Mohon tunggu...
Alex Japalatu
Alex Japalatu Mohon Tunggu... Penulis - Jurnalis

Suka kopi, musik, film dan jalan-jalan. Senang menulis tentang kebiasaan sehari-hari warga di berbagai pelosok Indonesia yang didatangi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mari Belajar dari Kasus Buku PPKN Kelas VII

27 Juli 2022   10:19 Diperbarui: 27 Juli 2022   10:27 1050
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya mau berbagi pengalaman. Tapi saya bikin peryataan dulu di depan bahwa saya belum banyak menulis. Sedang dalam proses belajar terus-menerus. Masih jatuh-bangun.

Sudah sekitar 40-an buku yang saya tulis dan edit---sebagian besar adalah buku pesanan atau bekerja atas permintaan lembaga/yayasan/pribadi---serta menulis sekitar 300-an catatan perjalanan dan artikel. 

Setiap kali menyelesaikan draft buku, saya akan kirim kepada editor atau penanggungjawab buku untuk dilakukan koreksi. Tetapi yakinlah, draft yang saya kirim sudah melewati masa "mengendap" minimal seminggu pada saya. 

Saya membaca setiap artikel atau bab berulang-ulang. Nama orang, alamat, gelar, usia, saya pastikan tidak salah. Baru saya masuk ke inti pesan dari buku tersebut.

Setelah dibaca editor atau penanggungjawab, saya melakukan input atas koreksi mereka. Lalu kirim lagi agar mereka memeriksanya. Nanti, pas didesain, periksa lagi file pdf. Coret-coret lagi. Lalu input lagi. Kemudian naik cetak dan beredar.

Lima kali bolak-balik. Agar isi dan desain buku tak salah!

Kalau ia praktik baik tentang kesehatan misalnya, pesannya harus jelas. Clear! Kalau menyangkut sejarah, harus jelas sumbernya dari mana atau siapa, metodenya bagaimana? Saya menghitung, dari panjang 2000 kata untuk sebuah kisah atau artikel (untuk mengambil contoh), berapa persen "daging"nya dan berapa persen "bumbu" yang bikin ia enak dibaca. Bumbu jangan lebih banyak dari daging.

Saya kasih contoh. Suatu kali sekitar tahun 2015 kami menulis tentang para Saksi Jehova di Indonesia. Ada tulisan Panjang sekitar 15 ribu kata dalam format majalah. Dibagi dalam beberapa kompartemen. Setelah dua minggu berkutat dengan wawancara, transkrip, studi pustaka dll, sebuah draft sudah jadi. Kami mendatangi para anggota gereja ini di Jalan Gunung Sahari Jakarta. 

Para narasumber yang kami wawancarai. Dan para petinggi Saksi Jehova. Minta waktu mereka untuk membaca seluruh isi tulisan. Terutama yang terkait dengan teologi mereka yang tidak menjadikan Yesus sebagai Tuhan, namun "hanya" sebagai utusan Tuhan. Seperti para nabi.

Sebab hal ini bertentangan dengan pengakuan sebagai bagian dari agama Kristen yang doktrinnya jelas: Percaya Yesus sebagai Tuhan.

Tujuan kami satu: Agar jangan ada salah paham. Sebab para Saksi Jehova kerap disudutkan dan tidak dianggap sebagai bagian dari Agama Kristen. Bahkan pernah dilarang di Indonesia. Sampai suatu ketika Presiden Gus Dur memulihkan lagi hak mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun