Mohon tunggu...
Alexander Philiph
Alexander Philiph Mohon Tunggu... Auditor - Buruh Pemerintah RI di BPKP || Founder PeopleTalkPeople || Pengamen & Tukang Potret di Jalanan || Gamer || Penulis Lepas

“Agama bukanlah candu bagi masyarakat, Agama itu pembenaran akan keyakinan yang telah menjadi tradisi dan budaya. Ketika pembenaran itu bertemu dengan pembenaran yang lain, distorsi bisa saja terjadi yang acapkali kaum minoritas menjadi korban dari pembenaran atas keyakinan itu sendiri, yang belum tentu apakah kenyakinan tersebut bisa dipertanggungjawabkan atau tidak. (Alexander Philiph Sitinjak)” -LIA, Lux In Adulescens!! (Cahaya Dalam Anak Muda)-

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Tolak Hukuman Mati! (Ajaran Gereja Katolik)

3 Juli 2023   12:11 Diperbarui: 3 Juli 2023   12:17 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tolak Hukuman Mati ! (Ajaran Gereja Katolik)

Oleh : Alexander Philiph Sitinjak (Departemen Politik dan Hubungan Antar Lembaga Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Katolik / Ketua Bidang Lintas Iman Patria)

Hukuman mati adalah hukuman yang diberikan kepada seseorang sebagai akibat dari melakukan kejahatan tertentu, biasanya kejahatan yang sangat serius seperti pembunuhan berencana, terorisme, pengkhianatan, atau kejahatan perang. Pendekatan terhadap hukuman mati bervariasi di seluruh dunia dan berdasarkan sistem hukum yang berlaku di suatu negara. Pendukung hukuman mati mempunyai argumentasi, hukuman mati merupakan bentuk keadilan dan dapat memberikan efek jera serta mencegah terjadinya kejahatan yang serupa. Selain itu mereka berpendapat bahwa hukuman mati dapat memberikan kepuasan kepada para korban dan keluarga mereka, serta menunjukkan betapa seriusnya kejahatan yang dilakukan.

Pada dasarnya Indonesia merupakan negara yang mengakui eksistensi Hak Asasi Manusia, dalam Undang-undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan juga dalam perkembangan amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang ke-2 dari pasal 28A-28J yang pokoknya membahas tentang Hak Asasi Manusia. Lebih dari itu Indonesia mempertegas pengakuan atas penegakan Hak Asasi Manusia dengan amanat TAP MPR NO XVII tahun 1998 tentang pembentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia / Komnas HAM (disadur dari tulisan Satria Perdana, S.H.,M.H.). 

Hukuman pidana mati di Indonesia mulanya diatur dalam Pasal 11 jo Pasal 10 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Lalu diubah dan dijabarkan kembali dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2/PNPS/1964. Pasal 1 dari UU 2/PNPS/1964, menentukan bahwa hukuman mati dengan cara ditembak dilakukan dengan cara ditembak hingga mati. Kalimat ini menimbulkan pengertian bahwa kematian yang akan diterima oleh Terpidana tidak sekaligus terjadi dalam “satu kali tembakan”, namun harus dilakukan secara berkali-kali hingga mati. UU tersebut juga menyatakan, hukuman mati merupakan pidana atau vonis yang dijatuhkan pengadilan atau tanpa pengadilan sebagai bentuk hukuman terberat bagi seseorang akibat perbuatannya. Tata cara hukuman mati dilakukan dengan menembak mati.

Sedangkan kriteria-kriteria yang menjadi dasar hukuman mati oleh para penegak hukum, melalui pasal 104 KUHP: makar membunuh Kepala Negara (Presiden), pasal 111 ayat 2 KUHP: mengajak negara asing menyerang Indonesia, pasal 124 ayat 3 KUHP: memberikan pertolongan kepada musuh pada saat Indonesia dalam keadaan perang, pasal 140 ayat 4 KUHP: membunuh Kepala Negara sahabat, pasal 340 KUHP: pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu,  dan pasal 365 ayat 4 KUHP: pencurian dan kekerasan oleh dua orang atau lebih dan mengakibatkan seseorang mengalami luka berat atau mati. Selain itu kejahatan berupa penyalahgunaan narkotika juga diancam dengan hukuman mati. Hal ini tertuang dalam beberapa pasal di UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Ada pula pelaku tindak pidana korupsi yang juga diancam hukuman mati sesuai Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Terakhir eksekusi hukuman mati yang diberlakukan oleh Indonesia pada 29 Juli 2016 terhadap 4 terpidana mati kasus narkoba yakni Michael Titus, Humprey Ejike, Gejetan Uchen Onyeworo Seck Osmane, dan Freddy Budiman. Masih ada ratusan orang terpidana mati yang menanti dieksekusi oleh Pemerintah Indonesia.

Dalam ajaran Gereja Katolik sendiri tentang pemberlakuan hukuman mati pada dasarnya Gereja menolak dan menentang hukuman mati dalam kasus apapun. Pernyataan yang dikeluarkan pada tahun 2018 oleh Paus Fransiskus: hukuman mati menyangkal martabat yang melekat pada semua manusia. Gereja Katolik melakukan revisi terhadap Katekismus Gereja Katolik (KGK) no. 2267. Revisi ini dimaksudkan menanggapi perkembangan positif terutama mengenai penghargaan akan hidup dan martabat manusia, setelah Yohanes Paulus II menerbitkan Ensiklik Evangelium Vitae, yang antara lain berbunyi, “Bahkan seorang pembunuhpun tidak kehilangan martabat pribadinya, dan Tuhan sendiri yang berjanji untuk menjaminnya.” (EV. No. 9). Permintaan Paus Fransiskus itu sejalan dengan pernyataan pendahulunya, Benedictus XVI, “perhatian pemimpim masyarakat masa kini semakin besar terhadap penghapusan hukuman mati.” (Post Synodal Apostolic Exhortation Africæ Munus no. 83). Revisi terakhir 1 Agustus 2018. KGK no. 2267 itu berbunyi, “Melakukan hukuman mati yang dilakukan oleh penguasa yang sah, sesudah melalui pengadilan yang adil, sudah lama dipandang sebagai jawaban yang cocok terhadap beratnya kejahatan tertentu dan dapat diterima, sekalipun hal itu dipandang sebagai yang ekstrim sebagai cara untuk menjaga kebaikan bersama. 

Namun dewasa ini semakin disadari bahwa martabat pribadi manusia tidaklah hilang juga seandainya dia telah melakukan kejahatan yang sangat serius. Lagi pula, suatu pemahaman yang baru telah muncul mengenai makna sangsi hukuman yang diberikan oleh negara. Pada masa akhir-akhir ini, juga sudah dikembangkan sistem penahanan yang lebih efektif yang menjamin perlindungan warga negara, tetapi pada saat yang sama, tidak memungkinkan orang yang bersalah itu untuk mendapatkan pengampunan secara definitif. Konsekuensinya Gereja mengajarkan, dalam terang Injil, bahwa hukuman mati tidak bisa diterima sebab hal ini menyerang martabat pribadi manusia yang tidak bisa diganggu gugat, dan Gereja berusaha dengan kuat agar hukuman mati ini dihapuskan dari muka bumi.”

Masalah hukuman mati sungguh merupakan suatu topik yang tak henti-hentinya diperdebatkan di seluruh dunia. Bagi iman Katolik jelas dan kuat karena ajaran Gereja mengenai kekudusan hidup manusia dan martabat manusia. Memang dalam Perjanjian Lama di Alkitab, Tuhan telah memberi perintah hukuman mati dalam kejadian 9:6 yang berbunyi: "Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia sebab Allah membuat manusia itu menurut gambar-Nya sendiri”. Jadi pada zaman Perjanjian Lama, hukuman mati diperbolehkan. Walaupun demikian, Allah juga menunjukkan kemurahan-Nya ketika harus menjatuhkan hukuman mati. Hal ini terlihat dalam kasus Daud ketika melakukan perzinahan dan pembunuhan namun Tuhan tidak menuntut nyawanya (2 Samuel 11:1-27; 12:3). Namun dengan hadirnya Yesus Kristus di tengah umat manusia kala itu, dikisahkan dalam Perjanjian Baru di Alkitab, Yesus mengampuni Perempuan Penzinah, ia sangat menentang hukuman mati yang dituntut oleh Ahli Taurat dan orang Farisi karena Hukum Taurat mengatur bahwa jika seorang wanita atau pria kedapatan berbuat zinah maka pelaku zinah itu harus dirajam dengan batu hingga mati (Ulangan 22:23-24). Tetapi kenyataannya Yesus melepaskan perempuan itu dan tidak menghukumnya. Yesus ingin mengajarkan bahwa semua manusia adalah manusia yang berdosa dan tidak layak untuk menghakimi sesamanya (Yohanes 8:7, Matius 7:1-5).

Penolakan Hukuman Mati oleh Gereja Katolik selain berbicara tentang martabat manusia, khususnya hak untuk hidup dan tidak ada otoritas manusia yang dapat mengambil nyawa manusia lainnya. Ada harapan lain hukuman yang dijatuhkan atas seorang pelaku kejahatan haruslah membangkitkan motivasi dalam dirinya untuk memperbaiki diri. Penjahat yang dijatuhi hukuman diharapkan tergerak untuk melihat jalannya yang salah, bertobat dan kemudian mengubah hidupnya. Hukuman yang adil berusaha menyeimbangkan ketiga perspektif ini: ganti rugi, pencegahan dan perbaikan diri. Perlu diperhatikan juga bahwa dalam menerapkan hukuman yang demikian, negara harus menjamin sebaik mungkin bahwa terdakwa diadili dengan adil dan bahwa hanya otoritas yang sah saja yang dapat menjatuhkan sanksi. (Pater William P. Saunders)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun