Rembulan malam turun menembusi dedaunan pepohonan di tepi jalan. Samar-samar sinarnya terangi malam di kampung kami. Bunyi jangkrik melengking. Kelelawar dengan bangga terbang ke sana kemari sembari mengerumuni pohon kapuk yang sedang berbunga.
Martin baru pertama kali bertandang ke rumah dari gadis desa di dusun tetangga. Mereka mulai dekat selama dua bulan terakhir. Rasa gamang lebih dominan muncul di dalam pikirannya. Benar kata Fiersa Besari, musikus, penulis sekaligus petualang, ia pernah mengatakan bahwa sejatinya ketakutan terbesar muncul di dalam pikiran kita sendiri. Martin sering kali mengalaminya.
Ia melangkah dengan ragu masuk ke dalam rumah gadis itu. Gadis itu pun duduk dengan sungkan di ruang tamu. Padahal Martin yang seharusnya sungkan untuk bertamu ke rumah tersebut. Dia yang awalnya dengan bangga bisa bertamu dan bertemu, ujung-ujungnya rasa percaya diri perlahan-lahan mulai layu.
"Kak, boleh saya seduhkan kopi" ujarnya disela ruang tamu mulai sunyi senyap.
"Silakan, dek."
"Tapi, jangan pakai gula, dek! "pinta Martin.
" Lho, kenapa tidak pakai gula, kak? "
" Ah, nanti kopinya kemanisan, dek. Senyummu yang manis sudah cukup untuk temaniku dalam meneguk kopi" rayu Martin dengan bangga.
" Ah, ada-ada saja, kak," jawabnya sambil tersenyum manis.
Ia pun ke dapur menyeduh secangkir kopi. Martin yang awalnya pangling perlahan-lahan berhasil mengendalikan keadaan.
Pertemuan mereka sebelumnya terjadi usai mengikuti perayaan hari raya Natal di gereja tua di desa mereka. Gadis itu terlihat mentereng, tampilannya lain daripada yang lain.