Mohon tunggu...
AleinaNareswari
AleinaNareswari Mohon Tunggu... Aleina

Aleina

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Berdamai Dengan Diri Sendiri: Belajar Melembutkan Hati yang Terlalu Keras

15 Oktober 2025   22:40 Diperbarui: 15 Oktober 2025   22:39 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pernah nggak kamu duduk sendirian setelah hari yang berat, lalu pikiranmu mulai menyerang diri sendiri?

"Kenapa aku nggak bisa sebaik mereka?"

"Aku pasti gagal lagi."

"Orang lain saja kuat, kenapa aku begini banget?"


Lucunya, kalau teman kita sedang terpuruk, kita cepat bilang:

"Nggak apa-apa, kamu sudah berusaha kok."

Tapi saat diri sendiri yang jatuh, kita sering berubah menjadi kritikus paling keras. Tanpa disadari, kita menjadi musuh terbesar bagi diri kita sendiri.

Kenapa Kita Sering Terlalu Keras pada Diri Sendiri?

Beberapa pola yang sering muncul adalah budaya "harus kuat", di mana menangis atau merasa lemah dianggap sebagai kelemahan. Media sosial juga ikut berperan. Kita melihat versi hidup orang lain yang terlihat dan tampak "sempurna", tetapi ternyata jarang disorot momen jatuhnya. Akhirnya, kita membandingkan diri dengan orang lain sehingga merasa kurang.

Selain itu, bersikap lembut pada diri sendiri sering juga disalahpahami sebagai "alasan untuk malas". Padahal, ini justru langkah penting agar bisa bangkit tanpa menyiksa diri sendiri.

Self-Compassion: Bukan Manja, Tapi Cara Bertahan

Self-compassion bukan sekadar "ah, sudahlah yang penting happy". Ini cara untuk tetap waras saat gagal, dengan berbicara pada diri sendiri seperti kita berbicara pada sahabat yang penuh pengertian.

Misalnya, Saat kita bersikap keras pada diri sendiri, kalimat seperti "Aku gagal, malu banget" sering muncul. Emosi pun jadi semakin berat, dan dorongan untuk menyerah terasa begitu kuat.

Sebaliknya, ketika kita mulai menerapkan self-compassion, cara pandang terhadap kegagalan pun berubah. Kita bisa berkata, "Gagal itu nggak menyenangkan, tapi bagian dari proses belajar." Emosi menjadi lebih terkendali, dan muncul keinginan untuk mencoba lagi, tanpa perlu membenci diri sendiri.

Dengan membiasakan self-compassion, emosi cenderung lebih stabil, stres lebih mudah dikelola, dan kita bisa menghadapi tantangan tanpa merasa hancur.

Mulai dari Langkah Sederhana

Membiasakan diri untuk bersikap lembut pada diri sendiri tidak harus instan. Beberapa langkah sederhana bisa membantu:

  1. Sadar dan hentikan kritik internal
    tarik napas sejenak ketika pikiran negatif muncul.

  2. Ganti kalimat negatif dengan kalimat yang lebih lembut
    misal: "Aku payah" "Aku sedang belajar."

  3. Berbicaralah seperti ke sahabat 
    tanyakan: "Kalau temanku yang mengalami ini, apa yang akan aku katakan?"

  4. Catat momen self-compassion 
    menulis setiap kali berhasil bersikap lembut pada diri sendiri akan memperkuat kebiasaan ini.

Sedikit demi sedikit, kamu akan menyadari bahwa kamu bisa menjadi rumah sendiri, bukan medan perang bagi pikiranmu.

Jadilah Rumah untuk Diri Sendiri

Dunia luar sudah penuh tuntutan. Jangan biarkan dirimu menjadi sumber tekanan tambahan. Kalau kamu sedang jatuh, yang kamu butuhkan bukan seseorang untuk membentakmu, tapi versi dirimu yang berkata:

"Nggak apa-apa. Kita coba lagi pelan-pelan, ya."

Self-compassion bukan tanda kelemahan. Itu adalah cara untuk tetap kuat tanpa menghancurkan diri sendiri.

Daftar Pustaka

Hanum, S. Z., & Hirmaningsih, H. (2021). Self-Compassion dan Regulasi Emosi pada Remaja. Jurnal Psikologi, 15(2), 148--156.

Diakses dari: https://ejournal.uin-suska.ac.id/index.php/psikologi/article/view/7740

Octasya, T., & Antika, E. R. (2023). Pengaruh Self-Compassion terhadap Regulasi Emosi Siswa SMP Negeri Kecamatan Semarang Timur Ditinjau dari Gender. QUANTA Journal, 7(3), 99--107.

Diakses dari: https://doi.org/10.22460/quanta.v7i3.3918

Meilinda, P., Putri, P. S., Polla, R. R., & Rajagukguk, R. O. (2024). Pengaruh Self-Compassion terhadap Regulasi Emosi pada Guru Anak Berkebutuhan Khusus di Kota Bandung. In Search, 23(1), 184--195.

Diakses dari: https://jurnalunibi.unibi.ac.id/ojs/index.php/in_search/article/download/933/739

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun