batavia) dan kota-kota besar di Pulau Jawa. 

Artinya, seluruh staf penyelenggara pemerintahan adalah orang Belanda. Kedua, memakai sistem "zelfbesturen", yakni  daerah-daerah yang dikuasai memiliki pemerintahan sendiri (lokal), namun mengikat perjanjian dengan Belanda.

Sebelum tahun 1902, di Sumba pada umumnya belum ada kerajaan. Setiap kampung atau suku memiliki pemimpinnya sendiri, dengan sebutan yang berbeda-beda. Demikian pula yang terjadi di Kodi kala itu.

Belanda Menguasai Kodi 

Tahun 1902 Belanda telah menguasai Kodi sepenuhnya. Mereka minta masyarakat Kodi memilih seorang pemimpin sebagai administrator dan wakil penguasa Belanda. Pemimpin yang dipilih rakyat akan diberi sebatang tongkat emas sebagai simbol kekuasaan, mempunyai kantor di mana ia berkedudukan dan memerintah. Sebab itu raja di Kodi disebut "tokko" mengacu pada tongkat emas yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai simbol untuk memerintah. Secara harafiah "tokko" berarti tongkat.

Pertemuan digelar di Kampung Tohikyo (Tosi), di rumah tempat menyimpan sebuah guci keramat yang didirikan oleh Rato Pokilo, seorang pendiri kampung besar (parona) di Kodi. Peserta pertemuan sepakat memilih keturunan Rato Pokilo, yakni pada diri Rato Loghe Kanduyo, seorang pembicara adat dan orator andal. Ia menjadi raja pertama di Kodi.

Makam Warat Wona, istri pemimpin Laskar Kodi Wona Kaka di Kampung Bongu (Foto:Lex) 
Makam Warat Wona, istri pemimpin Laskar Kodi Wona Kaka di Kampung Bongu (Foto:Lex) 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun