Paradigma lama intelijen yang bekerja dalam ruang tertutup tidak lagi relevan. Transformasi diperlukan, bukan hanya dalam hal teknologi, tetapi juga dalam cara pandang. Intelijen harus mulai melibatkan aktor non-negara, termasuk akademisi, sektor swasta, dan masyarakat sipil, dalam membangun ekosistem ketahanan informasi. Dunia intelijen tidak lagi bisa eksklusif, karena ancaman informasi menuntut kolaborasi lintas sektor.
Namun ada tantangan besar lain yang tak boleh diabaikan: literasi digital masyarakat. Intelijen sekuat apa pun tidak akan mampu membendung arus hoaks jika masyarakat sendiri tidak memiliki daya kritis. Oleh karena itu, pembangunan kesadaran digital publik menjadi pertahanan pertama yang tak kalah penting dibandingkan dengan penguatan teknologi. Masyarakat yang cerdas akan menjadi benteng utama menghadapi manipulasi informasi.
Di sisi lain, revolusi informasi juga membawa dilema bagi demokrasi. Keterbukaan data memang memperluas ruang partisipasi, tetapi sekaligus membuka celah bagi manipulasi. Demokrasi bisa disalahgunakan dengan mengandalkan arus informasi yang menyesatkan. Intelijen di sini dituntut menjaga keseimbangan: melindungi kebebasan sipil sekaligus memastikan ruang demokrasi tidak dibajak oleh informasi palsu.
Persoalan etika juga menjadi sorotan yang tak kalah penting. Dengan kemampuan teknologi yang semakin canggih, sampai sejauh mana intelijen boleh masuk ke ranah privasi warganya? Apakah atas nama keamanan negara, segala hal bisa dibenarkan? Pertanyaan moral semacam ini tidak bisa dihindari. Sebab, kekuatan besar yang dimiliki intelijen selalu membawa risiko penyalahgunaan kekuasaan jika tidak dikendalikan dengan prinsip etis.
Sebagai aktivis mahasiswa yang menaruh perhatian pada isu intelijen, saya melihat revolusi informasi bukan semata ancaman, melainkan juga peluang. Dengan pengelolaan yang tepat, informasi dapat dijadikan modal untuk memperkuat diplomasi, memperluas pengaruh, dan membangun ketahanan bangsa. Namun, syarat utamanya adalah keberanian untuk bertransformasi dan tidak terpaku pada cara lama.
Dunia intelijen Indonesia harus berani mengambil langkah visioner. Mereka harus hadir bukan hanya sebagai pengawas dari balik layar, tetapi juga sebagai bagian dari pendidikan publik dalam melawan disinformasi. Intelijen harus menjadi garda terdepan yang tidak hanya menjaga rahasia negara, tetapi juga menjaga integritas demokrasi dan masa depan bangsa.
Pada akhirnya, revolusi informasi adalah arena perebutan kekuasaan baru. Siapa yang menguasai informasi, dialah yang menguasai masa depan. Negara yang gagal beradaptasi akan terpinggirkan, sementara mereka yang mampu menjadikan informasi sebagai senjata strategis akan muncul sebagai pemenang. Intelijen berada di jantung pertarungan ini, dan keberhasilan mereka akan menentukan nasib bangsa di era globalisasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI