Oleh: Alex Manurung
 Aktivis Mahasiswa Kepulauan Riau
Dunia hari ini berada pada sebuah era yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, revolusi informasi. Informasi bergerak tanpa batas, lintas negara, lintas budaya, dan lintas waktu, dengan kecepatan yang melampaui kemampuan regulasi konvensional. Ia telah menjelma sebagai kekuatan baru yang tak kasatmata, namun begitu menentukan arah sejarah peradaban manusia. Apa yang dulu dianggap sebagai sekadar pelengkap kini justru menjadi inti dari kekuasaan global.
Revolusi informasi menghadirkan tantangan paling besar bagi dunia intelijen. Informasi, yang sejatinya menjadi bahan baku utama intelijen, kini hadir dalam jumlah yang berlebihan. Masalah utama bukan lagi kekurangan data, melainkan kelebihan data. Ledakan informasi ini menuntut kemampuan baru dalam memilah mana yang relevan, mana yang manipulatif, dan mana yang sekadar kebisingan digital. Dalam kondisi seperti ini, intelijen bisa lumpuh bila tak mampu beradaptasi.
Dalam konteks ini, kita melihat lahirnya bentuk ancaman baru yang dikenal sebagai misinformasi dan disinformasi. Keduanya menjadi senjata yang jauh lebih efektif daripada senjata konvensional. Satu berita palsu bisa menimbulkan keresahan massal, mengganggu stabilitas politik, bahkan melemahkan legitimasi pemerintahan. Yang lebih mengkhawatirkan, disinformasi kerap dijalankan secara sistematis oleh aktor-aktor asing untuk memengaruhi arah kebijakan negara lain.
Intelijen, dalam kondisi tersebut, dituntut bergerak bukan hanya sebagai pengumpul data, tetapi sebagai filter kebenaran. Mereka tidak boleh lagi sekadar menumpuk informasi, melainkan harus mampu menafsirkan, menganalisis, dan mengeliminasi kabut manipulasi yang sengaja diciptakan. Tugas intelijen bukan hanya menjaga keamanan fisik negara, tetapi juga menjaga kedaulatan informasi yang kini menjadi fondasi kekuasaan baru.
Namun di sisi lain, perkembangan teknologi juga membuka peluang yang belum pernah ada sebelumnya. Big data dan kecerdasan buatan mampu membantu intelijen membaca pola, mengantisipasi konflik, bahkan memprediksi potensi ancaman di masa depan. Dengan teknologi ini, dunia intelijen memiliki instrumen yang lebih canggih. Tetapi pada saat yang sama, teknologi juga bisa menjerumuskan jika digunakan secara buta tanpa mempertimbangkan konteks sosial, politik, dan budaya.
Fenomena open-source intelligence (OSINT) semakin memperumit situasi. Kini, siapa saja bisa menjadi "intelijen" hanya dengan bermodal akses internet dan perangkat digital. Banyak kasus besar terbongkar bukan oleh agen rahasia negara, melainkan oleh masyarakat sipil yang jeli memanfaatkan data terbuka. Hal ini memang memperkuat keterbukaan, tetapi sekaligus mengikis keistimewaan dunia intelijen konvensional.
Di tengah kompetisi global, kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang semakin terlihat jelas. Negara-negara dengan infrastruktur teknologi canggih mampu mendominasi ruang informasi, sementara negara berkembang justru menjadi korban manipulasi. Indonesia sebagai negara besar tidak terkecuali dari ancaman ini. Jumlah pengguna internet yang tinggi menjadikan Indonesia sebagai pasar empuk penyebaran hoaks, propaganda, dan pencurian data.
Dalam situasi tersebut, intelijen Indonesia berada pada persimpangan jalan. Jika gagal beradaptasi, Indonesia akan terjebak menjadi sasaran empuk perang informasi global. Namun jika mampu memanfaatkan revolusi informasi dengan tepat, bangsa ini justru bisa menjadikannya sebagai senjata strategis untuk memperkuat kedaulatan nasional dan daya tawar diplomatik.