Mohon tunggu...
Alexander Manurung
Alexander Manurung Mohon Tunggu... Presiden Mahasiswa Institut Indobaru Nasional Batam 2024| Public Economic Enthusiast

Hallo,Perkenalkan Saya Alexander Manurung,Saya Adalah Seorang Mahasiswa Asal Batam,Kepulauan Riau,Saya Juga Seorang yang sangat giat menulis dan memperhatikan Kebijakan-Kebijiakan Yang di buat oleh pemerintah Daerah,Provinsi,maupun pemerintah pusat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

"Revolusi Informasi dan Ujian Baru bagi Dunia Intelijen "

16 September 2025   21:27 Diperbarui: 16 September 2025   21:27 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Alex Manurung

 Aktivis Mahasiswa Kepulauan Riau

Dunia hari ini berada pada sebuah era yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya, revolusi informasi. Informasi bergerak tanpa batas, lintas negara, lintas budaya, dan lintas waktu, dengan kecepatan yang melampaui kemampuan regulasi konvensional. Ia telah menjelma sebagai kekuatan baru yang tak kasatmata, namun begitu menentukan arah sejarah peradaban manusia. Apa yang dulu dianggap sebagai sekadar pelengkap kini justru menjadi inti dari kekuasaan global.

Revolusi informasi menghadirkan tantangan paling besar bagi dunia intelijen. Informasi, yang sejatinya menjadi bahan baku utama intelijen, kini hadir dalam jumlah yang berlebihan. Masalah utama bukan lagi kekurangan data, melainkan kelebihan data. Ledakan informasi ini menuntut kemampuan baru dalam memilah mana yang relevan, mana yang manipulatif, dan mana yang sekadar kebisingan digital. Dalam kondisi seperti ini, intelijen bisa lumpuh bila tak mampu beradaptasi.

Dalam konteks ini, kita melihat lahirnya bentuk ancaman baru yang dikenal sebagai misinformasi dan disinformasi. Keduanya menjadi senjata yang jauh lebih efektif daripada senjata konvensional. Satu berita palsu bisa menimbulkan keresahan massal, mengganggu stabilitas politik, bahkan melemahkan legitimasi pemerintahan. Yang lebih mengkhawatirkan, disinformasi kerap dijalankan secara sistematis oleh aktor-aktor asing untuk memengaruhi arah kebijakan negara lain.

Intelijen, dalam kondisi tersebut, dituntut bergerak bukan hanya sebagai pengumpul data, tetapi sebagai filter kebenaran. Mereka tidak boleh lagi sekadar menumpuk informasi, melainkan harus mampu menafsirkan, menganalisis, dan mengeliminasi kabut manipulasi yang sengaja diciptakan. Tugas intelijen bukan hanya menjaga keamanan fisik negara, tetapi juga menjaga kedaulatan informasi yang kini menjadi fondasi kekuasaan baru.

Namun di sisi lain, perkembangan teknologi juga membuka peluang yang belum pernah ada sebelumnya. Big data dan kecerdasan buatan mampu membantu intelijen membaca pola, mengantisipasi konflik, bahkan memprediksi potensi ancaman di masa depan. Dengan teknologi ini, dunia intelijen memiliki instrumen yang lebih canggih. Tetapi pada saat yang sama, teknologi juga bisa menjerumuskan jika digunakan secara buta tanpa mempertimbangkan konteks sosial, politik, dan budaya.

Fenomena open-source intelligence (OSINT) semakin memperumit situasi. Kini, siapa saja bisa menjadi "intelijen" hanya dengan bermodal akses internet dan perangkat digital. Banyak kasus besar terbongkar bukan oleh agen rahasia negara, melainkan oleh masyarakat sipil yang jeli memanfaatkan data terbuka. Hal ini memang memperkuat keterbukaan, tetapi sekaligus mengikis keistimewaan dunia intelijen konvensional.

Di tengah kompetisi global, kesenjangan antara negara maju dan negara berkembang semakin terlihat jelas. Negara-negara dengan infrastruktur teknologi canggih mampu mendominasi ruang informasi, sementara negara berkembang justru menjadi korban manipulasi. Indonesia sebagai negara besar tidak terkecuali dari ancaman ini. Jumlah pengguna internet yang tinggi menjadikan Indonesia sebagai pasar empuk penyebaran hoaks, propaganda, dan pencurian data.

Dalam situasi tersebut, intelijen Indonesia berada pada persimpangan jalan. Jika gagal beradaptasi, Indonesia akan terjebak menjadi sasaran empuk perang informasi global. Namun jika mampu memanfaatkan revolusi informasi dengan tepat, bangsa ini justru bisa menjadikannya sebagai senjata strategis untuk memperkuat kedaulatan nasional dan daya tawar diplomatik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun