Pulau Rempang, sebuah pulau yang terletak di Provinsi Kepulauan Riau, memiliki sejarah panjang yang mencerminkan kekayaan budaya dan peradaban masyarakat lokal. Sejak abad ke-18, pulau ini telah dihuni oleh suku asli, terutama suku Melayu, yang telah membentuk identitas sosial dan budaya yang khas. Namun, rencana pemerintah untuk menjadikan Pulau Rempang sebagai proyek strategis nasional telah menimbulkan kontroversi, terutama terkait dengan dampaknya terhadap masyarakat adat dan warisan sejarah yang ada. Artikel ini bertujuan untuk menganalisis sejarah Pulau Rempang, mengidentifikasi suku asli yang mendiaminya, serta mengeksplorasi jejak sejarah dan budaya yang tertinggal. Selain itu, artikel ini akan menyajikan argumen akademis yang kuat mengapa Pulau Rempang tidak seharusnya dijadikan proyek strategis nasional, dengan merujuk pada undang-undang dan prinsip-prinsip perlindungan hak masyarakat adat. Kronologi rencana pemerintah dan dampaknya terhadap masyarakat lokal juga akan dibahas secara mendetail.
Pulau Rempang merupakan salah satu pulau yang memiliki nilai historis dan budaya tinggi di Indonesia. Terletak di wilayah Kepulauan Riau, pulau ini telah menjadi saksi bisu perjalanan sejarah masyarakat Melayu dan peranannya dalam perdagangan maritim sejak abad ke-18. Namun, belakangan ini, Pulau Rempang menjadi sorotan akibat rencana pemerintah untuk mengalihfungsikannya sebagai proyek strategis nasional. Rencana ini menuai protes dari masyarakat setempat yang khawatir akan kehilangan hak atas tanah leluhur dan warisan budaya mereka. Artikel ini akan mengkaji sejarah Pulau Rempang, suku asli yang mendiaminya, serta memberikan argumen akademis mengapa pulau ini tidak seharusnya dijadikan proyek strategis nasional.
Sejarah Pulau Rempang
Pulau Rempang telah dihuni sejak abad ke-18, dengan masyarakat awal yang berasal dari suku Melayu. Menurut catatan sejarah, pulau ini merupakan salah satu pusat perdagangan rempah-rempah dan hasil laut di wilayah Selat Malaka. Keberadaan Pulau Rempang juga tercatat dalam beberapa naskah kuno, seperti Hikayat Hang Tuah, yang menyebutkan pulau ini sebagai salah satu lokasi persinggahan para pelaut Melayu.
Suku Melayu yang mendiami Pulau Rempang telah membentuk komunitas yang kuat dengan sistem sosial dan budaya yang khas. Mereka hidup dari hasil laut, pertanian, dan perdagangan, serta memegang teguh adat istiadat yang diwariskan secara turun-temurun. Jejak sejarah ini masih dapat dilihat dari peninggalan budaya seperti rumah adat, makam leluhur, dan tradisi lisan yang masih dilestarikan oleh masyarakat setempat.
 Suku Asli dan Budaya Masyarakat Pulau Rempang
Masyarakat asli Pulau Rempang didominasi oleh suku Melayu, yang dikenal dengan kearifan lokalnya dalam mengelola sumber daya alam. Mereka memiliki sistem pemerintahan adat yang disebut Dewan Adat, yang bertugas menjaga keharmonisan sosial dan melestarikan budaya setempat. Beberapa tradisi yang masih bertahan hingga saat ini antara lain upacara Mandi Safar, Tarian Zapin, dan Pantun Melayu.
Selain itu, Pulau Rempang juga memiliki situs-situs bersejarah seperti makam-makam kuno dan bekas permukiman yang menjadi bukti keberadaan peradaban Melayu di pulau ini. Situs-situs ini tidak hanya memiliki nilai historis, tetapi juga spiritual bagi masyarakat setempat.
 Argumen Menolak Pulau Rempang sebagai Proyek Strategis Nasional
Rencana pemerintah untuk menjadikan Pulau Rempang sebagai proyek strategis nasional telah menimbulkan kontroversi. Berikut adalah beberapa argumen akademis yang menolak rencana tersebut:
Pelanggaran Hak Masyarakat Adat
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (2) mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Rencana pengambilalihan Pulau Rempang oleh negara untuk proyek strategis nasional dinilai melanggar hak masyarakat adat atas tanah leluhur mereka.
Ancaman terhadap Warisan Budaya
Pulau Rempang memiliki nilai budaya dan sejarah yang tidak ternilai. Pengalihfungsian pulau ini dapat mengancam kelestarian situs-situs bersejarah dan tradisi masyarakat setempat.
Dampak Lingkungan
Proyek strategis nasional seringkali mengabaikan aspek lingkungan. Pulau Rempang memiliki ekosistem yang rentan, dan pembangunan besar-besaran dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang irreversibel.
Ketidakjelasan Manfaat bagi Masyarakat Lokal
Meskipun proyek ini diklaim akan membawa manfaat ekonomi, tidak ada jaminan bahwa masyarakat lokal akan menikmati manfaat tersebut. Sebaliknya, mereka justru berisiko kehilangan mata pencaharian dan identitas budaya.
 Kronologi Rencana Pemerintah
Rencana pemerintah untuk menjadikan Pulau Rempang sebagai proyek strategis nasional dimulai pada tahun 2021, ketika Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mengusulkan pembangunan kawasan industri dan pelabuhan internasional di pulau tersebut. Pada tahun 2022, pemerintah mulai melakukan sosialisasi kepada masyarakat setempat, yang diikuti dengan penolakan keras dari warga. Pada tahun 2023, pemerintah mengeluarkan surat keputusan yang mengizinkan pengambilalihan tanah di Pulau Rempang, yang memicu aksi protes besar-besaran.